Bisnis.com, JAKARTA - Sosok Yandramin Halim tentu tak asing lagi di lingkup pengusaha di sektor industri alat tulis. Wajar saja, karena dia sudah menjalani kariernya selama 25 tahun di Faber-Castell, mulai dari merintis pabrik pensil, membangun jaringan distribusi di Indonesia bahkan mengembangkan pasar di kawasan regional produk prinsipal alat tulis Jerman itu.
Namun, boleh jadi akan banyak yang salah mengira jika bertanya tentang soal keahliannya menggambar. “Anda akan bingung, saya tidak bisa gambar ha-ha-ha. Tapi karena inilah, saya jadi senang menikmati, mengapresiasi seni rupa baik visual maupun patung,” ungkapnya saat dijumpai Bisnis.com, baru-baru ini.
Pria yang biasa disapa Halim ini lantas mengaku merasa enjoy bila dapat menyumbang ide-ide kreatif, menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi orang lain. Dia pun berbagi pengalaman tentang ide baru yang ditularkannya kepada karyawan di Faber-Castell International Indonesia.
Menurutnya, banyak karyawan yang tidak menyangka bahwa mereka punya potensi. Setiap orang punya bakat, tinggal bagaimana mengoptimalkannya. Dia selalu ingin karyawannya menemukan passion dalam bekerja.
Sebut saja karyawan di bagian sales promotion girl (SPG) yang kini terampil menggambar tentu setelah diberi pelatihan. Kemampuan yang tentu menjadi nilai tambah ketika SPG ini memperkenalkan produknya dan mengedukasi konsumen.
Ada pula karyawan di bagian gudang yang berpendidikan sarjana yang semula hanya puas dengan bekerja di gudang namun setelah diberi kesempatan dan tantangan oleh Halim kini mampu memimpin cabang dan berhasil.
Contoh lain, ada office boy yang kemudian bisa menjadi staf promosi karena mampu menggelar presentasi ke sekolah-sekolah. Tak hanya itu, bahkan ada driver yang semula ‘kaku’ lantas menjadi enjoy untuk ikut bernyanyi dan memberi semangat bagi anak-anak, yang tidak lain adalah sebagian konsumen pengguna produk Faber-Castell.
“Dengan ini mereka [karyawan] merasa berharga dari yang mereka selama ini bisa lakukan. Itulah kepuasan saya, bahwa setiap orang punya bakat. Tinggal bagaimana agar ini bisa maksimal sehingga mereka puas dalam bekerja, dan menikmati hidup, menjiwai dan tidak sekadar cari uang.”
Ayah dari Davin, Felisia, Alvin, dan Clarissa ini mengakui pandangannya soal hidup sukses juga berkembang. Ketika muda, dirinya berpikir hidup sukses itu hanya dapat dicapai dengan meniti karier menjadi orang yang sukses. Namun, di tengah jalan dia justru berpikir bagaimana membuat orang lain menjadi sukses.
Diakuinya tak jarang dia menerima kritik, ketika ada karyawan yang dinilai tidak sesuai bidangnya, namun baginya setiap orang harus diberi kesempatan. “Saya ingin memberikan sebanyak mungkin kesempatan,” terangnya.
Alumni ITB yang biasa terbang dari satu kota besar ke kota besar lain, bahkan dari satu negara ke negara lain untuk mengelola bisnis Faber-Castell ini mengaku tak memiliki ambisi, kecuali menjalankan tanggung-jawab yang dipercayakan shareholder kepadanya.
Bekerja di Faber-Castell memberinya kebanggaan tersendiri, apalagi dia berobsesi ingin agar Indonesia dapat memanfaatkan aspek kreativitas dan keterampilan, dan kerajinan anak bangsa untuk kesuksesan anak bangsa itu sendiri dan kesuksesan bangsa dan negara.
Dari sisi kiprahnya mengelola bisnis, Faber-Castell International Indonesia termasuk menjadi yang terbesar dari sisi total bisnis ekspor dan pemasaran bila dibandingkan dengan pencapaian bisnis produsen alat tulis itu di Asia, seperti di China dan India.
Bahkan dari sisi sebaran, bisa diklaim menempati posisi nomor dua setelah Jerman. Khususnya sejak perusahaan itu membangun jaringan pemasaran sendiri pada 1999. “Dalam lima tahun pertama, kami sudah ambil-alih posisi market leader dari kompetitor baik untuk produk pensil ujian maupun pensil warna.”
Bahkan dalam 10 tahun terakhir, dia mengklaim bisnis tumbuh pesat berkat produktivitas dan kualitas produk yang antara lain diproduksi pabrik pensil Faber-Castell di Narogong, Bekasi dan produk marker dan connector pen di Cibitung Jawa Barat.
Produk pensil kini sudah diekspor ke 40 negara, bahkan produk inovasi dari Indonesia yaitu connector pen atau marker yang juga bisa disambung-sambung untuk mainan anak bahkan sudah diekspor ke 25 negara.
Dengan prestasinya itu maka tidak mengejutkan bila tim produksi dan tim marketing Faber-Castell Internasional Indonesia mendapat apresiasi oleh kantor pusat di Jerman, dan karenanya ide kreativitas tim Halim ini kemudian coba di-copy ke negara lain.
Meski bisnis lancar, bukan berarti Halim tak menemukan tantangan berarti. Sebagai CEO, dia mengaku juga harus dapat mengelola bisnis dengan rentang produk yang luas tersebut. Misalnya saja, ketika dia juga harus mengedukasi konsumen untuk memberi kesadaran terkait dengan kualitas dan di sisi lain daya beli.
Ini wajar, karena produk alat tulis Faber-Castell yang eksklusif harganya bisa mulai dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah, sedangkan yang mewah bisa mencapai Rp50 juta. Ini tentu membutuhkan pendekatan tersendiri.
Sementara itu, pada saat yang sama timnya juga memperkenalkan produk untuk segmen anak-anak. Alhasil, kinerja tim menjaga kualitas berbuah pengakuan dari satu riset mengenai kesadaran konsumen yang digelar terpisah di lima kota di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar.
Dari riset itu, dalam enam tahun terakhir produknya selalu mendapat penghargaan top brand for kids and teenager, per kategori.