Bisnis.com, JAKARTA--Teriakan yang tiba-tiba itu mengejutkan Bob Butler. Secepat kilat ia menggelindingkan kursi rodanya ke arah teriakan tersebut yang ternyata dari rumah tetangganya. Semak-semak di rumah tetangganya itu terlalu tinggi sehingga ia memutuskan untuk keluar dari kursi rodanya dan merangkak melewati semak belukar. Ternyata jeritan itu berasal dari kolam di rumah tetangganya. Di sana seorang anak perempuan berusia 3 tahun terbenam di dalamnya. Anak itu lahir tanpa lengan sehingga ia tidak dapat berenang.
Melihat hal itu Butler – yang telah kehilangan kakinya akibat perang Vietnam itu – langsung menceburkan diri, menyelam ke dasar kolam dan membawa anak itu naik. Anak itu sudah membiru, denyut nadinya tak terasa dan ia sudah tak bernafas lagi. Butler pun segera melakukan pernafasan buatan dan meyakinkan ibunya bahwa sang anak akan selamat. Hal ini terjadi beberapa lama sampai akhirnya anak kecil itu mulai terbatuk-batuk, sadar kembali dan mulai menangis. Ketika mereka saling berpelukan dan bergembira bersama-sama, sang ibu bertanya kepada Butler bagaimana ia yakin bahwa anaknya akan selamat.
“Ketika kaki saya remuk terkena ledakan di Vietnam, saya sedang sendirian di sebuah ladang,” kata Butler. “Tidak ada orang lain yang bisa menolong saya kecuali seorang gadis Vietnam yang masih kecil. Sambil berjuang menyeretnya ke desa, gadis itu berbisik dalam bahasa Inggris yang patah-patah, “Anda akan hidup. Saya akan menjadi kaki Anda. Bersama-sama kita pasti bisa. Aku merasa sangat berhutang budi pada gadis kecil ini. Dan aku ingin membalas kebaikannya dengan menyelamatkan nyawa orang lain.”
Cerita yang sangat inspiratif ini sesungguhnya menggambarkan mengenai optimisme. Bagaimana Butler yang telah kehilangan kakinya menyelamatkan nyawa seorang anak kecil dalam situasi yang sungguh kristis dan mencekam.
Optimisme senantiasa mengandung 2 unsur. Pertama adalah harapan (hope) dan yang kedua adalah keyakinan (confidence). Hope sangat tergantung dari keyakinan kita kepada Tuhan sementara confidence adalah keyakinan kita kepada diri kita sendiri, kepada kemampuan kita.
Kedua unsur tersebut harus hadir secara bersamasama, karena bila hanya satu saja yang hadir ia tidak akan menciptakan optimisme dalam diri.
Hope menggantungkan diri pada kekuatan di luar kita (eksternal) yaitu kekuatan Tuhan sedangkan confidence tergantung dari kekuatan di dalam diri kita (internal).
Kurangnya satu unsur saja akan membuat optimisme tidak tercipta. Ambil contoh kondisi yang pertama di mana kita memiliki hope tetapi tidak memiliki confidence. Orang yang seperti ini adalah orang yang pasrah dalam pengertian yang salah. Dia sangat yakin bahwa Tuhan akan membantunya mencapai apa yang ia inginkan, tetapi ia sendiri tidak memiliki keyakinan bahwa ia mampu menyelesaikan persoalan yang ia hadapi.
Kondisi ini bukanlah optimisme tetapi hanya sebuah hayalan atau mimpi di siang bolong. Karena betapapun berkuasanya Tuhan, Ia tidak akan pernah melanggar hukum yang diciptakan Nya sendiri yaitu bahwa Ia tidak akan mengubah nasib seseorang kalau orang itu tidak mengubahnya sendiri. Oleh karena itu keyakinan kepada Tuhan saja, bila tidak dibarengi dengan keyakinan kepada diri sendiri tidak akan membuahkan optimisme.
Bagaimana mungkin kita bisa berharap mencapai keberhasilan kalau kita tahu bahwa kita sendiri tidak mampu untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya. Bagaimana mungkin kita bisa yakin kalau kita tidak yakin pada kekuatan diri sendiri? Sebaliknya, meyakini akan kekuatan diri sendiri saja bisa membuat kita terjerumus ke dalam rasa frustrasi yang berkepanjangan. Kita merasa mampu melakukan segala sesuatu tetapi sayangnya situasi di lapangan boleh jadi kurang mendukung.
Dalam segala situasi selalu ada hal-hal yang tak dapat kita kontrol. Hal-hal ini boleh jadi tidak terlihat tetapi akan sangat menentukan keberhasilan kita. Nah, karena hal-hal ini tak dapat kita kendalikan (atau bahkan tak dapat kita duga) maka satu-satunya cara adalah berserah kepada Tuhan. Tanda bahwa kita berserah adalah hilangnya rasa khawatir.
Ketika kita berserah kepada Tuhan untuk hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan maka akan muncul kembali ketenangan dan kedamaian dalam diri kita. Namun, hal tersebut baru akan terasa bila kita sudah melakukan semua yang harus kita lakukan sebagai manusia.
Pentingnya Optimisme
Yang membuat kita gagal atau berhasil sesungguhnya bukanlah semata-mata kemampuan kita. Unsur keberhasilan terpenting adalah optimisme. Terlepas dari apakah keberhasilan akan memihak dirinya atau tidak, orang yang optimistis sudah melihat keberhasilan ada di ujung jalannya. Oleh karena itu ia akan mengeluarkan semua energi yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan.
Sebaliknya orang yang pesimistis tidak yakin bahwa ia akan mendapatkan keberhasilan, dan karena tidak yakin maka ia tidak akan mau mengeluarkan energi yang maksimal. Usahanya menjadi setengah-setengah saja dan pada gilirannya keyakinannya akan terbukti. Jadi apakah Anda yakin akan berhasil atau tidak sangatlah menentukan tingkat keberhasilan kita.
Orang yang yakin akan mengusahakan semaksimal mungkin dan akan mengeluarkan kekuatan terbesar yang ia miliki sehingga pada gilirannya keberhasilan akan memihak dirinya. Sebaliknya orang yang pesimis yakin bahwa ia tidak akan berhasil sehingga ia akan merasa sayang untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
(Arvan Pradiansyah, Managing Director ILM & Penulis Buku Bestseller “You Are A Leader” dan “I Love Monday”)