Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Firdaus Djaelani: Saat Ini Solvabilitas Usaha Keuangan Non Bank Lebih Bagus

Bisnis.com, JAKARTA--Anjloknya indeks harga saham gabungan dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS beberapa pekan terakhir dinilai belum separah krisis keuangan 2008.Kondisi memang berbeda. Sektor keuangan diklaim memiliki fundamental yang

Bisnis.com, JAKARTA--Anjloknya indeks harga saham gabungan dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS beberapa pekan terakhir dinilai belum separah krisis keuangan 2008.

Kondisi memang berbeda. Sektor keuangan diklaim memiliki fundamental yang lebih kuat.

Regulator menyatakan belum perlu mengeluarkan kebijakan extraordinary untuk industri keuangan, khususnya asuransi, multifinance, dan dana pensiun.

Guna menelaah lebih jauh kondisi tersebut, Bisnis.com mewawancarai Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank Otoritas Jasa Keuangan Firdaus Djaelani yang juga mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan. Berikut petikannya.

Bagaimana kondisi industri keuangan saat ini? Apakah krisis 2008 akan terulang?

Kondisi saat ini berbeda dengan 2008. Waktu krisis 2008 itu kami sampai mengubah besaran penjaminan, dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar.

Selain itu, kami juga mengeluarkan ketentuan perusahaan asuransi dan dana pensiun yang bermain di obligasi, misalnya, waktu itu obligasi kan ikut jatuh.

Sekarang kan obligasi nggak. Cuma saham saja [yang turun].

Dulu obligasi pemerintah juga ikut turun, nyaris tinggal 50%. Kami sampai mengeluarkan ketentuan obligasi tidak untuk mark to market.

Sekarang kami belum sampai keluar kan itu.

Bagaimana kondisi industri keuangan nonbank?

Perusahaan asuransi dan dana pensiun sekarang solvabilitasnya bagus-bagus.

Berbeda dengan kondisi krisis 2008. Keadaan waktu itu sudah parah. Perusahaan belum sekuat sekarang.

Kami lihat sekarang solvabilitas mereka bagus-bagus.

Rata-rata 400%, 500%. Bahkan, ada yang 700%. Yang main di saham serta obligasi kan asuransi jiwa, bukan asuransi umum. Kalau asuransi umum kebanyakan di deposito.

Mereka butuh likuiditas soalnya.

Saham paling cuma 20%, sedangkan kalau asuransi jiwa 80% main di saham, sisanya obligasi dan rekasa dana.

Solvabilitasnya juga bagus. Kalaupun turun, masih oke.

Rata-rata solvabilitas industri asuransi sekarang berapa?

Kalau dirata-rata asuransi jiwa sekitar 200%-an.

Asuransi umum mungkin 140%-160%. [Berdasarkan PMK No. 53/2012 setiap perusahaan wajib memenuhi tingkat solvabilitas atau risk based capital (RBC) minimal 120%].

Berarti asuransi umum rentan masalah solvabilitas?

Asuransi umum justru nggak terlalu terganggu, karena sedikit main di saham. Ada sih reksa dana. Namun, kalau asuransi jiwa 80% mainnya di saham, obligasi pemerintah maupun korporasi, maupun di reksa dana.

Gabungannya sampai 75%-80%.

Yang namanya asuransi jiwa kan long term. Jadi dia harus match. Kewajibannya long term. Investasinya harus long term.

Apakah ada aturan investasi?

Ada dong. Batasan-batasannya ada. Saham per emiten berapa. Maksimum saham berapa. Di deposito per bank berapa. Itu ada batas-batasnya.

Ya [asuransi jiwa] bisa lebih besar lah. Bisa banyak. Memang ada perbedaan asuransi jiwa dan umum. Kalau umum kami arahkan ke jangka pendek, ke likuiditas.

Mereka kan terima premi bayar klaim, premi bayar klaim dan seterusnya.

Bagaimana dampak gejolak nilai tukar terhadap multifinance?

Sejauh ini memang ada kemungkinkan yang kami lagi perhatikan. Ada yang kepukul. Ada yang peminjamannya dalam bentuk foreign currency, dolar AS
misalnya.

