Saat melayat Eka Tjipta Widjaja, Senin pekan lalu, saya bertemu dengan tiga anak taipan tersebut yakni Teguh, Indra, dan Franky. Franky sedikit bercerita tentang ayahnya yang pergi dengan tenang, di tengah berkumpulnya anak, cucu, dan cicit pada akhir pekan penuh damai.
Menurut Franky, tugas Pak Eka demikian ia menyebut sang ayah sudah selesai dalam sebuah rentang hidup sangat panjang, 98 tahun. Eka Tjipta memang panjang umur, ia menghembuskan napas terakhir, 2 tahun setelah Trini Dewi Lasuki, istri pertamanya, meninggal pada 6 Februari 2017.
Anak cucu Eka Tjipta kini mewarisi tidak saja harta yang berlimpah, tetapi juga nilai-nilai hidup sang taipan dalam memberikan manfaat orang lain. Tentu saja kita bisa melihat sosok Eka Tjipta dari banyak sisi, tetapi yang pasti, dengan membangun bisnis, ia telah banyak mempekerjakan, dan menjadi gantungan hidup bagi banyak orang.
Saya menyaksikan para pelayat datang silih berganti menyampaikan bela sungkawa, termasuk Presiden Joko Widodo yang hadir pada Senin malam. Baik Teguh, Indra, dan Franky tampak begitu tegar dan tenang, menerima setiap ucapan belasungkawa.
Penghormatan kepada Eka Tjipta, tak berakhir saat dimakamkan pada Sabtu (2/2) di Desa Marga Mulya, Karawang Jawa Barat. Ibarat pepatah, gajah mati meninggalkan gading, Eka Tjipta mewariskan banyak nilai kehidupan.
Seumur hidup, saya belum pernah bertemu Eka Tjipta, tetapi saya mengenalnya hampir seumur saya sebagai wartawan. Saat Sinarmas terbelit utang akibat krisis keuangan 1998, saya mengikuti perkembangan restrukturisasi konglomerasi ini di Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Salah satunya, Eka Tjipta terpaksa menyerahkan satu pilar bisnisnya PT Bank Internasional Indonesia Tbk.–kini PT Maybank Indonesia kepada pemerintah. Asia Pulp & Paper waktu itu juga terbelit utang miliaran dolar Amerika Serikat, dan Sinarmas merekrut mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah untuk membantu restrukturisasi utang, berhadapan dengan BPPN, dan para kreditur lain.
Saya justru banyak tahu informasi tentang Eka Tjipta dari para eksekutifnya seperti Managing Director Sinarmas Gandi Sulistiyanto dan Dhony Rahajoe, Managing Director Sinarmas Land. Informasi perkembangan bisnis Sinarmas juga saya dapatkan dalam beberapa kali pertemuan dengan Franky maupun Indra Widjaja.
Franky lebih menyerupai juru bicara keluarga, dan paling sering tampil di hadapan publik. Dia juga dikenal aktif di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan dalam kesehariannya banyak menangani bisnis sawit melalui PT SMART Tbk, produsen minyak goreng merek Filma.
Dengan Indra, saya pernah sekali wawancara, cerita soal bagaimana bisnis keuangan Sinarmas dikendalikan melalui PT Sinarmas Multiartha Tbk, baik itu bank, sekuritas, hingga asuransi. Titik kembalinya bisnis keuangan Sinarmas terjadi setelah mengakusisisi PT Bank Sinta, yang kemudian diganti nama menjadi Bank Sinarmas, dan terus bertumbuh melampui kejayaan BII.
Adapun, melalui Gandi Sulistiyanto, pertama kali saya mendengar kabar berpulangnya Eka Tjipta. Gandi, seorang profesional sudah puluhan tahun dipercaya oleh keluarga ini sebagai juru bicara, memimpin Sinarmas President Office, sebuah institusi unik yang menopang pilar-pilar bisnis konglomerasi tersebut.
Eka Tjipta adalah seorang manusia pembelajar. Krisis keuangan 1998 membuat Sinarmas hampir bangkrut, dan terpaksa menyerahkan BII kepada pemerintah, dan APP menjadi pasien BPPN.
Bagi konglomerat pada masa Orde Baru, memiliki bank adalah sebuah keniscayaan. Ketika itu, dengan modal hanya Rp50 miliar, mereka bisa mendirikan bank. Demikian juga Eka Tjipta dengan BII, simbol kejayaan usahanya lenyap karena krisis.
Namun, setelah selamat dari lubang jarum krisis 1998, Eka Tjipta segera memperbaiki model bisnis sekaligus melakukan regenerasi. Anak-anak Eka Tjipta menggarap pilar bisnis yang secara legal tidak terkait satu dengan lainnya. Entitas bisnis kertas, tidak terkait dengan pilar bisnis keuangan, maupun kelapa sawit, dan properti.
