Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki musim hujan, berbagai cara dilakukan untuk menjaga daya tahan agar tidak mudah sakit, termasuk melindungi dan menjaga kehangatan tubuh dengan menggunakan jaket.
Saat ini, berbagai macam model jaket yang trendi semakin mudah ditemui, kita tinggal memilih mana yang sesuai dengan selera, salah satunya model jaket yang sedang gandrung di kalangan anak muda; parka.
Parka merupakan jenis jaket tebal dengan kerudung yang awalnya sering digunakan oleh masyarakat di Kutub Utara untuk berburu dan kayak di udara yang dingin.
Akhir-akhir ini, parka telah menjadi salah satu identitas para pengguna skuter atau scooterist, karena tahan air dan bisa menahan angin sehingga cocok digunakan bagi para pengguna motor.
Makin lama, penggemar jaket yang awalnya juga khusus digunakan oleh tentara ini semakin meluas, dan menjadi salah satu fashion item yang wajib dimiliki.
Dengan semakin besarnya pangsa pasar dan meningkatnya permintaan, bisnis produksi parka menjadi sangat menggiurkan. Beberapa pemain mulai bermunculan dengan produk-produk yang memiliki keunikan tersendiri.
Salah satunya adalah parka yang diproduksi Ganjar Ginanjar Arifin dengan label Bluebox Apparel sejak awal 2013. Mahasiswa semester akhir di Universitas Pasundan Bandung tersebut mengaku tren penggunaan parka sudah dirasakan sejak tahun lalu.
Saat itu, masih jarang distro dan clothing yang memproduksi parka, padahal peminatnya sudah mulai banyak. Melihat hal itu, dia akhirnya menciptakan peluang dengan memproduksi parka berbahan canvas.
Ganjar mengatakan, parka buatannya memang sengaja disesuaikan dengan iklim di Indonesia, sehingga menggunakan bahan yang tidak terlalu panas tetap bisa menjaga kehangatan tubuh.
Untuk satu buah parka polos, Ganjar membanderol produknya dengan harga Rp320.000. Harga tersebut bisa berubah jika konsumen menginginkan perubahan pada produknya, baik dari bahan maupun ukuran nonregular.
“Parka canvas standarnya belum waterproof, tapi jika ada pesanan untuk produk antiair, bisa kami sediakan dengan penambahan biaya sekitar Rp30.000-Rp50.000,” katanya.
Dengan konsep penjualan secara preorder, Ganjar mengaku tidak membutuhkan modal besar untuk memulai bisnis ini, karena biaya awal produksi telah ditanggung oleh pemesan barang.
Untuk proses pemesanan hingga pengiriman barang, membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari tanpa kuota pemesanan. Jadi, meskipun memesan satu potong parka, Bluebox akan tetap melayani pembuatan produk.
Sementara itu, margin keuntungan per potong parka dapat mencapai 50% dari harga jual, sedangkan setiap bulannya Bluebox bisa mendapatkan pesanan hingga 100 potong. Dengan kata lain, omzet yang dapat dikantongi Ganjar tiap bulannya bisa mecapai Rp32 juta.
Demi menjaga kualitas produk, semua proses dari pemilihan bahan hingga pengiriman dilakukan pihak Bluebox sendiri, sedangkan untuk proses penjahitan dipercayakan kepada penjahit yang telah menjadi langganannya.
“Kendala yang selama ini dialami berada diproses produksi, kalau penjahit sakit, produksi agak macet sehingga pesanan akan telat,” katanya.
Sebagai strategi untuk mengakali kurangnya tenaga penjahit, Ganjar selalu mencari tempat maklun lebih dari satu, sehingga ketika ada tender dia bisa mendapatkan tenaga penjahit lebih banyak.
Selain memproduksi parka untuk dijual sendiri, Bluebox Apparel juga melayani produksi produk untuk label lain. Perhitungan harganya disesuaikan dengan jumlah pesanan, sedangkan label pakaian dikirim oleh pemesan untuk kemudian dipasangkan pada produknya.
