Bisnis.com, JAKARTA - Banting setir dalam berbisnis bisa membuka peluang baru untuk mendulang kekayaan. Hal itu yang terjadi pada Giancarlo Devasini, salah satu miliarder terkaya dari mata uang kripto.
Namun, awal perjalannya menjadi miliarder jauh dari kripto. Mengutip Forbes, miliarder asli Italia ini memulai kariernya sebagai dokter bedah plastik.
Lahir di Turin, Italia pada 1964, Giancarlo Devasini lulus dari University of Milan pada 1990 dengan gelar kedokteran dan mulai berpraktik sebagai dokter bedah plastik.
Namun, setelah dua tahun, dia merasa profesinya tidak memuaskan dan memutuskan untuk berhenti, sambil menggambarkan pekerjaannya sebagai "eksploitasi keinginan sesaat."
Pada 1992, Devasini mulai mengalihkan fokusnya ke sektor teknologi yang kala itu sedang berkembang pesat. Dia memulai dengan mendirikan Point-G Srl, sebuah perusahaan distribusi elektronik yang mengimpor komponen komputer dari China, Hong Kong, dan Taiwan untuk didistribusikan ke seluruh Eropa.
Semangat berbisnisnya di bidang teknologi tidak berhenti di situ. Pada 1997, dia mendirikan Solo SpA, sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam menyortir, menilai, dan menjual kembali produk dari produsen DRAM terkemuka seperti Micron Technology dan Taiwan Semiconductor.
Baca Juga
Di bawah kepemimpinannya, Solo SpA berkembang, melahirkan beberapa anak perusahaan, termasuk Compass Srl pada 1999, Alcosto SpA pada 2000, Freshbit SpA pada 2002, dan Acme SpA pada 2004.
Pada puncaknya, grup Solo memiliki lebih dari 100 karyawan dan menghasilkan pendapatan tahunan lebih dari 113 juta euro.
Namun, dengan kecermatannya, dia mengantisipasi pergeseran pasar, dan menjual Solo SpA sesaat sebelum krisis keuangan 2008.
Terjun ke Dunia Mata Uang Kripto
Dunia keuangan dan teknologi terus berkembang, yang terus menarik minatnya hingga pada 2012, Devasini menemukan Bitcoin.
Menyadari potensinya yang begitu besar, dia pun terjun ke dunia mata uang kripto. Di akhir tahun itu, dia bertemu Raphael Nicolle, pendiri Bitfinex, bursa mata uang kripto yang baru berdiri.
Tertarik dengan platform inovatif tersebut, Devasini menjadi mitra Bitfinex, memainkan peran penting dalam membangun hubungan perbankan, menarik personel kunci, dan merelokasi bursa ke yurisdiksi yang lebih menguntungkan.
Pendirian Tether
Pada 2014, Devasini mendirikan Tether, yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara keuangan tradisional dan dunia kripto dengan memperkenalkan stablecoin yang dipatok dengan dolar AS.
Inovasi ini memberikan stabilitas di pasar mata uang kripto yang fluktuatif, yang memungkinkan para pedagang untuk bergerak dengan lancar antara mata uang fiat dan digital.
Di bawah pengelolaan keuangannya, Tether telah mencetak lebih dari 100 miliar token, yang secara signifikan memengaruhi likuiditas dan stabilitas dalam ekosistem kripto.
Pada Maret 2025, Devasini menjabat sebagai Chief Financial Officer (CFO) Bitfinex dan Tether. Manajemen keuangan strategisnya berperan penting dalam profitabilitas Tether, dengan perusahaan menghasilkan laba sebesar US$6,2 miliar pada 2023 dari bunga atas agunan nasabah.
Keberhasilan Devasini tercermin dalam kekayaan pribadinya; dia memiliki sekitar 47% saham di Tether, yang berkontribusi terhadap kekayaan bersih sebesar US$9,2 miliar, menempatkannya di antara individu terkaya secara global.
Mengutip Forbes, saat ini Devasini tercatat memiliki kekayaan mencaai US$22,4 miliar atau sekitar Rp363,85 triliun. Dia menduduki posisi orang terkaya ke-93 di dunia dan ke-3 di Italia.
Dibandingkan dengan tahun lalu, kekayaannya bertumbuh cukup pesar mencapai US$13,24 miliar dari sebelumnya US$9,2 miliar.