Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bisnis Kecantikan Krisis, Begini Strategi CEO Shiseido

Di tengah krisis akibat pandemi Covid-19, CEO Shiseido Masahiko Uotani melalukan berbagai upaya untuk mempertahankan bisnis kosmetik perusahaan, mulai dari pemanfaatan e-commerce hingga menyulap staf toko ritelnya bak influencer kecantikan.
CEO Shiseido Masahiko Uotani/ Shiseido
CEO Shiseido Masahiko Uotani/ Shiseido

Bisnis.com, JAKARTA – Raksasa kosmetik asal Jepang, Shiseido Co., memompa eksistensinya dalam dunia e-commerce di tengah krisis yang melanda bisnis kecantikan.

CEO Masahiko Uotani menuturkan perusahaan berusia 148 tahun tersebut melihat proporsi online dari keseluruhan penjualan tumbuh menjadi 30 persen dalam dua atau tiga tahun, jika kondisi saat ini berlanjut, dari hanya seperlimanya.

“Dari sudut pandang bisnis, kami telah mencoba mencari solusi untuk situasi saat ini dan menggunakannya sebagai kesempatan untuk melangkah lebih cepat dengan beberapa reformasi,” terang Uotani dalam sebuah wawancara di Tokyo, dilansir dari Bloomberg.

Reformasi untuk Shiseido, yang sangat bergantung pada penjualan di department store, mencakup pelatihan konsultan kecantikan untuk menggunakan live streaming dan media sosial.

“Selain itu, bekerja sama lebih dekat dengan para peritel untuk pengalaman belanja yang didukung teknologi dan berinvestasi dalam konten pemasaran baru untuk online,” lanjut Uotani. Semua strategi ini telah diterapkan oleh perusahaan tersebut di China.

“Kami perlu menggabungkan upaya online dan offline untuk membuat orang membeli lebih banyak. Produk kecantikan berbeda dari yang lain karenanya sentuhan manusia sangat penting, jadi kami perlu memikirkan struktur yang memungkinkannya. Ada banyak yang bisa kami pelajari dari apa yang dilakukan di China,” katanya lagi.

Fokus ini dilancarkan ketika industri kecantikan menghadapi tantangan-tantangan tidak terduga akibat dampak pandemi virus Corona (Covid-19).

Langkah-langkah untuk mengendalikan persebaran virus mematikan itu telah melelehkan kebiasaan sosial seperti merias wajah di pagi hari atau menyemprotkan parfum sebelum hang out di malam hari.

Ketika publik diperintahkan untuk membatasi pergerakan sosial mereka dan berdiam di rumah (stay at home), kebutuhan akan perawatan kecantikan telah menjadi prioritas yang lebih kecil, sehingga menyulitkan bisnis ini untuk bangkit kembali dengan cepat.

Situasi itu menjadi lebih rumit karena department store dan salon kecantikan telah ditutup selama lockdown di banyak negara. Alhasil, konsumen terdorong untuk mencari merek kosmetik yang lebih murah secara online.

Penjualan Shiseido merosot 17 persen pada kuartal pertama dan laba operasi anjlok 83 persen, sebagian besar disebabkan oleh pembatasan ketat terhadap mobilitas masyarakat di China. Negeri Tirai Bambu diketahui berkontribusi seperlima dari bisnis perusahaan.

“Prospek laba jangka pendek akan sulit. Tapi saya pikir Uotani akan memanfaatkan itu untuk setiap perubahan struktural material yang dia tidak bisa terapkan dalam keadaan berbeda,” ujar Analis di JPMorgan Chase & Co., Ritsuko Tsunoda.

Strategi Mini-influencer

Transisi penjualan produk kecantikan secara online bukanlah langkah mudah bagi industri yang dibangun berdasarkan preferensi konsumen ini. Belum lagi, konsumen biasa dimanjakan dengan melihat deretan sampel secara langsung di tempat.

Shiseido melatih staf penjualannya di Jepang untuk mengubah penjaga counter kecantikan menjadi mini-influencer. Di China, konsultan kecantikan telah beralih ke media sosial untuk mengucurkan produk-produk terbaru yang telah tiba. Pelanggan yang tertarik kemudian diarahkan ke situs department store untuk membeli produk.

Uotani melihat penjualan e-commerce di China mencapai 40 persen dari pendapatan wilayah itu tahun ini sekaligus melonjak dari 30 persen saat ini.

Pada April, setelah lockdown berakhir, penjualan merek-merek berharga fantastis di China mencapai level pra-Covid-19. Pemulihan yang cepat di China dikatakannya bisa menjadi pertanda baik bagi kawasan lain.

“Dalam jangka pendek, perusahaan akan memprioritaskan merek kecantikan kelas atas yang dapat menghasilkan arus kas untuk berinvestasi dalam e-commerce,” ungkap mantan Eksekutif Coca Cola Japan tersebut.

Perusahaan di balik merek makeup NARS dan Laura Mercier ini ingin mempercepat ekspansi merek Drunk Elephant, yang dibelinya dalam kesepakatan bernilai US$845 juta tahun lalu, karena prestise produk perawatan kulit tampak tangguh selama pandemi.

Pembuatan kesepakatan, seperti menjual aset noninti atau membeli bisnis yang dapat mendukung fokus perusahaan pada prestise dan e-commerce, juga merupakan bagian dari penyesuaian.

“Ini adalah krisis yang sangat dalam untuk bisnis kami, dan kami perlu melindungi para karyawan dan perusahaan," katanya.

Banyak analis dan investor memuji sepak terjang Uotani di Shiseido. Nilai perusahaan telah naik lebih dari empat kali lipat selama ia menjabat, sebelum pandemi Covid-19 menyerang. Setelah menorehkan sukses seperti itu, krisis saat ini dipastikan akan menjadi ujian terbesarnya.

“Dampak tidak terduga dan tidak terkendali dari pandemi global itu adalah yang terbesar yang pernah saya tangani sepanjang karir saya,” tandas pria berusia 66 tahun ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper