Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu kerepotan yang dihadapi calon pengantin menjelang hari pernikahan adalah mempersiapkan suvenir. Persiapan cenderamata bagi para tamu undangan bahkan terkadang nyaris sama hebohnya dengan persiapan katering dan lain sebagainya.
Jangan heran! Sebagai si empunya pesta, tentu saja kita menghendaki cenderamata yang layak dikenang para tamu.
Kini, penggunaan suvenir semakin marak. Selain sebagai cenderamata pada acara pernikahan, suvenir juga disiapkan untuk acara kelahiran, ulang tahun anak, pesta kelulusan, hingga kematian sekalipun.
Bentuknya pun bergantung acara yang diadakan. Untuk pernikahan misalnya, suvenir yang digunakan antara lain tempelan kulkas, kipas, wadah tusuk gigi, pigura foto, dompet, tempat kartu nama.
Suvenir juga banyak digunakan oleh korporasi. Bagi korporasi, tentu saja tujuan penggunaannya berbeda dengan acara keluarga. Perusahaan pada umumnya menggunakan suvenir untuk tujuan branding.
Adapula yang menggunakan sebagai media promosi dan senjata pemasaran. Tidak sedikit pula yang menggunakannya sebagai gimmick untuk mendapatkan pelanggan atau hanya sekadar gift bagi nasabahnya.
Semakin banyak perusahaan, kebutuhan terhadap suvenir pun semakin besar. Begitu pula semakin sering acara keluarga digelar, penggunaan suvenir pun semakin tinggi. Maka tak heran, produksi suvenir menjadi peluang bisnis yang tak dilewatkan begitu saja.
Apalagi, kaum remaja di Tanah Air kini mulai ikut-ikutan mengadopsi sejumlah perayaan di Barat. Praktis, kebutuhan akan berbagai macam barang kenangan atau hadiah juga semakin besar.
Rudi Purwanto adalah salah satu di antara penikmat laba dari bisnis produksi suvenir. Pemilik usaha Edelweiss Gift and Souvenir ini sudah berkecimpung dalam bisnis tersebut selama 8 tahun.
Rudi memfokuskan suvenirnya untuk melayani permintaan personal, korporasi, dan instansi pemerintah. Menurut Rudi, bisnis suvenir ini memiliki prospek yang sangat baik dan akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya jumlah perusahaan di Indonesia.
“Setiap perusahaan akan selalu membutuhkan suvenir sebagai sarana promosi mereka kepada masyarakat,” ujar Rudi. Alasan inilah yang membuat Rudi terjun dalam bisnis tersebut.
Dengan modal awal Rp100 juta, Rudi memberanikan diri memulai usaha ini. Suvenir yang disediakan antara lain jam dinding, payung, tumbler, set perawatan kuku, jam meja, notebook, dan produk-produk lainnya. Harga yang ditawarkan pun cukup beragam, mulai dari Rp2.000 hingga Rp300.000 per unit.
Minat pasar yang tinggi terhadap produk suvenir membuat Rudi tidak kesulitan menembus titik impas. Hanya kurang butuh 1 tahun, Rudi berhasil mencapai break event point (BEP).
Di antara berbagai suvenir yang tersedia, payung merupakan produk yang paling banyak diminati oleh perusahaan dan lembaga swasta. Selain karena fungsinya, payung dinilai merupakan sarana promosi yang tepat, karena dianggap sebagai iklan berjalan. Ketika dipakai, setiap orang dapat melihat nama perusahaan yang tertera pada payung itu.
Peluang bisnis suvenir ini juga dilakoni Dian, pemilik Be Smile Production. Awalnya, Dian bekerja sebagai Event Organizer (EO). Profesinya tersebut membuat dia terlibat dalam sejumlah acara-acara besar, salah satunya seminar.
Dalam setiap seminar yang diikuti, Dian kerap menyaksikan perusahaan atau instansi pemerintah yang menggelar acara itu memberikan suvenir kepada tamu undangan. Melihat peluang itu, Dian memutuskan untuk terjun ke bisnis suvenir, tepatnya pada 2003.
Selain produk suvenir yang umum, Dian juga menerima pesanan goodie bag, kaos, dan seragam. “Kami pernah mengerjakan pesanan kaos sebanyak 40.000 untuk acara ulang tahun Blue Bird” ujarnya.
Dengan modal awal yang terbilang cukup terbatas, yakni Rp2 juta—Rp3 juta, Dian kini mampu meraup omzet fantastis mulai dari Rp200 juta—Rp300 juta. Gerainya pun bertebaran di lima lokasi di wilayah Jakarta dan Tangerang.
Keberhasilannya melipatgandakan pendapatannya adalah buah kerja keras dan kegigihan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Selain itu, Dian sangat mengutamakan kualitas dan waktu pembuatan suvenir. Kecepatan dan kapasitas produksi dianggap sebagai keunggulan yang dimiliki.
Menurutnya, banyak pengusaha bisnis suvenir yang seringkali tidak sanggup mengerjakan pesanan dalam jumlah yang besar. Namun, Dian dan karyawannya selalu berusaha untuk menyanggupi jumlah pesanan yang diinginkan pelanggan.
Merchandise Pribadi
Pemain lainnya dalam bisnis suvenir adalah Kedai Digital, milik Saptuari Sugiharto. Saptuari memulai bisnis ini sejak 2005. Saptuari mengaku terjun ke bisnis ini karena melihat fakta bahwa suvenir dan merchandise dibutuhkan oleh siapa saja.
Berbekal keahliannya dalam mendesain, Saptuari memberanikan diri untuk memulai usaha tersebut. Modalnya kala itu hanya sebesar Rp18 juta yang didapat dari tabungannya dan hasil menggadai tanah sang ibu.
Kedai pertama yang dibukanya berlokasi di Jl. Cenderawasih, Demangan Baru, Yogyakarta. Konsep yang diusung adalah merchandise pribadi. Dia terinspirasi dari merchandise para artis untuk para penggemarnya.
Kendati demikian, Saptuari tak menutup pintu bagi segmen korporasi. “Sebanyak 60% untuk merchandise pribadi. Sisanya untuk korporasi.” Produk yang ditawarkan bervariasi, mulai dari gantungan kunci, payung, jam dinding, tas, pin clock, mug, celengan, dan lain sebagainya.
Dengan sasaran pasar adalah remaja, Kedai Digital menggunakan strategi khusus yang bisa menarik minat para remaja. “Kaum remaja biasanya suka narsis. Mereka suka tempel foto pada suvenir yang dipesan. Kami manfaatkan itu,” tutur Saptuari.
5 Tahun pertama menjalankan bisnis ini, Saptuari harus merasakan jatuh bangun. Kejatuhan terparah yang dialaminya adalah pada 2006, ketika Yogyakarya diguncang gempa. “Kedai digital cabang pertama hancur. Butuh recovery selama 3 bulan sebelum akhirnya bangkit lagi.”
Soal omzet yang diraup, pengusaha muda itu enggan menjawabnya. Namun, usaha yang telah berjalan selama 8 tahun itu telah bercabang di mana-mana. Saptuari memang menawarkan kemitraan kepada investor yang ingin terjun di bisnis tersebut.
Saptuari optimistis bisnis ini masih akan tumbuh ke depannya. “Selama perusahaan masih butuh promosi, bisnis ini masih dibutuhkan. Untuk paasr personal, selagi masih ada acara bersifat personal, merchandise masih berpeluang masuk.”
Hanya saja, menurut Saptuari, inovasi menjadi hal terpenting dalam menjalankan bisnis tersebut agar pasar tidak merasa bosan. (Maria Y. Benyamin)