“Jika satu-satunya doa yang Anda ucapkan selama hidup Anda adalah terima kasih, bersyukur, itu sudah cukup.” (Meister Eckhart)
Neymar adalah tulang punggung tim sepakbola nasional Brasil, dalam artian teknis dan moral. Terbukti, pada saat ia absen dalam babak semi final Piala Dunia 2014, Negeri Samba dilumat oleh kesebelasan Jerman, 1–7.
Dia harus dirawat karena tulang punggungnya, kali ini dalam arti harafiah, retak dihajar lutut Zuniga, pemain gelandang Kolombia. Insiden itu sudah pasti amat menyakitkan, terutama bagi Neymar.
Namun, setelah kejadian itu Neymar tetap bersyukur. Ia justru mengucapkan syukur. Menurutnya, dia beruntung karena punggung belakang yang retak bukan bagian punggung yang sedikit lebih bawah. Bila itu terjadi, ia akan menderita kelumpuhan.
Sudah menjadi guyonan umum, bahwa konon enak hidup jadi orang Jawa. Enak karena selalu bisa bilang, “Untung ...,” dalam setiap situasi dan kondisi.
Seorang kawan, misalnya, yang jelas-jelas tertipu oleh suatu perusahaan yang menjanjikan imbal balik dalam skema ala Ponzi yaitu suatu modus penipuan investasi, masih bilang, “Untung setoran pokok masih dibalikin. Nggak semuanya sih, 70%-an lah.”
Kawan itu masih bisa tersenyum, padahal 30% uang pokoknya plus bunga yang seharusnya ia peroleh, menguap begitu saja.
Kebiasaan untuk selalu merasa dan berkata ‘untung’ adalah ungkapan rasa syukur atas segenap kejadian menimpa. Kebiasaan itu adalah kebiasaan yang positif. Mengapa? Selalu merasa untung adalah sikap mental yang membuat hidup menjadi lebih ringan, nyaman, lepas dari nafsu untuk meraih dan menggenggam segala hal keduniaan.
Sikap mental ini adalah sikap mental yang masuk akal. Suatu sikap mental rasional. Mengapa ? Karena kita adalah mahluk yang terbatas. Kita terbatas dalam segala segi kehidupan. Umur saja terbatas.
Pemilik dan penentu segalanya di dunia adalah Dia Yang Maha Kuasa. Kita sejatinya, sebagai mahluk ciptanNya, tak memiliki apapun di dunia ini. Kita hanya memegang titipan.
Dalam situasi itu, kata Gobind Vashdey, penulis Happines Inside, “Apa pun sikap kita dalam menghadapi sebuah kejadian, jauh lebih penting dibandingkan dengan kejadian itu sendiri.”
Sekali lagi, karena kita bukan penentu segalanya. Kita bukan pemilik. Menyumpah dan mengeluh karena kecewa bukanlah sikap yang rasional.
“Jangan biarkan kesalahan dan kekecewaan masa lalu menentukan an mengatur masa depan,” kata Hilary Hinton Ziglar, yang memulai karir sebagai salesman dan kemudian menjadi motivator terkemuka di dunia.
Lenyapnya kekecewaan hanya akan terjadi apabila kita mengingat, kita bukan pemilik dan bukan penentu, disertai dengan rasa syukur terhadap apa-apa yang ada.Sikap mental bersyukur adalah sikap berbahagia, sebagaimana kata Dale Carnegie, yaitu “Sikap untuk memilih wanting what we get atau menghendaki yang kita dapatkan, bukan sebaliknya, having what we want atau mendapatkan yang kita kehendaki.”
IKHLASKAN SAJA
Kata Erbe Sentanu, pengarang Quantum Ikhlas, “Siapa lebih pandai, Anda atau Tuhan? Kalau Anda menjawab, Tuhan, sudahlah, ikhlaskan saja.”
Untuk selalu bersyukur, sering diingatkan dan dikatakan oleh satu terhadap yang lain. Mengatakannya amat mudah, “Mari kita bersyukur,” selesai. Namun, menerapkannya dengan penghayatan penuh dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang tak mudah. Padahal, dengan ‘kacamata’ yang benar, tiada terhingga hal-hal yang wajib kita syukuri.
“Aritmatika tersulit untuk dikuasai adalah aritmatika yang membuat kita bisa menghitung anugerah yang kita terima,” kata Eric Hoffer, filsuf Amerika penulis buku True Believer.
Sudah kodratnya, barangkali, kepandaian bersyukur yang sejati tak dimiliki hingga suatu kejadian tak diharapkan timbul. “Aku menangis karena tidak punya sepatu, sampai aku melihat orang yang tak punya kaki,” kata suatu ajaran Persia Kuno.
Atau sebagaimana kata pepatah Mesir ini, “Kesehatan adalah mahkota yang bertengger di atas kepala orang yang sejahtera. Namun, orang yang paling menghargainya adalah orang yang sedang sakit.”
Kebiasaan untuk pandai bersyukur adalah kunci untuk meraih kesuksesan. Dalil pertama,“Bersyukur itu ibarat kunci pembuka pintu kebahagiaan,” kata Gobind Vashdev. Dalil kedua, “Sukses bukan kunci menuju kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kunci sukses. Jika Anda menyukai apa yang Anda kerjakan, Anda akan sukses,” kata Albert Scwitzer, filsuf Jerman abad 19.
Dalam hampir semua agama dikatakan, jika kita pandai mensyukuri apa-apa yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita, Dia akan memberikan lebih kepada kita.
Dalam kalimat lain, “Orang yang berhasil bersyukur, bahkan terhadap hal-hal yang masih ada dalam alam pikirannya, ia akan betul-betul menjadi kaya,” kata Wallace D. Wattles, penulis Pemikiran Baru Amerika abad 19.
Artinya, dengan mensyukuri sesuatu, kita akan mendapatkan sesuatu itu. Kaya maksudnya dalam artian luas, bukan semata-mata hanya meliputi harta benda.
“Cara terbaik untuk mengembangkan kualitas apa pun adalah dengan berasumsi, bahwa Anda telah memilikinya dan bertindak sesuai dengan hal itu,” kata Winston Churchill, pahlawan perang dan Perdana Menteri Inggris.
“Jangan memikirkan kekurangan diri sendiri karena pertumbuhan datang dari pemahaman bahwa kita sudah memilikinya,” kata Wayne Dyer, mantan pemain rugby yang kemudian menjadi penulis dan motivator.
Bersyukur akan sangat afdol bila dilakukan secara lengkap. Diucapkan dengan lisan, alhamdulillah, puji Tuhan, thanks God, dan diresapkan dalam pikiran.
Kata William Arthur Ward, penulis Fountains of Faith, “Berterima kasih, tapi tidak mengungkapkannya, ibarat membungkus kado tapi tidak memberikannya.”
Akhirul kalam, kata Norman Vincent Peale, salah seorang menteri Amerika Serikat pada abad 18, penulis buku The Power of Positive Thinking, “Doa adalah sebuah kesempatan untuk mengucapkan apa pun yang ada dalam pikiran Anda. Dalam bahasa apapun. Lebih baik bila tidak memohon hal-hal, melainkan berterima kasih sebelumnya atas apa yang Anda inginkan, menyerahkannya kepada Tuhan dan memvi sualisa sikan hasil yang baik. Silahkan terkejut melihat efektivitasnya.”
Penulis:
Pongki Pamungkas, Penulis Buku The Answer Is Love