Bisnis.com, JAKARTA - Nama Prajogo Pangestu tak lagi asing di dunia bisnis. Mulai dari petrokimia, batu bara, hingga kini energi baru terbarukan digelutinya.
Melansir Forbes, Prajogo Pangestu sendiri merupakan orang terkaya ketiga di Indonesia dengan kekayaan mencapai US$10,8 miliar atau setara dengan Rp165,24 triliun.
Baru-baru ini, salah satu perusahaan miliknya, PT Barito Renewables Energy berencana melakukan aksi penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham, yang bersiap untuk menerbitkan sebanyak-banyaknya 4,5 miliar saham baru atau setara 3,5 persen ke publik.
Barito Renewables Energy akan melangsungkan IPO saham dengan membidik dana segar sebesar Rp3,51 triliun dengan kode saham BREN.
Saham BREN akan ditawarkan maksimal sebanyak 4,5 miliar unit biasa dengan nominal Rp150 atau mewakili sebanyak-banyaknya 3,35 persen dari modal ditempatkan dan disetor penuh usai penawaran perdana.
Saham tersebut juga ditawarkan dengan harga di rentang Rp670 hingga Rp780 per lembar saham, sehingga perusahaan Prajogo berpeluang untuk meraup dana segar sebanyak-banyak Rp3,51 triliun.
Baca Juga
Hanya Lulusan SMP dan Jadi Sopir Angkot
Di balik kesuksesannya hingga menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia, pria bernama asli Phang Djoem Phen ini nyatanya bukan berasal dari keluarga berada.
Masa kecil Prajogo hidup di tengah keterbatasan, di mana sang ayah hanyalah seorang penyadap getah karet. Keterbatasan itu pula yang membuat dirinya hanya bisa mengeenyam pendidikan hingga sekolah menengah pertama (SMP).
Untuk melanjutkan hidup dalam kondisi serba kekurangan, Prajogo memutuskan merantau ke Jakarta berharap mendapat penghasilan lebih. Namun, dia harus kecewa karena kenyataan tak seindah harapannya.
Dia kemudian kembali ke kampung halaman dan menjadi sopir angkot di Kalimantan pada sekitar 1960-an. Hingga keberuntungan mulai berpihak padanya, dia bertemu dengan pengusaha kayu asal Malaysia bernama Bong Sun On atau Burhan Uray.
Pertemuannya dengan pengusaha kayu asal Malaysia itu kemudian membuat nasibnya berangsur membaik. Prajogo mulai meniti karier di PT Djajanti Group milik Sun On pada 1969. Berkat kerja kerasnya, tujuh tahun kemudian Prajogo mendapatkan jabatan general manager (GM) di pabrik Plywood Nusantara.
Usai setahun berkarier, dia kemudian memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri dengan membeli CV Pacific Lumber Coy yang bermodalkan utang dari bank.
Perusahaan ini sukses besar hingga membawanya ke lantai bursa pasar modal Indonesia pada 1993. Kemudian pada 2007, Prajogo mengubah nama perusahaannya itu menjadi PT Barito Pacific. Bisnisnya ini terus melesat hingga bekerja sama dengan anak-anak mantan Presiden Soeharto dan pengusaha lainnya.
Dengan kesuksesan bisnisnya, Barito Pacific mulai melebarkan sayap masuk ke bisnis lainnya, salah satunya dengan mengakuisisi 70 persen saham Chandra Asri yang bergerak di bidang petrokimia.
Tak hanya di perkayuan dan petrokimia, Barito Pacific juga terus berkembang ke bisnis energi panas bumi hingga menjadi salah satu perusahaan panas bumi terbesar ketiga di dunia untuk mengembangkan portofolio energi terbarukan melalui proyek greenfield yang ada dan menjajaki kemungkinan akuisisi brownfield di seluruh dunia.
Barito Pacific juga memiliki lini bisnis properti untuk mendukung industri vertikal dengan usaha real estate komersial.
Terkait kariernya, Prajogo Pangestu sempat menduduki posisi sebagai Presiden Komisaris PT Tripolyta Indonesia Tbk, Presiden Komisaris PT Chandra Asri Petrochemical Center, Wakil Presiden Komisaris PT Tanjungenim Lestari Pulp & Paper, Presiden Komisaris PT Barito Pacific Timber, Tbk, sejak 1993, hingga Komisaris PT Astra International, 1993-1998.