Bisnis.com, JAKARTA – Usai menyelesaikan kewajiban sebagai Direktur Utama PT Bank CIMB Niaga Tbk., Arwin Rasyid lebih memilih untuk mendokumentasikan pengalamannya dalam buku.
Arwin menjadi direktur utama di Bank CIMB Niaga pada 2008- 2015. Sebelum berlabuh ke bank asal Malaysia, dia sempat duduk sebagai Direktur Utama Telkom Indonesia pada 2005-2007.
Setelah lima tahun namanya tidak muncul dalam industri perbankan, kini Arwin memberikan warna baru bagi industri ini. Dia meluncurkan buku manajemen strategi sebagai top executive untuk mendorong digitalisasi sektor perbankan di Bank CIMB Niaga.
Pandemi virus corona (Covid-19) tak menghalangi Arwin untuk meluncurkan buku barunya secara virtual melalui Youtube Live Streaming, Digital Banking Revolution pada Jumat (14/8/2020).
Arwin Rasyid menceritakan pengalamannya. Menurutnya, masa kepemimpinan di perusahaan tersebut, telah melahirkan inovasi rekening ponsel. Pada masa itu, inovasi tersebut mungkin masih sangat jarang di kalangan masyarakat.
Adapun mekanisme kerja yang diterapkan CIMB Niaga dalam rekening ponsel tidak berbeda dengan konsep fintech saat ini yang memudahkan transaksi keuangan melalui nomor telepon.
“Sekarang pemenang konsep dompet digital itu malah dikuasai pelaku keuangan non bank yaitu fintech dan neo bank. Dengan modal dan akses teknologi tak disangka pelaku keuangan non bank menjadi market leader yang kini provide financial services,” ujar Arwin.
Berkaca dari dinamika tersebut, pada pergerakan 4G ke 5G sektor perbankan harus berhadapan dengan neo bank. Konsep neo bank yang lebih hemat ini tidak membutuhkan cabang dan semua terintegrasi melalui ponsel. Salah satu neo bank yang sukses adalah Kakao Bank di Korea Selatan yang mampu menguasai seperlima dari populasi penduduk Korea. Sejumlah inovasi ini menjadi relevan untuk dikerjakan dan dipersiapkan oleh industri perbankan.
Menurut Arwin, saat ini masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat digital karena mengakses telepon dan internet sekitar 8 sampai 11 jam per hari. Jumlah populasi yang aktif mengakses internet di Indonesia juga sekitar 160 juta lebih. Dari populasi itu ada 88 persen aktif di media sosial. Alhasil Indonesia pun tercatat aktif pada posisi keempat pada platform Facebook, WhatsApp, dan Instagram, serta aktif nomor 9 di Twitter.
“Oleh sebab itu perbankan kini harus bisa mempersiapkan diri dari 4G ke 5G. Jika dari 3G ke 4G pemenangnya jadi game changer, maka nantinya dari 4G ke 5G juga another game changer,” ujar Arwin.
Peluang layanan perbankan menjadi game changer bisa berkaca dari kesuksesan financial technology yang mana di seluruh dunia baru berdiri pada 2005 silam, tetapi kini sudah tercipta hampir 15.000 fintech di seluruh dunia. Salah satu yang terbesar adalah ANT Financial milik grup Alibaba.
Sebaliknya, untuk neo bank sebagai the challenger bank meski tak punya kantor cabang fisik namun mereka memberi layanan perbankan secara digital. Misalnya saja untuk pembayaran secara daring, transfer daring hingga peminjaman dan kredit secara daring.
Beberapa di antaranya juga mengambil layanan dari fintech sejenis peer to peer (P2P) lending maupun pay later. Alhasil meski baru berdiri pada 2016, neobank kini sudah berjumlah 45 perusahaan di seluruh dunia.
“Kita harus mengubah dulu paradigma kita dalam bertransformasi dari konvensional ke digital,” tuturnya.
Misalnya, kata Arwin, perbankan selalu berorientasi soal pertumbuhan aset, fintech dan neo bank justru berorientasi pada valuasi perusahaan. Kedua, perbankan membidik profit dan payback, sebaliknya fintech dan neo bank justru membidik pangsa pasar dan volume.
Ketiga, perbankan menilai kinerja dari pendapatan atau pembiayaan sementara fintech dan neo bank dari seberapa besar mereka bisa membakar uang atau cash burn rate. Keempat, perbankan konvensional masih menilai teknologi sebagai jembatan saja atau enabler. Sementara fintech dan neo bank melihat teknologi sebagai cara membuka peluang bisnis baru.
Oleh sebab itu, dalam buku yang dia tulis berjudul “Digital Banking Revolution”, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia merangkum ada lima hal penting bagi sektor perbankan menghadapi era digital.
Pertama, sektor perbankan harus bersiap dan sigap dalam menyambut pergeseran dari 4G ke 5G. Kedua, perbankan tidak bisa menolak keniscayaan dari transformasi digital. Ketiga, dengan mengadopsi pemikiran fintech dan neo bank, bisnis perbankan tidak bisa hanya bergantung pada pertumbuhan aset.
Keempat, perbankan harus membangun paradigma baru dalam merumuskan inovasi dan budaya pelayanan. Kelima, pentingnya perbankan membangun integrasi platform salah satunya langsung menyasar e-commerce.