Bisnis.com, JAKARTA - Ada yang berbeda dari Kota Pekanbaru dalam 3 tahun terakhir ini. Sekarang kian banyak kafe dibuka dan berkembang pesat bak jamur pada musim hujan. Tak ayal, bisnis ini menjadi semacam tren baru yang menjanjikan di ibu kota Provinsi Riau ini.
Sekitar 100 meja bundar tersedia. Ada indoor, ada pula outdoor. Besar kecil meja ditandai dengan banyaknya kursi yang melingkar. Ada yang hanya dua kursi, dan yang paling banyak delapan kursi Semakin malam, pengunjung semakin ramai. Anak-anak muda di bawah usia 30 tahun mendominasi area kafe.
Di sisi pojok, ada layar proyektor besar untuk nonton bareng. Begitulah, sekilas suasana di Kedai Kopi Panglima, Jalan Gatot Subroto Pekanbaru. Ratarata pengunjung mencapai 400 orang per hari dengan rata-rata omzet per bulan mencapai Rp150 juta.
“Pekanbaru memang minim tempat rekreasi alam, karena eografisnya memang begitu, tapi masyarakat di sini butuh empat yang nyaman untuk berkumpul. Peluang itu yang kami tangkap,” kata Firman, owner Kedai Kopi Panglima.
Kedai Kopi Panglima menjual beragam jenis makanan dan minuman, tetapi menu andalannya adalah roti canai dengan kombinasi kari, gula, susu, cokelat, keju dan pisang.
Memang, 3 tahun silam usaha kuliner Pekanbaru masih terbatas. Untuk mendapatkan tempat nyaman bagi yang gemar kongkow-kongkow, pilihannya terbatas pada hotel atau kafe mewah yang hanya dijangkau oleh sebagian kalangan berduit.
PELUANG TERBUKA
Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Pekanbaru yang selalu di atas rata-rata pertumbuhan nasional, peluang untuk mendirikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) terbuka lebar.
\Ini belum lagi ditambah dengan faktor pertambahan populasi penduduk yang signifikan, baik dari sisi angka kelahiran dan dari faktor migrasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik terbaru, tercatat jumlah penduduk Pekanbaru saat ini mencapai sekitar 950.000 jiwa.
Menurut prediksi Firman, usaha kuliner di Pekanbaru akan terus berkembang dalam 10 tahun ke depan. Meski pesat, dia mengingatkan, pelaku usaha harus mampu menciptakan ciri khas rasa dan tidak mencontek brand-brand yang sudah ada.
Firman yang memulai usaha Kedai Kopi Panglima dari modal Rp20 juta tentunya masih mengandalkan canai sebagai kudapan andalannya. “Saat itu cukup laris. Omzet sudah mencapai Rp3 juta, karena pengunjung tambah ramai. Kami harus cari tempat yang baru,” katanya.
Di tempat yang sekarang seperti dipantau Bisnis, lokasinya cukup tersembunyi.
Namun, ini bukan menjadi alasan yang menghambat animo pengunjung. Menurut Firman, pihaknya tidak menggelar promosi khusus. Sebagai pemilik kedai, resepnya satu. “Harus banyak bersosialisasi dengan komunitas anak-anak muda.”
Hanya butuh waktu 3 tahun bagi Firman untuk meraup omzet Rp150 juta per bulan.
Serupa dengan Firman, Ronald, seorang pengusaha yang berusia 40 tahun juga tergiur dengan bisnis tempat ‘nongkrong’ ini.
Ronald, misalnya, memulai usaha dengan membuat outlet mini bernama Re-Caffe dengan menu andalan es blended yaitu minuman campuran antara cappucino dan cincau (capcin) pada Desember 2011 di kawasan kampus Universitas Riau.
Tingginya peminat capcin membuat Ronald yakin untuk mengembangkan outlet-nya di sejumlah lokasi lainnya. Tidak butuh waktu lama. Dengan selang waktu 4 tahun, tiga outlet capcin berdiri di beberapa kecamatan di Pekanbaru.
