Bisnis.com, JAKARTA - Nama pengusaha Prajogo Pangestu sudah tidak asing lagi. Pasalnya, dia telah menempati peringkat ketujuh orang terkaya di Indonesia versi Forbes.
Nilai kekayaan Prajogo per Desember 2022 ini tercatat sebesar US$4,9 miliar atau setara dengan Rp76 triliun.
Namun, di balik kesuksesan dirinya mengelola perusahaan menjadi produsen petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia, pria kelahiran Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 1944 ini ternyata dulu punya nasib yang kurang beruntung secara finansial, hingga sempat menjadi sopir angkot di kotanya.
Lantas, seperti apa sosok dan perjalanan karier Prajogo Pangestu ini? Berikut ulasan Bisnis selengkapnya.
Kehidupan Awal Prajogo Pangestu
Bernama asli Phang Djoem Phen. Semasa kecil, Prajogo Pengestu hidup di tengah keluarga yang kurang beruntung secara finansial.
Sejak kecil dirinya harus bekerja demi membantu sang keluarga, di mana sang ayah adalah seorang penyadap getah karet. Karena keterbatasan biaya itu pula, Prajogo Pangestu hanya dapat menamatkan bangku sekolahnya sampai tingkat menengah pertama.
Baca Juga
Walaupun hidup serba kekurangan, tapi itu tidak membuat Prajogo Pangestu menyesali nasib hidupnya. Berkat sikap yang baik dan motivasi untuk menghidupi keluarga dengan cara yang halal, menjadi gerbang pembuka meraih kesuksesan dengan merantau ke Jakarta.
Sayangnya, perti ke Jakarta tidak serta merta membuat dirinya mendapat penghasilan. Sempat merasa kecewa, dia pun kembali ke kampung halamannya.
Bermula dari Sopir Angkot
Dikutip dari Data Indonesia, saat pulang ke kampung halamannya di Kalimantan, Prajogo kembali membulatkan tekadnya untuk mengais rezeki dengan menjadi sopir angkot.
Sekitar tahun 1960, ketika Prajogo menjalani profesi sebagai sopir angkot, dia akhirnya bertemu dengan pengusaha kayu asal Malaysia bernama Bong Sun On atau Burhan Uray.
Pertemuannya dengan pengusaha kayu asal Malaysia tersebut akhirnya membuat nasibnya sedikit demi sedikit berubah ke arah yang lebih baik. Di mana, Prajogo mulai meniti karier di PT Djajanti Group milik Sun On pada 1969.
Berkat kerja kerasnya, tujuh tahun kemudian Prajogo mendapatkan jabatan general manager (GM) di pabrik Plywood Nusantara.
Usai setahun berkarier, dia memberanikan diri membuka usaha sendiri. Mulanya, dia membeli CV Pacific Lumber Coy yang bermodalkan utang dari bank.
Perusahaan ini sukses dan membawa ke lantai bursa pasar modal Indonesia pada 1993 dan akhirnya berganti nama menjadi PT Barito Pacific pada 2007. Bisnisnya terus melesat hingga bekerja sama dengan anak-anak mantan Presiden Soeharto dan pengusaha lainnya.
Terkait karier, Prajogo Pangestu sempat menduduki posisi sebagai Presiden Komisaris PT Tripolyta Indonesia Tbk, Presiden Komisaris PT Chandra Asri Petrochemical Center, Wakil Presiden Komisaris PT Tanjungenim Lestari Pulp & Paper, Presiden Komisaris PT Barito Pacific Timber, Tbk, sejak 1993, hingga Komisaris PT Astra International, 1993-1998.
Perkembangan Bisnis Prajogo Pangestu
Melansir dari Forbes, perusahaannya, Barito Pacific Timber, go public pada tahun 1993 dan berganti nama menjadi Barito Pacific setelah mengurangi bisnis perkayuannya pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 Barito Pacific mengakuisisi 70 persen perusahaan petrokimia Chandra Asri, yang juga diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
Pada tahun 2011 Chandra Asri bergabung dengan Tri Polyta Indonesia dan menjadi produsen petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia. Thaioil mengakuisisi 15 persen saham Chandra Asri pada Juli 2021.
Menyusul kesuksesan bisnis petrokimia dalam negeri, pada Maret 2022, kantor keluarga Pangestu kembali mengambil alih produsen energi panas Star Energy, dengan mengakuisisi 33 persen saham dari BCPG Thailand seharga US$440 juta atau Rp6,8 triliun. Perusahaan ini diincar Prajogo sejak 2009. Setelah itu, Prajogo akhirnya melakukan akuisisi sehingga jumlah saham Star Energy menjadi 66,66% saham beredar.
Alhasil, selain perkayuan, usaha Barito Group juga semakin meluas di bidang petrokimia yang mengoperasikan cracker nafta petrokimia terbesar dan satu-satunya yang terintegrasi di Indonesia dengan menggandakan kapasitas kami saat ini dengan kompleks petrokimia kedua serta memproduksi beragam palet Olefin, Poliolefin, Styrene Monomer, dan Butadiene.
Kemudian, Barito Pacific juga mengoperasikan produsen tenaga panas bumi terbesar ketiga di dunia untuk mengembangkan portofolio energi terbarukan melalui proyek greenfield yang ada dan menjajaki kemungkinan akuisisi brownfield di seluruh dunia.
Divisi properti Barito Pacific turut mendukung vertikal industri yang lebih signifikan dengan usaha real estate komersial. Terakhir, grup ini pun menjalankan serangkaian program CSR melalui atau bersama Yayasan Bakti Barito.