Bisnis.com, JAKARTA – Salah satu jantung komputer adalah prosesor. Bagaimana dengan manusia? Apakah bisa mengalahkannya?
Jumlah minimum kemungkinan pola pikir yang dapat dibuat oleh rata-rata otak manusia adalah angka 1 diikuti dengan angka nol berderet sepanjang 10,5 juta kilometer. Fiksi?
Pyotr Anokhin dari Moscow University, murid Ivan Pavlov—sang perintis ilmu jiwa yang legendaris—mengejutkan seluruh komunitas ilmiah ketika menerbitkan penelitiannya tersebut pada 1968.
Jelas, itu bukan fiksi. Dia membandingkan otak manusia dengan ‘instrumen musik multidimensi yang dapat memainkan sejumlah gubahan musik yang tak terbatas jumlahnya secara serentak’. Itulah karunia korteks manusia yang sangat fenomenal.
Setiap orang, menurut dia, dianugerahi hak lahir untuk memiliki kemampuan yang sejatinya tidak terbatas. Namun ketika menyebut bahwa tidak seorang pun, zaman dulu hingga sekarang, yang mengeksplorasi kemampuan otak secara utuh, ilmuwan Rusia itu agaknya ‘terburu-buru’.
Mengapa? Barangkali Anokhin akan sepakat bahwa Leonardo da Vinci dapat digunakan sebagai contoh yang paling membangkitkan ilham bagi orang-orang di antara kita yang ingin menjajaki kemampuan kita sepenuhnya (Michael J. Gelb, 1998).
Temuan dari Rusia tersebut menggugah Howard Gardner untuk berpikir ulang mengenai kecerdasan, yang kemudian melahirkan Teori Kecerdasan Majemuk seperti yang dieksplorasi lebih jauh dalam karyanya yang masih diakui sebagai buku anutan, Frames of Mind (1983).
Nah, bila Anda akrab dengan riset mengenai belahan korteks otak kiri dan kanan, bisa jadi sedikit banyak mengetahui ‘profil dominasi otak’. Maksudnya, apakah seseorang condong sebagai pemikir belahan kanan yang artistik dan intuitif? Atau merasa lebih nyaman dengan logika langkah demi langkah otak sebelah kiri?
Istilah otak kiri dan otak kanan menjadi populer berkat riset pemenang Hadiah Nobel, yaitu Roger Sperry. Dia menemukan bahwa dalam sebagian besar kasus, belahan kiri korteks serebral memproses pemikiran logis dan analitis, sementara belahan kanan memproses pemikiran imajinatif dan menyeluruh.
Persoalannya, meskipun sekolah-sekolah kerap gembar-gembor soal gagasan akan individu yang ‘tercerahkan dan seimbang’, dalam praktiknya kita menderita pandemi berpikir ‘setengah-setengah’.
Merujuk dunia pendidikan di Amerika Serikat maupun secara umum, Sperry melihat adanya kecenderungan kuat pengabaian terhadap bentuk nonverbal intelek. Maksudnya, ada semacam diskriminasi oleh masyarakat modern terhadap belahan otak kanan.
Hasilnya, menurut dia, orang-orang dengan dominasi otak kiri cenderung sukses di sekolah tetapi kerap gagal dalam mengembangkan kemampuan kreatifnya. Di sisi lain, orang-orang yang otak kanannya lebih dominan acap merasa bersalah dengan cara berpikir mereka, sehingga kerap dicap ‘mengalami gangguan belajar’.
Para pencari keseimbangan mau tak mau tertarik untuk belajar dan mendalami sosok da Vinci. Seniman agung era Renainans tersebut mendapat tempat khusus, baik dalam khazanah sains maupun seni.
Itulah yang disebut Gelb sebagai salah satu dari 7 Prinsip Da Vinci, yaitu Arte/Scienza. Ini tidak lain adalah keseimbangan antara ilmu dan seni serta logika dan imajinasi. Sebuah pemikiran yang whole-brain.
Keseimbangan yang menakjubkan ini diakui secara luas, baik oleh sejarawan seni maupun sejarawan sains seperti Kenneth Clark, George Sarton atau Jacob Bronowski.
“Jasa terbesar Leonardo adalah menunjukan kepada kita dengan dirinya sendiri sebagai contoh bahwa upaya mengejar keindahan dan mengejar kebenaran saling cocok satu sama lain,” ujar Sarton.
“Leonardo memberi pada sains apa yang paling diperlukan sains. Kepekaan seniman bahwa detail alam amatlah penting,” kata Bronowski.
Jadi, apakah da Vinci itu ilmuwan yang mempelajari seni atau seniman yang mempelajari sains? “Jelaslah, dia adalah keduanya,” tegas Gelb.
Lalu, bagaimana menerapkan Arte/Scienza dalam kehidupan praktis sehari-hari? Metode yang disebut ‘pemetaan pikiran’ mungkin layak dicoba. Caranya?
Anda pernah menyusun sebuah outline atau kerangka gagasan? Setelah berpikir keras, ide cemerlang belum juga melintas. Yang ada baru sebatas coretan-coretan tak teratur. Jeda, lalu melamun. Masih buntu.
Itulah kondisi di mana belahan otak kanan yang tertekan sedang berusaha mengungkapkan dirinya. Namun mencorat-coret membuat gagasan-gagasan tadi menjadi semakin ruwet. Lalu merasa bersalah karena melamun. Kecewa dan kesal karena ‘perang’ antar korteks tersebut.
Kenapa macet? Sama sekali tak masuk akal berusaha mengorganisasi ide-ide tanpa menggalinya lebih dulu. Selain itu, pembuatan kerangka gagasan dan sistem penggagasan secara linear lainnya mengabaikan kemampuan otak untuk mengolah warna, dimensi, sintesis, ritme, dan gambar. Semuanya menjadi monoton.
“Seharusnya tidak mengagetkan bahwa gaya mencatat banyak pemikir besar dalam sejarah, misalnya Charles Darwin, Michelangelo, Mark Twain, dan Leonardo da Vinci, menampilkan struktur organik bercabang-cabang yang dilengkapi dengan sketsa, coret-coretan kreatif, dan kata-kata kunci,” kata Gelb.
Coretan kreatif Anda pernah berujung sukses di dunia kerja atau bisnis?