Pada awal 2012, dengan empat outlet yang dimiliki, Ronald mendapatkan omzet Rp60 juta. Desain ruangan yang diusungnya minimalis, namun elegan. “Kami tentu ingin membuat pelanggan berlama-lama di Re-Caffe karena kenyamanannya,” ungkapnya.
Ronald pernah dihantam isu miring terkait dengan 250 orang warga Pekanbaru yang masuk rumah sakit karena meminum capcin. Pada saat yang bersamaan, Ronald sedang membuka outlet barunya di Bali.
Penjualan, katanya, sempat merosot tajam. Pendapatan dari empat outlet milik Ronald hanya mampu meraup omzet Rp6 juta. Namun, sejalan de ngan perkembangan waktu, isu tersebut tidak ada terbukti.
“Kadang dalam bisnis sering diganggu orang yang tidak suka, tapi kita harus moveon,” terangnya. Setelah isu capcin yang membuat 250 orang masuk rumah sakit berlalu, penjualan kembali stabil meskipun pencapaiannya tidak mencapai top income.
Ronald melihat penjualan capcin sudah stagnan. Namun dia optimistis bisnis ini jika dikemas dengan pengayaan menu sajian tentu tidak akan pernah mati selama ada kreativitas.
Ronald pun membuka Re-Caffee Platinum. Apa istimewanya? Fokus penjualannya kini lebih mengandalkan sajian arabica black coffee. “Dari dulu hingga sekarang menurut saya kopi tidak pernah lekang dimakan waktu,” terangnya.
Melalui Re-Caffe Platinum, dia mencoba menawarkan konsep bernuansa Bali.
Dengan tiga kopi arabica andalannya yang mencakup arabica Kintamani Bali, arabica Gayo Aceh dan arabica Wamena Papua.
Selain tiga menu andalan, Re-Caffe juga menawarkan varian menu seperti robusta Kintamani Bali, peaberry atau lanang Kintamani Bali, arabica Mandheling, dan arabica Lasuna Kolonial.
Untuk variasi makanan, juga tersedia spaghetii platinum, macaroni scutel, sandwich tuna dan risoles. Dia membuka resep, keunggulan kopi Re-Caffe adalah sajian kopi yang fresh.
Menurutnya, pembelian kopi dari Bali, Papua dan Aceh tidak berbentuk bubuk, melainkan berupa biji-bijian. Setiap 2 pekan sekali Ronald biasa menghabiskan 20 kilogram kopi.
Untuk mesin giling, Re-Caffe Platinum menggunakan mesin espresso seperti yang banyak digunakan oleh gerai kopi seperti Starbuck dan Coffebean.
KENYAMANAN
Selain itu, untuk menambah kesan nyaman, Ronald mendesain Re-Caffe dengan nuansa Bali yang menampilkan kesan minimalis. Pada dinding-dinding terpampang foto-foto kopi human interest.
Furnitur yang digunakan juga memberikan kesan elegan dengan sofa-sofa yang memadai untuk menambah kenyamanan. Para karyawan juga diberi ke khas an. Mereka memakai udeng khas Bali di kepala mereka.
Pengunjung Re-Caffe, katanya, siang hari banyak berasal dari kalangan profesional. Mereka datang untuk membahas bisnis. Adapun pada malam hari, pengunjung biasanya dari kalangan anak muda.
Segmen ini yang paling meramaikan Re-Caffe Platinum. Setiap weekend, ada pula pertunjukan solo piano yang coba ditampilkan untuk melengkapi suasana. “Selain menyajikan kopi kualitas tinggi, kenyamanan adalah hal yang utama,” jelasnya.
Di sisi lain, Muchtar Ahmad, ekonom dari Universitas Riau mengatakan usaha kecil dan menengah membuka peluang baru di Kota Pekanbaru. Terlebih, katanya, sebagian masyarakat Pekanbaru termasuk sangat konsumtif.
“Masyarakat cenderung menghabiskan waktu untuk menikmati kuliner sambil bersantai,” katanya. (k18)