JAKARTA: Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) inkonstitusional, spontan mengejutkan berbagai pihak.
Apa sesungguhnya pertimbangan putusan MK itu? Betulkah hanya sekedar pertimbangan hukum atau ada pertimbangan lainnya, terutama pertimbangan ekonomi? Apakah MK sadar akan dampak yang diciptakan dari putusan itu?
Berikut petikan wawancara Bisnis Indonesia dengan Ketua MK Moh. Mahfud MD ketika ditemui di kantornya, Jumat (23/11).
Apa yang menjadi dasar utama pertimbangan MK yang memutuskan keberadaan BP Migas inkonstitusional?
Pertama, dasarnya itu tentu karena ada gugatan atau permohonan. MK tidak pernah memutus sesuatu yang tidak diminta. Ini penting saya jawab karena ada yang mengatakan kenapa sih UU Migas sudah 10 tahun berlaku, kok baru dibatalkan sekarang? Jawaban saya karena memang baru ada permohonan.
Kedua, dasar pembatalannya apa? Sebuah UU bisa dibatalkan di MK kalau inkonstitusional, artinya bertentangan dengan isi konstitusi. Dalam konstitusi itu ada pasal yang mendasar mengenai pengelolaan sumber daya alam, yaitu pasal 33 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Frasa ‘dikuasai oleh negara’ ini bentuknya bisa mengatur, mengurus, dan mengelola sendiri. Dengan demikian, BP Migas itu bisa dianggap sebagai wakil negara untuk mengatur dan mengelola, karena dia dibentuk oleh negara. Tapi inkonstitusional BP Migas adalah karena tidak mencapai atau tidak sejalan dengan upaya pencapaian tugas negara, yaitu sumber daya alam harus untuk membangun kesejahteraan rakyat. Rakyat, dalam fakta-fakta persidangan, dirugikan dengan adanya BP Migas.
BP Migas itu legal, tapi pencapaian tujuan negara terhambat oleh BP Migas. Terhambatnya karena terjadi inefisiensi yang nyata terjadi. MK menyebut itu inefisiensi karena MK bukan merupakan peradilan pidana, sehingga tidak menyebut itu korupsi. MK belum mengatakan BP Migas itu korupsi, tapi inefisien yang menyebabkan tujuan membangun kesejahteraan rakyat itu tidak tercapai dengan adanya BP Migas, sehingga rakyat sendiri tidak menikmati sumber daya alam yang begitu kaya di bidang migas.
Namun, kesejahteraan rakyat dari migas menjadi tanggung jawab perusahaan migas juga, sedangkan BP Migas tidak bisa memantau itu secara langsung?
Justru itu sekarang BP Migas harus ‘digunting’ agar ada jalan hukum berupa putusan MK ini, untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Kalau organisasinya tidak bisa direct langsung memantau, kan berarti membiarkan terjadinya inefisiensi. Maka kita ‘gunting’ agar tujuan konstitusi itu tercapai.
Adakah pertimbangan lainnya sebelum memutuskan membubarkan BP Migas?
Kalau di dalam putusan, amarnya itu ya hukum. Tapi bukan berarti kita tidak bisa mempertanggungjawabkan secara ekonomi. Karena ada data-data yang sifatnya ekonomis, itu yang menunjukkan inefisiensi dengan adanya BP Migas. Keterangan ahli Dr.Kurtubi menyatakan dengan adanya BP Migas, negara jadi tidak berdaulat terhadap sumber daya alamnya sendiri, ini kesaksian Kurtubi di persidangan. Terbukti pengapalan LNG dari Papua ke China, dijual dengan harga murah dan anehnya negeri sendiri tidak menikmati itu ketika kita sedang butuh.
Artinya pengapalan itu tidak bisa dibelokkan dari Papua ke China, menjadi ke dalam negeri karena UU Migas tidak memberi kedaulatan kepada negara. Akibatnya kita mengalami kerugian Rp30 triliun per tahun hanya dari penjualan ke China. Bayangkan. Yang lain lagi, ini masih kesaksian Kurtubi. Tidak ada alokasi gas ke dalam negeri sehingga tidak ada alokasi train 1 dan 2 LNG Tangguh, yang menyebabkan PLN tidak bisa menggunakan gas, tapi beralih ke BBM.
Artinya MK sadar betul bahwa putusan ini memang menyangkut bisnis migas yang triliunan rupiah dan besar kontribusinya kepada APBN?
Ya, migas berkontribusi besar untuk APBN kita. Saya punya angka yang sifatnya resmi. Pertama, sumbangan migas sesudah dikelola oleh BP Migas itu sekarang hanya 15% terhadap APBN. Dulu pada 1990-an itu 35%, pada 2000 masih 32%.
Begitu dikelola BP Migas pada 2006 dan 2007 tinggal 20%. Dan sekarang hanya 15%. Itu harus diketahui itu inefisien dan tidak ada pertanggungjawaban kenapa begitu? Kemudian, share gas terhadap ekonomi dalam PDB kita, dulu 2000-2002 sebelum adanya BP Migas itu 10-12%, tapi sekarang hanya 5%. Lalu share gas kita terhadap total ekspor, dulu 1991 share kita 38%, tapi sekarang hanya 19%. Parah kan?
Bahkan ada juga satu kasus, Bank Indonesia tahun ini mengeluarkan peraturan bahwa setiap kegiatan ekspor wajib mencatatkan kegiatan ekspornya di bank-bank nasional. Eksportir lain itu memenuhi kewajiban ini pada tingkat kepatuhan 80-90%, tapi BP Migas tingkat kepatuhannya hanya 30% terhadap peraturan ini. Kalau ini tidak kita ‘gunting’, ini akan berkelanjutan.
Kalau BP Migas tidak ‘digunting’ sekarang, itu akan terus tidak jelas. Jadi kita juga tahu pertimbangan-pertimbangan ekonomi seperti itu. Ini baru yang resmi-resmi, belum lagi yang tidak resmi yang dari mulut ke mulut tentang mafia minyaknya, dan sebagainya. Tapi kalau yang itu, tidak bisa dijadikan dasar pertimbangan hukum sehingga tidak ada di putusan MK. (bas)