Muchtar Widjaja misalnya dipercaya untuk menggarap bisnis properti yang bertransformasi dalam satu induk usaha Sinarmas Land. Teguh Ganda Widjaja mengelola bisnis kertas di bawah induk Asia Pulp and Paper Ltd., Indra Widjaja menggarap pilar bisnis keuangan, dan Franky di bisnis kelapa sawit dan teknologi.
Nah, masing-masing pilar bisnis ini terhubung oleh President Office yang dipimpin oleh Gandi Sulistyanto, lembaga yang berfungsi untuk menghubungkan nilai yang diwariskan sang pendiri sekaligus tampil sebagai ujung tombak komunikasi. Terbukti, Sinarmas tak ingin jatuh pada lubang yang sama, dan secara lembut melakukan regenerasi hingga ke cucu alias generasi ketiga.
Mengenang Eka Tjipta adalah cerita soal kegigihan. “Kalau saya sudah menangani sebuah pekerjaan, sampai kapanpun akan saya kejar dan harus jadi,” tuturnya suatu ketika.
Seperti diceritakan oleh Dahlan Iskan, jurnalis senior yang pernah menulis buku tentang Eka Tjipta, 30 tahun silam. Dahlan tak bisa lupa dengan kisah awal Eka Tjipta memulai jadi pengusaha. Bahkan awal kehidupannya di Makassar. Saat umurnya baru 9 tahun.
Pada umur sekecil itu Eka Tjipta ikut kapal. Dari daerah Hokkian. Mengarungi lautan bebas. Menyusul ayahnya. Yang sudah lebih dulu ke Makassar. Sang ayah waktu itu sudah punya rumah. Meski dindingnya terbuat dari bambu (gedhek), dan atapnya dari rumput. Mungkin maksudnya, daun rumbia.
Sang ayah sudah punya usaha kecil-kecilan. Toko sederhana. Eka tidak ingin sekolah dulu. Ingin membantu ayahnya. Caranya, menjajakan barang mirip yang ada di toko ayahnya. Ke kampung-kampung. Ia tidak mau hanya ikut menjaga toko. Tapi memilih ‘jemput bola’ ke rumah konsumen.
Eka Tjipta adalah orang yang pintar memanfaatkan kesempatan yang orang lain tidak lihat. Seperti cerita Ahmad Djauhar, Wakil Ketua Dewan Pers yang waktu muda sering wawancara. Eka Tjipta mengaku, banyak mendapatkan inspirasi usaha dari membaca berita ekonomi bisnis, produk jurnalistik yang sering ditulis Djauhar.
“Pak Eka bilang, bahwa dia bisa memperoleh ide usaha baru dari membaca berita, sementara kami hanya bisa menulisnya saja,” tuturnya.
Kombinasi kegigihan, pembelajar, dan kepintaran memanfaatkan kesempatan inilah yang membawa Eka Tjipta memiliki aset senilai US$13,9 miliar (Rp201,5 triliun) pada 2018 dan berada di peringkat kedua sebagai orang terkaya di Indonesia menurut penghitungan Globe Asia. Nilai kekayaannya itu naik dari US$10,8 miliar yang ia catatkan pada 2017.
Sebagai salah satu raja kelapa sawit dan kertas, Eka Tjipta menikmati kuatnya permintaan global. Di bisnis pulp and paper, berbagai perusahaan Sinar Mas di China dan Indonesia tergabung melalui lini bisnis Asia Pulp and Paper. APP merupakan perusahaan kertas dan bubur kertas terbesar nomor dua di dunia.
Grup Sinarmas yang didirikan Eka 80 tahun silam, telah menjelma menjadi salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia dengan lebih dari 300.000 karyawan. Sinarmas ditopang dengan bebeberapa pilar bisnis utama seperti agribisnis, keuangan, dan properti.
Beberapa unit usaha APP, tercatat di Bursa Efek Indonesia dan menjadi incaran investor ritel seperti PT Tjiwi Kimia Tbk. (TKIM) dan PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk. (INKP).
Tahun lalu, saya menulis cerita sukses Lo Kheng Hong, kolektor saham INKP. Pria yang dikenal sebagai Warren Buffet Indonesia tersebut pernah membeli saham PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. (INKP) pada harga Rp1.000 lalu melepasnya diharga Rp11.000—kini harga saham emiten ini pada kisaran Rp13.000—.
Tulisan itu ternyata menarik perhatian Teguh Ganda Widjaja, sehingga utusannya menelpon saya agar dihubungkan dengan Lo Kheng Hong.
Dengan senang hati, Lo Kheng Hong mau menemui Teguh. Hingga sekarang, saya tak pernah tahu apa yang mereka berdua bicarakan.
Kini, Eka Tjipta telah tiada. Namanya akan dikenang karena usaha keras semasa hidup. Apakah anak keturunannya akan bisa terus mengendalikan bahtera raksasa usaha Sinarmas? Biar waktu yang menjawabnya.