Ada juga multifinance yang joint dengan perusahaan Jepang untuk membiayai proyek-proyek Jepang di sini. Mungkin agak kepukul sedikit, karena penyaluran pembiayaan dalam bentuk rupiah.

Mau nggak mau dia punya kewajiban dalam mata uang rupiah naik. Mungkin itu bisa mengganggu gearing ratio.

Gearing ratio antara pinjaman dengan modal dia.

Itu kan maksimum ketentuan kami adalah 10 kali. Rata-rata enam kali sekarang. Nah saya bilang [ke multifinance] perhatikan, yang pinjaman dalam foreign
currency itu bisa naik gearing ratio-nya.

Namun, temen-temen [industri] bilang belum sampai 10 kali.

Apakah sudah ada pengaruh?

Ada. Gearing ratio naik. Ratarata industri 6 kali. [Namun], yang banyak pinjaman dalam foreign currency, bisa naik tujuh kali sampai 8 kali.

Namun, belum sampai 10. Maksimum 10. Kalau sampai 10, harus tambah modal.

Harus tambah modal?

Ya. Harus tambah modal. Masak dia ngurangin pinjamannya. Padahal itu sudah disalurin.

Apakah sudah ada yang melampaui gearing ratio?

Belum ada. Kami pantau semua. Rata-rata multifinance modalnya gede. Ya, kelihatan multifinance yang nggak atau bukan merupakan konglomerasi, grup konglomerasi, tidak terlalu besar.

Kalau konglomerasi, anaknya bank, sister-nya dari bank atau dari lembaga keuangan yang besar, atau dari luar negeri, ya...memang [besar].

Apakah ada stress test di industri keuangan?

Kami lakukan. Bank Indonesia juga melakukan. Kami di IKNB [industri keuangan nonbank] juga melakukan, misalnya, jika indeks turun sampai nilai sekian.

Kajian ini untuk internal saja. Kajian juga ada di KSSK [Komite Stabilitas Sistem Keuangan]. Setiap bulan kami kan ketemu. Jadi kami melakukan
di internal dulu.

Apakah pemerintah siap apabila krisis terjadi seperti 2008?

Kami bilang, jangan panik. Pokoknya government siap. Kalau memang pasar makin menurun, kami bisa mengeluarkan kebijakan seperti 2008.

Misalnya, tidak harus mark to market. Nggak usah khawatir. Mereka tenang-tenang. “Ya pak, kami masih oke,” begitu katanya. Kalau nanti solvabilitasnya terganggu, kami keluarkan kebijakan.

Namun, tidak dengan kebijakan memberatkan. Misalnya, “you solvabilitasnya turun, terus tambah modal.” Ya nggak begitu. Kami bilang, kami bisa saja keluarkan ketentuan seperti 2008, sehingga mereka lebih tenang.

Kebijakan seperti apa saja?

Ketika menghitung solvabilitas, misalnya, saham boleh hitung nilai rata-rata sekali setahun.

Kalau obligasi boleh tidak mark to market. Kebijakan seperti 2008 sudah kami siapkan, tapi belum dikeluarkan.

Kalau pasar modal kan sudah dikeluarkan bahwa boleh buyback tanpa RUPS [rapat umum pemegang saham]. Kalau waktu normal kan buyback harus RUPS, agak menolong kan?

Kementerian BUMN juga sudah menyerukan BUMN-BUMN yang go public maupun yang tidak, yang punya uang untuk beli saham di pasar. Misalnya, Jamsostek punya uang lebih, bisa beli saham-saham murah di pasar.

Saya rasa kebijakan itu lumayan menolong.

Apakah ada imbauan bagi pelaku industri keuangan?

Sekarang ini belum seperti 2008. Lembaga keuangan kondisinya berbeda, tidak seperti 2008. [industri keuangan] belum begitu terpengaruh. Belum menyebabkan insolven.

Dana pensiun juga belum sampai kurang dananya. Kami pantau terus. Jadi tidak usah panik.  (ra)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yodie Hardiyan
Editor : Rustam Agus
Sumber : Hendri T. Asworo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper