Pada kurun satu tahun terakhir di berbagai forum, Ignasius Jonan selalu menyampaikan hal ini; perubahan tahta 10 perusahaan dengan valuasi terbesar di dunia. Menteri energi dan sumber daya mineral tersebut membandingkan data 2008 dan 2018, bersumber dari Bloomberg dan Google.
Pada 2008, lima dari sepuluh perusahaan dengan valuasi terbesar didominasi oleh sektor perminyakan seperti seperti Petrochina, Exxon, Gazzprom, Royal Dutch Shell dan Sinopec. Pada 2018, semua nama itu terlempar dari daftar, diganti dengan nama baru sektor teknologi seperti Apple, Google, Microsoft, Amazon dan Facebook.
Facebook—dengan valuasi US$545 miliar—bahkan baru berumur 10 tahun saat masuk dalam daftar korporasi terbesar dunia. Google hanya perlu waktu 20 tahun untuk menjadi perusahaan terbesar kedua dengan valuasi US$768 miliar, dan Apple perlu waktu 42 tahun menjadi nomor satu.
Bahkan, delapan dari 10 perusahaan terbesar saat ini bergerak dalam bidang teknologi termasuk Tencent dan Alibaba dari China. Pada 2008, ada dua perusahaan telekomunikasi masuk dalam daftar dan sekarang juga terlempar bersama korporasi bidang perminyakan.
Jonan menyebut, di era industri 4.0 tak perlu waktu lama bagi sebuah perusahaan untuk menjadi besar. Umumnya perusahaan ini dikelola anak-anak muda, dengan siklus perkembangan cepat dan sangat inovatif.
Dalam hal valuasi, perusahaan-perusahaan belia ini telah menjadi pembunuh raksasa. Mereka ini banyak dipimpin oleh anak-anak muda dengan sebutan milenial. Pada 10 tahun lalu, kaya sering diidentikkan dengan raja minyak, merujuk pada jenis usaha yang lagi booming dan diperlukan seluruh umat manusia.
Anak-anak muda inilah yang kini menentukan arah bisnis dunia. Mereka sampai puncak dalam usia belia, kebanyakan lahir dari usaha keras sendiri merintis usaha, atau memang dipersiapkan oleh para orang tua mereka melanjutkan bisnis yang sudah telanjur besar.
Yuswohady, senior saya semasa kuliah di UGM --kini menekuni dunia pemasaran dan brand-- bahkan menulis buku dengan judul sangat provokatif, Millennials Kill Everything yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (21/3). Dia menulis, dalam perspektif perubahan perilaku konsumen, perusak tatanan bisnis yang sudah berlangsung lama.
Milenial dalam analogi Yuswohady,adalah‘pembunuh berdarah dingin’ bagi banyak produk dan layanan. Ini karena perilaku dan preferensi mereka yang berubah sehingga produk dan layanan menjadi tidak relevan lagi, alias punah ditelan zaman.
Contoh nyata korban milenial adalah golf. Tren dunia menunjukkan bila 10 tahun terakhir viewership ajang-ajang turnamen golf bergensi turun drastis setelah mencapai puncaknya pada 2015. Tahun lalu bahkan turun drastis 75%, dan hanya 5% milenial yang menekuni olahraga mahal itu.
Korban berikutnya adalah department store. Anda pasti tahu apa sebabnya; perubahan perilaku dan preferensi melalui belanja online, dan kegiatan belanja tidak lagi menghebohkan, berganti dengan mengkonsumsi pengalaman.
Perilaku dan preferensi yang berubah ini saya kira yang menjadikan lansekap bisnis bergeser. Oleh karena itu hanya bisnis yang relevan bisa bertahan, dan bisnis-bisnis yang bisa memikat para milenial --sebagai kelompok umur masyarakat terbesar saat ini-- bisa melesat.
Ditambah dengan revolusi digital, senjakala industri seperti tidak pandang bulu. Perkembangan ini tak terelakkan dan bisa menebas kaki-kaki para petahana, menciptakan efisiensi, dan tentu saja membuat hidup lebih mudah.
Di Indonesia, siapa menyangka, valuasi perusahaan aplikasi PT Go Jek Indonesia yang berumur kurang dari 10 tahun valuasinya kini sudah melampaui PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) hingga 10 kalinya. Padahal, Garuda –dan juga juga banyak perusahaan lain—telah memulai usaha sejak awal republik ini berdiri.
Inikah yang disebut revolusi? Disrupsi digital musuh utamanya adalah inefisiensi. Agar tidak tergerus revolusi, transformasi agar bisnis tetap relevan dan tentu saja makin efisien adalah satu-satunya pilihan.
