Bisnis.com, JAKARTA—Jujur tapi bohong. Bohong tapi jujur. Bisakah keduanya bersanding mulus dalam diri seseorang, dan ‘dimainkan’ demi mengejar keuntungan pribadi?
Dan Ariely, dosen mata kuliah Behavioral Economics di Massachussetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, AS, punya jawaban menarik soal‘sisi jujur dalam kebohongan’ dan sebaliknya.
How Honest People Cheat. Sebuah kalimat yang sangat provokatif. Mungkin juga ambigu. Bagaimana mungkin terselip kejujuran dalam berbohong? Bukankah bohong pertanda tidak jujur?
Namun judul itulah yang sengaja dipakai Ariely dalam menguak tabir kebohongan pada 2008 lalu.
Menurut pakar ilmu tingkah laku ekonomi itu, ada dua konsep dasar yang perlu diperhatikan soal kebohongan. Pertama, pandangan bahwa orang pada dasarnya memang tidak jujur, sehingga dalam tingkah lakunya pun selalu tercermin demikian. Kedua, berseberangan dengan konsep pertama, yaitu pada prinsipnya orang penuh dengan kejujuran.
Untuk mengukur kadar kebohongan orang-orang yang dikenal jujur tersebut, Airley melakukan penelitian di Harvard Business School, MIT, Princeton, UCLA, dan Yale. Metoda eksperimennya cukup sederhana. Setiap partisipan diberi ‘hadiah’ 50 sen bila memberi jawaban yang benar atas 20 soal matematika sederhana. Soal-soal tersebut harus diselesaikan dalam tempo lima menit.
Dalam kelompok yang diawasi (control groups), lembar jawaban diberi peringkat dan rata-rata partisipan hanya menjawab empat soal yang benar.
Sedangkan di kelompok eksperimental (experimental groups), lembar jawaban justru disobek-sobek, sehingga partisipan mengetahui bahwa peneliti tidak mungkin mengetahui apakah peserta memberi jawaban benar atau salah.
Alhasil, partisipan bisa dengan mudah berbohong dan menerima uang lebih banyak dari yang seharusnya. Sederhananya, mereka mengklaim bisa menjawab benar dua soal lebih banyak dari yang ditentukan.
Nah, berdasarkan percobaan sederhana tersebut, persentase sebagian besar orang untuk berbohong adalah 50%. Dipandang dari sudut yang berbeda, partisipan hanya berbohong untuk dua dari 16 soal yang tidak dikerjakan. Dalam hal ini kesempatan berbohong mereka adalah 12,5%.
Persoalan akan bertambah menarik bila kita masuk lebih dalam lagi perihal kebohonan ini. Misalnya dengan melihat kejadian yang mempengaruhi kadar kebohongan seseorang.
Tingkat Kejujuran
Paling tidak terdapat tiga hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, risiko akan ketahuan tidak mengubah tingkat ketidakjujuran. Fenomena ini terungkap ketika secara anonim diminta menyebutkan jumlah uang yang diterima. Toh tetap saja mereka berbohong.
Kedua, ketika partisipan diperintahkan untuk melakukan kontemplasi mengenai standard kejujuran mereka, kebohongan langsung merosot drastis. Ketiga, bila pembayaran dilakukan dengan memberi kesempatan bermain poker, tingkat kebohongan melonjak lebih dari dua kali lipat.
Suka atau tidak suka, inilah sikap asli manusia (human nature). Di dalam diri manusia terdapat benih-benih ketidakjujuran, apapun risiko yang akan menghadang kemudian. Oleh karena itu, meski kebohongan atau ketidakjujuran seseorang ’berlangsung mulus’, toh kita tetap manusia yang memiliki sisi baik sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang berimplikasi lebih buruk.
Tidak percaya? Alkisah, Puntadewa, saudara tertua Pandawa yang dikenal sangat jujur, ternyata juga pernah mengelabui saat pecah perang Bharatayuda. Dia menyebutkan nama gajah mati yang hampir sama dengan nama anak Pandita Durna (Aswatama).
Tujuannya agar si orang tua patah hati sehingga patah pula semangatnya untuk terjun ke medan laga. Begitu Puntadewa berbohong, keretanya, konon, yang biasanya tidak menginjak tanah, langsung menghunjam bumi.
Kebohongan adalah salah satu bagian dari hidup manusia. Tidak mudah untuk mengenalinya, karena ada banyak modus dalam berbohong, baik secara verbal maupun nonverbal.
Bahkan kebohongan akan sulit dikenali karena sudah menjadi kebiasan kita.
Kita kerap tidak jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain. Persoalan makin ’runyam’ karena kadang-kadang hal itu terjadi akibat tuntutan norma.
Kalau sudah begini, apa yang terjadi sering dibuat-buat dan terkesan dangkal. Demi sopan santun, orang akan lebih memilih untuk mengatakan yang sebaliknya dan bukan apa adanya.
Tapi, berbohong biasanya tidak selalu berakibat buruk. Berbeda dengan menipu yang bisa dipastikan bertujuan jelek, bahkan jahat.
Seperti kata Ariely, berbohong tidak dapat dilihat hanya dalam ’hitam’ dan ’putih’ saja. Ia punya nuansa tersendiri.
Di negara-negara maju seperti AS misalnya, kebohongan, terutama yang menyangkut keamanan negara, merupakan masalah sangat serius.
Tak heran bila Gedung Putih menggelar berbagai teknologi canggih untuk menangkalnya, mulai dari gambar magnetik beresonansi,electroencephalogram, pemindai mata sampai pengungkap berbagai ekspresi mikro.
Semuanya kembali ke pertanyaan awal: Seberapa jujur Anda berbohong?