Terkait pemasaran, selama ini promosi via online masih menjadi andalan Ganjar. Selain melalui website, forum jual beli seperti kaskus juga menjadi pilihan utama.
“Pemasaran masih melalui online, karena bisa menjangkau semua daerah di Indonesia. Hingga saat ini, produk kami sudah sampai ke Kalimantan dan Papua, sedangkan pemesan paling banyak berasal dari kawasan Jabodetabek,” katanya.
Selama ini, Ganjar mengaku seringkali mendapatkan tawaran kerja sama dari beberapa distro untuk memasarkan produknya di outlet, namun hingga saat ini tawaran tersebut belum disanggupinya karena terkendala masalah standardisasi harga.
“Kalau barang dititipkan di distro, sudah pasti harganya akan naik. Itu yang belum bisa saya buat standardisasinya, karena seharusnya harga sesuai dengan kantong mahasiswa yang menjadi target utama produk Bluebox,” katanya.
Ganjar mengatakan, meskipun tren fesyen dalam negeri cepat berganti, prospek bisnis parka masih akan tetap bersinar, karena memiliki segmen pasar sendiri yang loyal.
Parka Army Look
Selain Bluebox Apparel, pemain lainnya di bisnis ini adalah Kemo Camouflage Jacket. Produsen parka asal Bandung itu fokus untuk memproduksi parka dengan desain army look menggunakan bahan bermotif loreng ala tentara.
Bisnis yang baru dimulai Dea Sulistyo dan dua rekannya enam bulan lalu itu didorong dari kegemarannya mengendarai dan berkumpul bersama pengguna vespa lainnya, dan parka menjadi semacam seragam yang wajib dimiliki.
Awalnya, pria berumur 26 tahun itu selalu mencari-cari dan melakukan jual-beliparka seken. Lama-kelamaan, akhirnya ide untuk memproduksi parka buatan sendiri pun muncul.
Dengan modal yang relatif kecil, bisnis pembuatan parka tersebut mulai dilakukan dengan mencicil produksi. Awalnya hanya membuat dua-tiga parka dan dijual kepada rekan-rekannya di komunitas.
Sekarang, dengan dua penjahit, Dea bisa memproduksi parka sekitar 12 buah perminggunya atau sekitar 50 buah tiap bulan. “Permintaan sangat tinggi, tapi kami belum bisa melayani semua pesanan, karena terbatasnya penjahit,” paparnya.
Kapasitas produksi memang menjadi kendala utama yang dialaminya sekarang, apalagi dirinya tak kunjung menemukan penjahit yang dapat menjahit parkasesuai dengan standar kualitas dan keinginannya.
Untuk itu, hingga saat ini dirinya masih menjual produk ready stock dan belum menerima preorder, pasalnya pesanan yang saat ini sudah masuk juga belum sempat tergarap.
Adapun, tingginya permintaan terhadap parka dengan harga yang dipatok sebesar Rp270.000-an juga tak lepas dari strategi pemasaran yang telah dilakukan.
Pertama, Dea fokus untuk memasarkan produk dengan memaksimalkan jaringannya di komunitas vespa dan skuter, karena mayoritas dari mereka telah mengetahui bagaimana kualitas dan spesifikasi parka yang ditawarkan Kemo sehingga lebih mudah terjual.
Setelah itu, Dea pun mulai memanfaatkan teknologi informasi melalui social media dan market place, seperti instagram dan forum kaskus.
Sekarang, Dea juga memanfaatkan sistem reseller, dengan memberikan potongan harga bagi orang yang memesan dalam jumlah banyak dan untuk dijual kembali.
“Saat ini produk sudah sampai ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Palembang dan Makassar,” katanya.
Ke depannya, Dea optimistis bisnis produk parka ini akan tetap berkembang, apalagi disokong oleh dukungan komunitas yang selama ini menjadi sasaran utama pemasaran jaket parka.