Bisnis.com, JAKARTA - “Saya perlu 38 visa untuk masuk di hampir 38 negara di Afrika. Artinya orang Amerika justru memiliki lebih banyak akses ke Afrika daripada saya.”
Kalimat bernada sarkastik tersebut terucap dari mulut Alhaji Aliko Dangote dalam sebuah pidatonya pada medium 2014. Melalui ucapannya itu pula karakter ambisius dan cenderung primordialis cukup kuat terpancar dari pengusaha kulit hitam terkaya di dunia asal Afrika ini.
Rencana demi rencana untuk mengembangkan dan menempatkan posisi Afrika, utamanya Nigeria secara strategis di percaturan dunia pun terus dilakukan. Ancaman teroris Boko Haram di negerinya dan anjloknya harga komoditas dunia yang menjadi bisnis utamanya pun tak menyurutkan langkahnya hingga saat ini.
Namun siapa sangka, Dangote yang terlahir dari keluarga kaya raya ini justru membangun usahanya dari jerih payahnya sendiri. Sejak usia 8 tahun, Dangote kecil sudah terbiasa ikut berbisnis dan berjualan gula bersama ayahnya.
Saat beranjak dewasa dan sukses mendapatkan gelar sarjana di Universitas Al-Azhar pada usia 21 tahun, dia justru mengambil keputusan untuk meminjam uang dari pamannya, yang merupakan mitra kerja ayahnya.
"Aku terlahir dari orang kaya, kedua orangtuaku? mereka selalu memiliki uang. Namun tidak berarti lalu aku tinggal memanfaatkannya. Bukan berarti pula aku bakal mendapatkan jaminan akan menjadi kaya selamanya," katanya.
Bermodalkan uang US$325.000 dan sejumlah peralatan dari kakeknya dia mendirikan sebuah perusahaan di bidang perdagangan yang melayani impor komoditas massal seperti gula dan beras. Bisnisnya berkembang pesat sehingga dia melebarkan sayapnya untuk menjadi importir mobil.
Akan tetapi, di tengah berkembangnya bisnisnya tersebut, muncul pertanyaan yang membuat benak pria yang saat ini berusia 58 tahun ini terus bergejolak. Nigeria yang dinilainya berpotensi dan mampu menjadi penghasil gula terbesar, mengapa justru terus menjadi importir?
Begitu pula dengan bisnis semen. Dia menyadari negara di bagian barat Afrika ini memiliki kandungan kapur terbesar di dunia. Namun, mengapa negaranya masih menjadi importir dan bahkan harga semen semakin mahal?
Pria kelahiran Lagos, Nigeria ini pun menyadari, negeri dan bangsanya telah banyak dimanfaatkan oleh bangsa Barat. Namun dia tak bisa menampik, kondisi dalam negerinya sendiri yang penuh konflik, korupsi dan ketidakpastian hukum, telah menjerumuskan Nigeria ke dalam kejatuhan.
Dia bertekad untuk mengubahnya. Di bawah bendera Dangote Group yang didirikannya pada 1981, dia melebarkan sayap usahanya di berbagai sektor. Kedekatannya dengan para politisi, membuat usahanya semakin besar, dan dia pun memiliki pengaruh yang cukup besar di pemerintahan Nigeria.
Sejak saat itu, usaha Dangote semakin menggurita ke dalam sejumlah industri manufaktur dan komoditas yang ada di Nigeria, bahkan di kawasan Afrika Barat. Bisnis di sektor garam, tepung, tekstil, properti, minyak, dan gas pun berkembang pesat.
Sementara itu, khusus di industri gula dan semen yang menjadi andalannya sejak awal membangun bisnis, Dangote Group berhasil mendominasi pasar gula di Afrika. Perusahaan ini bahkan memiliki kilang gula terbesar kedua di dunia. Dia juga memiliki pabrik semen terbesar di Afrika.
Langkah ini sedikit banyak membuat posisi Nigeria mulai diperhitungkan di mata dunia. Ekspansi demi ekspansi di tengah booming ekonomi di kawasan tersebut pada medio 1990-an, membuat sejumlah lapangan kerja dan bisnis baru terbuka.
Forbes mencatat, mayoritas kekayaan Dangote saat ini berasal dari sahamnya di anak perusahaannya Dangote Cement, yang diperdagangkan di Bursa Efek Nigeria.
Saat ini dia telah memiliki pabrik semen di Zambia, Senegal, Tanzania, dan Afrika Selatan. Pada 2011 dia telah menginvestasikan US$4 miliar untuk membangun fasilitas produksi semen di Pantai Gading.
Dalam hal produksi, Dangote Cement mampu menghasilkan lebih dari 30 juta ton per tahun, dengan rencana peningkatan kapasitas dua kali lipat pada 2018. Kondisi ini justru berbanding terbalik dengan catatan masa lalu, ketika kawasan itu masih bergantung pada aktivitas impor.
Harga Komoditas
Namun, tak selamanya bisnis Dangote berjalan lancar. Dia terpaksa harus membeli kembali saham mayoritas di Dangote Flour Mills setelah terus mengalami kerugian. Pria yang memiliki tiga orang istri ini pun harus menjual saham terbesar untuk perusahaan makanan Afrika Selatan Tiger Merk pada 2012.
Selain itu, anjloknya harga komoditas dunia bersamaan dengan harga minyak dunia telah menggerus kekayaannya. Berdasarkan data dari Forbes, nilai kekayaannya pada 2014 mencapai US$16,6 miliar. Dia berhak menempati posisi orang kaya nomor 23 di dunia.
Saat ini berdasarkan data terbaru Forbes, kekayaannya turun menjadi US$14,1 miliar. Posisinya di antara orang terkaya di dunia pun harus melorot ke posisi 67.
Selain karena harga komoditas yang anjlok, mata uang Nigeria yang terus melemah akibat konflik di bagian utara Nigeria,juga turut menggerus kekayaannya.
Namun, kondisi terbaru dari kekayaannya tersebut saat ini masih belum berhasil menjatuhkannya dari posisi orang terkaya nomor satu di Afrika. Kekayaannya yang mencapai US$14,1 miliar tersebut pun hampir setara dengan 2,5% dari produk domestik bruto Nigeria.
Meskipun dicap gemar berpesta, perhatian dan kemauannya untuk membangun Nigeria tak pernah pudar. Kini, Dangote bekerja sama dengan Pemerintah Nigeria untuk menciptakan sekitar 180.000 lapangan pekerjaan baru.
Menurut dia, cara paling efektif untuk menyelesaikan berbagai macam masalah-masalah sosial adalah dengan menciptakan lapangan kerja baru, termasuk mereduksi aksi pemberontakan Boko Haram. “Satu-satunya cara untuk menghentikan Boko Haram adalah dengan menciptakan lapangan kerja.”
Dia terus berusaha berkampanye di hadapan investor dan pengusaha lainnya untuk mau berinvestasi di Nigeria atau di beberapa negara Afrika. Dia meyakini, Benua Hitam akan menjadi kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia dan tempat paling tepat untuk berinvestasi secara jangka panjang.
Salah satu bentuk nyatanya di bidang sosial adalah dengan mendirikan organisasi kemanusiaan. Dangote telah mendirikan The Dangote Foundation, yang berfokus pada pendidikan dan kesehatan. Salah satu program terkenalnya adalah makan US$12.000 per hari, yang bermaksud meningkatkan kesejahteraan masyakat Afrika.