Bisnis.com, JAKARTA- Berawal dari kegemarannya berkeliling Indonesia, Arnis Wigati akhirnya ‘jatuh cinta’ dengan beragam kain nusantara, khususnya tenun yang dihasilkan oleh tangan-tangan cekatan sang penenun.
Ide pun terbetik seketika. “Setelah ketemu penenun, saya terpikir untuk membantu mereka. Caranya dengan membeli hasil tenunan dan mengolahnya menjadi pakaian jadi,” kenang Arnis.
Namun, dia sadar berkompetisi di bisnis pakaian jadi berbahan dasar kain nusantara kala itu tidaklah mudah. Sudah muncul puluhan bahkan mungkin ratusan pemain di bisnis serupa, baik pengusaha rintisan maupun yang sudah memiliki nama besar.
Tak hilang akal, Arnis pun bersiasat. Produk pakaian jadi yang akan dihasilkan akan fokus menyasar para perempuan muda, dengan desain yang cenderung kasual alias jauh dari kesan formal. Tujuannya jelas agar anak muda pede menggunakan kain nusantara.
Di bawah brand Sabuya Room, Arnis pun memulai bisnis ini secara resmi pada Januari 2015. “Sebetulnya sudah mulai pada 2014, tetapi belum begitu diseriusi,” tutur Arnis.
Bulan-bulan pertama menekuni bisnis ini bukanlah masa yang mudah bagi Arnis. Ada begitu banyak hambatan yang ditemui, mulai dari modal hingga kompetisi dengan bisnis serupa yang tumbuh marak di pasaran.
Kondisi ini menuntut Sabuya Room harus mencari pembeda. Sebagai pembeda, selain tampil lebih kasual, produk Sabuya Room juga selalu dikombinasikan dengan kain dari daerah lain, seperti lurik, ulos, dan batik.
Arnis juga berkomitmen tak merusak makna yang terkandung dalam selembar kain. Oleh karena itu, dalam proses desain, gambar kain tenun yang umumnya ‘bercerita’ tetap dijaga sedemikian rupa.
“Contohnya untuk kain Sumba. Saya tidak mau merusak arti dari kain itu. Sebisa mungkin pola kain tetap tergambar, tetapi ceritanya tetap ada. Jadi enggak asal motong. Saya tidak merusak motif asli dari kain.”
Berbagai kekhasan ini membuat produk Sabuya Room digemari para pencinta kain nusantara. Saban bulan, pembelinya mengalir terus baik melalui saluran pemasaran online, seperti Instagram dan marketplace Qlapa.com maupun yang datang berkunjung langsung ke workshop Sabuya Room. Dengan harga di kisaran Rp245.000 hingga Rp1 juta, pembeli datang dari berbagai segmen. Dalam sebulan, minimal 30 potong pakaian terjual ke pembeli.
Diakui Arnis, sebagian besar pembeli produk Sabuya Room adalah konsumen setia yang rutin berbelanja.
Pembeli ini bahkan sangat melek dengan model-model yang dikeluarkan oleh Sabuya Room. “Ini terbukti, begitu ada model baru, pembelian langsung meningkat,” ujar perempuan yang kini dibantu 12 orang karyawan di bagian produksi dan pemasaran tersebut.
AKSESORI ETNIK
Sukses di bisnis pakaian jadi, Arnis juga berekspansi ke bisnis lain, yakni aksesori etnik. Namun, berbeda dengan aksesori kebanyakan, produk yang dihasilkannya berasal dari limbah tulang sapi.
Bisnis aksesori ini sebetulnya merupakan karya kolaborasi antara Arnis dan perajin aksesori di Bali, dan dijual dalam partai besar.
Selain dipasarkan di dalam negeri, produk aksesori ini juga telah diekspor ke beberapa negara, seperti Jerman, Meksiko, Italia, dan Belanda.
Melihat animo masyarakat domestik yang cukup besar, tahun ini dia berencana membuka gerai di Balikpapan.
Untuk aksesori, Arnis mengusung konsep ‘menjual story’. “Misalnya kalung dari iga sapi. Ketika dipakai konsumen, dia bisa menceritakan ke teman-temannya... ini loh iga yang gue makan di restoran. Ternyata bisa jadi aksesori cantik seperti ini,” tuturnya.
Kini, tiga tahun sudah dia menekuni bisnis ini. Ada sederet rencana yang tengah disiapkannya.
Untuk lini pakaian jadi, Arnis bertekad mengembangkan pakaian pria dan anak-anak. “Permintaan dari segmen ini banyak. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa terealisasi.”
Selain itu, Arnis juga berencana menjajal bisnis baru, yakni produk home and decor di bawah nama merek Sabuya Home.
“Pasar di segmen ini juga besar. Saya ingin produk tenun bisa mempercantik rumah,” kata karyawan pemasaran di salah satu perusahaan media ternama tersebut.