Di industri perbankan, kita mendapati perilaku nasabah tidak seperti dahulu lagi. Segala macam transaksi bergeser secara digital. Di bank-bank besar, angkanya bervariasi, dari 90% hingga 97%. Jadi sebagian besar transaksi kini tak perlu datang ke bank, cukup dari rumah, atau bahkan melalui telepon genggam
Itulah mengapa para bankir memperkirakan, dalam 10 tahun mendatang, setengah pekerjaan di bank hilang. Namun yakinlah banyak pekerjaan baru tercipta, dan para milenial ini, lagi-lagi menuntut fleksibilitas bekerja, tidak melulu ke kantor asal kinerja yang dikehendaki tercapai.
***
Karena pekerjaan, saya termasuk beruntung menjadi saksi banyak perubahan bisnis terkini dari tangan pertama. Dalam 1 bulan terakhir saya bertemu para pemimpin bisnis milenial, seperti John Riady, Nadiem Makarim, dan William Tanuwijaya.
Berbicara dengan John, saya serasa menyaksikan reinkarnasi hasil perpaduan sang kakek dan ayah, Mochtar dan James Riady; visioner, penuh semangat dan inspiratif. John (33 tahun) sejak pekan lalu, telah didapuk menjadi pemimpin usaha konglomerasi Lippo yang kini beroperasi di tujuh negara.
Lippo, yang oleh John diklaim telah melayani 60 juta konsumen dengan 10.000 transaksi per menit, bahkan perlu melakukan transformasi bisnis agar tetap relevan. Menurut doktor hukum dari Universitas Colombia Amerikat Serikat ini, Lippo kini akan fokus pada usaha yang menjadi kompetensi utamanya yakni properti dan kesehatan.
“Sudah saatnya kami berubah, dari semula usaha yang selalu berorientasi dengan pertumbuhan, ke arah usaha yang berorientasi pada operational excellent. Misalnya untuk Rumah Sakit Siloam yang dulu hanya 4 unit menjadi 35 unit, kami membutuhkan operational excellent,” tuturnya.
Jadi sederhananya begini, dalam 3 tahun mendatang, Lippo akan berubah dan hanya menjadi dua induk usaha saja PT Lippo Kawaraci Tbk yang menampung dua lini usaha properti dan kesehatan, serta PT Multipolar Tbk yang akan bertransformasi jadi perusahaan investasi.
John juga berjanji akan memperbaiki tata kelola Lippo dari kesalahan di masa lalu, termasuk persepsi buruk yang menimpa kelompok usaha ini. “Kalau bicara salah dan benar mungkin tidak ada habisnya, tetapi menjadi lebih baik dan bermanfaat itu keharusan.”
Dari Lippo yang kini dipimpin oleh generasi ketiga Keluarga Riady, saya beralih pada Nadiem Makarim, sosok milenial yang tinggal selangkah lagi membawa PT Go Jek Indonesia menjadi perusahaan decacorn, bisnis rintisan yang bervaluasi di atas US$10 miliar. Konon, Go Jek bernilai US$9 miliar.
Nadiem, di saat usaha rintisannya memasuki 9 tahun, telah membawa Go Jek melambung mendekati PT Bank Negara Indonesia Tbk (US$11 miliar) yang berdiri hanya setahun setelah Indonesia merdeka. Namun, dia juga berhadapan dengan bisnis yang tidak mudah karena pesaing tidak kalah garang.
Karena persaingan dengan Grab, Go Jek tak kunjung menjual jasa layanan transportasi online pada titik keekonomian alias terus terusan mensubsudi tarif. Dia harus mencari cara, bagaimana sumber pendapatan diperoleh dari produk derivatif Go Jek seperti Go Food.
Sementara William Tanuwijaya harus berpikir keras untuk mulai membangun sistem rantai pasok paling efisien agar visinya bisa menjangkau konsumen secara berkelanjutan dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Namun, baik Nadiem maupun William telah memenangkan satu medan pertempuran utama setelah sejumlah pesaing berguguran. Menyitir James Riady, dalam 500 usaha rintisan yang lahir, hanya aka ada satu dua pemenang, itulah mengapa Lippo sejak tahun lalu telah menyerah dalam perang usaha dagang elektronik dengan menarik Mataharimall.com dalam medan kompetisi.
Maka, kita serahkan saja kendali bisnis pada anak-anak muda ini yang memang secara alami mengetahui kebutuhan kaum segenerasinya. Mungkin perusahaan-perusahan yang sudah mapan bisa segera mempertimbangkannya.
Para milenial ini telah mulai membuktikan bahwa mereka bisa menjadi penguasa bisnis, sekalipun pesaing yang berbahaya. Seperti kata Soekarno, beri aku sepuluh pemuda, maka aku akan guncangkan dunia.