Bisnis.com, JAKARTA - Bermodalkan keyakinan melanjutkan misi orangtua membantu petani desa, Kadek Surya Prasetya banting stir dari bankir jadi petani.
Keputusan Kadek Surya ternyata tak sia-sia. Hingga akhirnya dia meraih predikat Duta Petani Milenial yang tergabung dalam Kelembagaan Ekonomi Petani dari Kementerian Pertanian 2019 lalu.
Kadek mengenang, sebelumnya pada 16 Desember 2016, dia masih menerima penghargaan sebagai karyawan terbaik di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Penghargaan diberikan langsung oleh Direktur Utama BRI saat itu, Asmawi Syam. Sebenarnya bersamaan dengan rezeki itu, Kadek dirundung kalut karena dia dihadapkan pada pilihan melanjutkan perusahaan rintisann orangtua di Bali.
Dengan nekat dan memberi keterkejutan bagi perusahaan, pada 1 Januari 2017, Kadek pun memutuskan untuk keluar dari BRI. Dia memilih meneruskan misi ayahnya membantu petani coklat di Tabanan, Bali lewat perusahaan pengelolaan coklat organik yang berdiri sejak 2014 yaitu Cau Chocolate Bali Factory and Agro Tourism.
“Ayah saya ini memang cuma punya cita-cita ingin membuat petani tersenyum. Kebetulan beliau memang mantan PNS [pegawai negeri sipil] di Badan Penyuluhan Pertanian,” ungkap Kadek kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Motivasi awal sang ayah juga terdorong maraknya produk coklat bermerk asing yang memanfaatkan hasil coklat dari Bali. Beberapa pabrik coklat di Jawa pun masih mengandalkan bahan baku coklat asal Bali. Kondisi tersebut membuat petani coklat di Bali hanya menerima laba yang sangat kecil jika dibandingkan keuntungan perusahaan.
Kegelisahan itu mendorong ayahnya memulai pemberdayaan petani coklat di Tabanan dan memproduksi coklat lokal. Sejumlah cara dikerjakan, salah satunya dengan membangun koperasi petani untuk menjual produk coklat mereka.
“Awal 2014 pada masa ayah saya masih memegang usaha ini memang sulit sekali. Perusahaan sampai rugi dan berhutang sekitar Rp1 miliar, barulah saat saya masuk dengan bermodalkan ilmu dari perbankan saya coba perbaiki,” sambungnya.
Keterlibatan jelas membuahkan keuntungan. Omzet Cau Chocolate pun melesat sejak 2017 menjadi Rp1 miliar. Pada tahun berikut yaitu 2018 omzet Cau Chocolate mencapai Rp7 miliar, hingga 2019 lalu berhasil menyentuh Rp12 miliar.
Kadek pun membagikan kiat sukses mendorong bisnis, salah satunya dengan menerapkan harga tinggi pada produk coklat bernilai tambah.
Sebagai contoh, Kadek menaikkan harga hasil kokoa di koperasi. Untuk coklat tanpa fermentasi da tidak organik, umumnya dibeli dengan harga Rp30 ribu. Kadek lalu memasang harga untuk coklat tak organik tanpa fermentasi dibeli Rp41 ribu.
Jika coklat tersebut tidak organik namun sudah terfermentasi, harga semakin tinggi yakni Rp45 ribu. Bagi produk coklat yang organik dan juga sudha terfermentasi, Kadek membelinya dengan harga Rp53 ribu.
Strategi ini mau tak mau mendorong petani untuk mau memberikan nilai tambah pada produk coklat. Hal ini juga sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 67/2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao. Sayangnya, aturan ini tak selalu dilaksanakan oleh semua perusahaan yang bergerak pada pengelolaan coklat.
“Kami mengutamakan coklat terfermentasi, sebab sebelumnya banyak perusahaan besar yang membeli coklat tak fermentasi. Kami tak seperti itu dan kami ikut aturan pemerintah. Sebab kalau terus begitu, kualitas coklat Indonesia akan turun di pasar global dan sulit juga bagi kami melakukan ekspor,” pungkasnya.
Beberapa imbas lain jika coklat Indonesia tak terfermentasi, Indonesia pun kesulitan masuk dalam keanggotaan The International Cocoa Organization (ICCO). Alhasil harga kokoa Indonesia turun, rendah dan terlalu murah sehingga tak memberi keuntungan bagi petani.
“Untuk mendorong itu kami pun ada program edukatif kepada petani agar coklat yang mereka hasilka bisa kaya rasa dan terfermentasi. Kami ada tiga tahap pelatihan dari proses fermentasi, proses roasting atau pemanasan, dan kami ajarkan proses pengadukan dengan gula,” paparnya.
Saat ini ada dua koperasi petani coklat di Bali yang dikelola oleh Cau Chocolate. Koperasi di Jembrana beranggotakan 600 petani, dimana 200 petani sudah menghasilkan coklat fermentasi, sisanya 400 petani menghasilkan coklat non fermentasi dan juga belum organik.
Koperasi berikutnya di Tabanan, ada 400 orang petani. Adapun semua anggota koperasi di Tabanan sudah 100% menghasilkan produk coklat fermentasi meski belum organik.