Bisnis.com, JAKARTA - Hari ini saya ikut serta dalam membuka satu lagi pelatihan yang bertujuan untuk mencetak entrepreneur baru di negeri ini. Kali ini Bank Indonesia menyelenggarakan Pelatihan Kewirausahaan "Program Penciptaan Wirausaha Baru" yang menunjukkan perhatian pada perkembangan entrepreneurship di tanah air yang masih perlu digalakkan secara berkelanjutan. Saya sangat menghargai bagaimana Bank Indonesia yang sudah sibuk dengan peran dan tugasnya sebagai bank sentral negeri ini mau turut mendukung upaya memajukan bangsa melalui entrepreneurship. Bank Indonesia telah mau menunjukkan perhatian yang nyata pada pelaku ekonomi dan bisnis swasta dalam skala kecil.
Dan memang demikianlah seharusnya seorang wirausahawan bertindak. Tidak hanya pandai dalam menyusun konsep dan mempeluas wawasan tetapi juga mengetahui bagaimana implementasinya. Bukan cuma melakukan riset dan menaruh hasilnya di rak bukutetapi juga memeberdayakan hasil riset itu menjadi sebuah industri, bisnis yang benar-benar dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan orang banyak.
Saat saya berusia 70 tahun, saya sudah menjadi komisaris dari banyak perusahaan yang sudah saya dirikan. Dari Jaya Group, Metropolitan Group, Ciputra Group, kami sudah menangani berbagai proyek di dalam dan luar negeri. Kami bekerja di bidang konstruksi dan properti, juga di teknologi informasi, dan sebagainya.
Saat itu, saya menanyakan sebuah pertanyaan pada diri saya sendiri, Apa yang sudah saya perbuat di dunia ini hingga sekarang? Nah, kami merasa bahwa kami sudah lebih dari cukup bekerja untuk diri sendiri. Kini gilirannya untuk memikirkan yang lebih jauh lagi, yakni bagaimana membantu mereka yang masih berada dalam keterbelakangan.
Saya merenungkan selama beberapa waktu mengapa negeri-negeri tetangga seperti Singapura bisa demikian maju, dibandingkan Indonesia yang jauh lebih besar dan memiliki banyak sumber daya manusia dan alam.
Saya juga mengamati kualitas manusia Indonesia. Banyak yang tidak kalah pintar dan cerdas dengan tenaga kerja dari negeri lain. Mereka sama pintarnya. Lalu apa yang membedakan? Apa yang menyebabkan Indonesia begitu ketinggalan dari Singapura? Jawabannya ialah bahwa mereka yang berasal dari negeri lain banyak yang sudah memiliki mental entrepreneur.
Dalam berwirausaha, kita perlu menekankan penerapan 3 prinsip fundamental. Pertama ialah integritas. Di sini, tercakup kejujuran, keteguhan dalam memegang janji, dan sebagainya yang berhubungan erat dengan Spiritual Quotient (SQ). Kedua ialah profesionalisme, termasuk di dalamnya adalahdisiplin dan pengetahuan yang bermanfaat dalam menyelesaikan beban tugas, yang berkaitan erat dengan Intelligent Quotient (IQ). Dan ketiga ialah entrepreneurship. Unsur yang terakhir ini belum banyak dianut di Indonesia, yang menjadi alasan mengapa kita ketinggalan dari negeri lain. Entrepreneurship memiliki hubungan erat dengan Emotional Quotient (EQ) yang dimiliki seseorang.
Saya teringat saat masih di ITB dulu saya hendak berubah haluan dari seorang arsitek menjadi seorang developer/ pengembang. Seorang professor Belanda mengatakan pada saya, Kamu mau menjadi pedagang? Developer itu pedagang! Pedagang itu yang merusak kebudayaan. Arsitek itu yang menciptakan kebudayaan. Tapi saya terus berpikir jika saya menjadi arsitek, saya hanya akan menunggu pekerjaan datang menghampiri saya. Saya dengan tegas mengatakan saya tidak mau menunggu. Saya harus menciptakan proyek saya sendiri! Dan kemudian saya mulai berbisnis sendiri.
Inilah yang masih kita perlukan: entrepreneurship! Kita perlu tahu caranya mengubah rongsokan dan sampah menjadi emas.
Langkah nyata nan strategis yang kami tempuh ialah dengan membangun lembaga pendidikan seperti Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) di kota Surabaya, Jawa Timur, enam tahun lalu untuk menyebarkan pola pikir entrepreneurship ini ke sebanyak mungkin warga Indonesia. Tak hanya itu, dari taman kanak-kanak hingga sekolah dasar dan menengah yang berada dalam proyek dan naungan grup bisnis saya juga menerapkan kurikulum entrepreneurial. Kami berjuang menanamkan mindset entrepreneur dalam benak berbagai siswa yang kami didik. Sebab anak-anak terutama sebelum 5 tahun itu syarafnya baru terbentuk 80% sehingga mereka perlu diajarkan kreativitas.
Dari pengamatan kami selama ini di lapangan, kita masih memiliki kelemahan dalam 3 hal: attitude dan mindset dari pemerintah yang masih bergumul dengan rutinitas, alias kegiatan yang bersifat business-as-usual. Kedua ialah sistem pendidikan kita yang masih konvensional dan sudah usang. Anak-anak kita hanya diajari tentang keahlian, kecerdasan saja. Untuk itu, beberapa tahun lalu saya mengusulkan ke Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta agar entrepreneurship diterapkan dan diajarkan. Sejumlah peserta bahkan kami kirim ke Kauffman Foundation di AS untuk belajar secara intensif tentang entrepreneurship selama 6 bulan. Hasilnya memuaskan. dan yang menggembirakan adalah antusiasme yang kami terima. Karenanya saya yakin bahwa itu akan menjadi motivasi bagi mereka untuk yakin bahwa mereka sanggup mencapai cita-cita menjadi entrepreneur.
Saya senang sekali makin banyak institusi pendidikan kita yang menyadari arti penting entrepreneurship dalam lingkungan mereka. Saya anjurkan bagi kalangan akademisi kampus untuk merombak sistem pendidikan yang ada agar lebih entrepreneurial. Kita bisa amati bersama bahwa selama ini kita banyak mengajarkan anak-anak kita teori-teori yang demikian banyak tetapi mereka sebenarnya tidak butuhkan. Akibatnya anak-anak muda kita menjadi mesin penghafal. Mereka loyo saat harus berkreasi dengan daya kreativitas. Misalnya saja saat kita ingin mengajarkan cara berenang, apakah kita hanya akan berada di kelas, duduk-duduk dan membaca teori berenang dan selesai? Kalau mau belajar berenang yang benar-benar, harus mau mengajak anak-anak kita masuk kolam renang atau sungai.
Dalam jajaran pemerintahan, terdapat sosok-sosok entrepreneurial yang perlu kita jadikan teladan. Misalnya Agus Martowardojo yang dahulu pernah memimpin Bank Mandiri dan sekarang menjabat sebagai Menteri Keuangan RI. Saat menjabat sebagai CEO Mandiri, Agus berhasil memajukan Bank Mandiri dan meningkatkan asetnya serta kinerjanya secara keseluruhan. Dan ini menurut hemat saya adalah salah satu wujud pola pikir yang entrepreneurial. Contoh lain ialah Dahlan Iskan, Menteri BUMN kita sekarang.