Bisnis.com, JAKARTA - Selama pandemi Covid-19, banyak perusahaan yang berlomba-lomba memberikan bantuan sosial kepada masyarakat sebagai bagian dari kegiatan corporate social responsibility (CSR).
Yuswohady, Managing Partner Inventure membagi kegiatan CSR dalam tiga spektrum. Pertama, kegiatan yang sifatnya charity/giving dan seringkali tidak terkait dengan bisnis perusahaan.
Kedua, CSR yang diselaraskan dengan kepentingan bisnis dan biasanya tertujuan untuk mendongkrak reputasi brand, membangun relasi/loyalitas dengan stakeholders, atau bertujuan mendorong penjualan.
Ketiga, kegiatan CSR yang secara strategis menyatu dengan visi-misi-strategi bisnis perusahaan. CSR jenis terakhir ini (biasa disebut CSV atau creating shared value) biasanya dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan berorientasi jangka panjang. Bentuknya tidak hanya sekadar charity atau pembentukan citra korporat, tapi betul-betul dalam rangka menciptakan social benefit yang berdampak pada masyarakat.
Dari ketiga bentuk CSR tersebut, saat ini, terutama di masa pandemi banyak perusahaan yang melakukan kegiatan sosial lebih mengarah kepada pada kegiatan charity dibandingkan dengan program CSR yang benar-benar menyentuh langsung persoalan pandemi.
Padahal, banyak sektor yang terkait dalam persoalan di masa pandemi ini mulai dari pendidikan, pengangguran, kesejahteraan sosial, kesehatan, hingga UMKM. Namun, karena pandemi terjadi secara tiba-tiba dan cepat, perusahaan belum sempat merancang solusi sistematis melalui program CSR. Apalagi banyak perusahaan yang penjualannya juga ikut merosot akibat pandemi sehingga belum sempat memikirkan program CSR yang sistematis.
Baca Juga
“Saat ini sifat CSR nya masih dalam bentuk membantu masker atau hand sanitizer karena belum terpikir ke arah strategis untuk mencari solusi di masa pandemi. Namun saya prediksi ke depan nantinya CSR perusahaan arahnya akan ke situ [strategi jangka panjang solusi di masa pandemi] karena kita juga belum tahu kapan pandemi ini berakhir bisa 1 tahun atau bahkan 5 hingga 10 tahun ke depan,” tuturnya.
Yuswohady mengatakan bahwa biasanya perusahaan yang memiliki program CSR yang tersistematis dan sifatnya jangka panjang serta benar-benar dapat memberdayakan masyarakat, lebih banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama yang sudah memiliki divisi khusus CSR.
Menurutnya, perusahaan-perusahaan besar tersebut sudah memiliki strategi CSR yang mapan dan rapi. Sifatnya pun tidak hanya untuk membangun branding tetapi betul-betul sebagai bentuk tanggung jawab sosial untuk memecahkan berbagai persoalan sosial.
“Perusahaan sudah merasa bahwa mereka telah dibantu oleh pemerintah dan juga masyarakat maka mereka pun merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan sebagian profit yang mereka milik untuk mengembangkan kegiatan CSR yang menyentuh dan bermanfaat langsung bagi masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, untuk perusahaan yang masih dalam tahap menengah biasanya masih belum memiliki program khusus CSR dan kalaupun ada kegiatan CSR nya biasanya masih terkait dengan bisnis dan masuk ke dalam ranah marketing komunikasi sehingga tujuannya untuk kegiatan sosial sekaligus branding dan meningkatkan penjualan.
Menurut Yuswo, besarnya tingkat kepedulian atau anggaran yang dikucurkan perusahaan-perusahaan besar tersebut untuk mendukung program CSR juga tergantung pada pemilik perusahaan. Jika sang founder memiliki jiwa sosial tinggi maka anggaran serta program yang dikembangkan tersebut juga akan mendapatkan prioritas.