Bisnis.com, JAKARTA - Permintaan terhadap minuman instan semakin meningkat dari waktu ke waktu, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Pertumbuhan permintaan ini praktis menjadi peluang pasar yang menggiurkan. Tak heran jika pemain baru di bisnis ini terus bermunculan.
Salah satu minuman instan yang tengah digandrungi saat ini adalah minuman instan teh susu (milk tea) yang dikemas dalam botol plastik.
Minuman, yang konon berkembang sejak tahun 80-an di Taiwan ini, semakin berkembang di Indonesia dan telah menjadi gaya hidup yang melekat di semua kalangan, karena dapat dengan mudah didapatkan dan dibanderol dengan harga yang relatif terjangkau.
Saat ini, milk tea tampil lebih variatif dan inovatif dengan variasi rasa dan kemasan yang unik, sehingga membuat penggemar minuman teh yang dicampur dengan susu atau krimer itu tak pernah bosan, bahkan semakin meningkat. Ini membuat peluang di bisnis minuman ini semakin terbuka lebar.
Salah satu merek milk tea yang muncul di pasaran adalah Flotea yang mulai diproduksi sejak awal 2014 oleh empat sekawan, yaitu Nada Dewanda, Hendy Reinaldo, dan dua rekan lainnya.
Modal yang dibutuhkan Hendy dan rekan-rekannya untuk memulai bisnis ini sebesar Rp10 juta, yang dipergunakan untuk membeli kulkas, bahan baku, pengemasan, dan biaya promosi.
Saat peluncuran produk pertama kali ke pasaran, Flotea sengaja menyasar mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang merupakan lingkungan terdekat dari para punggawa Flotea. Hal itu juga sebagai upaya riset pasar dan tes pasar sebelum Flotea melakukan repackaging.
Setelah mulai dikenali di kalangan mahasiswa, Hendy dan Nada mulai menyasar pasar yang lebih luas, yaitu berbagai daerah di Bandung. Konsep pemasaran yang diusung berupa reseller dan konsinyasi di beberapa tempat, serta memanfaatkan media sosial dengan akun Instagram @Flotea_ agar dapat menyasar pasar yang lebih luas.
Karena persaingan dalam bisnis ini semakin ketat, terutama di wilayah Bandung, Flotea sengaja untuk tidak berhadapan langsung dengan kompetitornya.
Oleh karena itu, jika Nada dan Hendy berencana melakukan konsinyasi di sebuah tempat, mereka akan melihat apakah sudah ada produk serupa yang dijual ditempat itu.
“Kami sengaja menyasar daerah-daerah dan tempat di Bandung yang belum tersentuh oleh produsen milk tea lainnya, karena masyarakat biasanya lebih memilih produk yang paling dekat dengan lingkungannya,” katanya.
Selain menghadirkan rasa milk tea regular seperti green tea atau thai tea, Flotea juga menyuguhkan inovasi rasa yang lebih variatif, yaitu teh susu rasa keju dan red velvet.
“Inovasi rasa menjadi salah satu pembeda kami dengan produsen milk tea lainnya. Produk kami juga mulai dikenal pasar karena teksturnya yang lebih kental dan creamy,” papar Hendy.
Selama menjalankan usaha ini dalam setahun terakhir ini, Hendy dan Nada telah memproduksi Flotea hingga 5.000 botol, dengan harga awal yang dibanderol sebesar Rp10.000 per botol, dan Rp12.000 per botol khusus milk tea rasa red velvet.
Meskipun tidak mau mengungkapkan berapa margin keuntungan yang didapatkan dari bisnis yang mereka jalani ini, Nada dan Hendy mengaku rata-rata omzet yang dapat dikantongi mencapai Rp40 juta setiap bulannya.
“Kami menentukan kuota minimal order point sebelum memproduksi lagi Flotea. Jika pemesanan belum mencapai 100 botol, kami tidak akan memproduksi ulang. Itu strategi efisiensi produksi,” katanya.
Langkah tersebut ditempuh sebab minuman teh susu home made ini tidak dapat bertahan lama. Jika produksi dilakukan secara berkala tanpa ada batas minimal, ada risiko produk tidak terjual setelah melewati tanggal kedaluwarsa.
Ada strategi lain yang juga diterapkan Flotea. Untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada pelanggan Flotea memberikan fasilitas delivery service gratis di daerah Bandung yang dekat dengan lokasi produksi untuk pemesanan lebih dari 10 botol.
Adapun, untuk pemesanan di bawah 10 botol, dikenai biaya pengiriman Rp5.000. “Untuk daerah yang agak jauh, fasilitas delivery service gratis diberikan kepada pemesanan yang lebih dari 15 botol,” paparnya.
Ke depannya, Hendy dan Nada menargetkan sasaran pasar yang lebih luas, di luar Bandung dan Jakarta. Akan tetapi, mereka masih menghadapi kendala utama, yaitu jasa pengiriman yang dapat menjamin kualitas produk tetap bertahan. Kendala ini, diakui Hendy, masih belum dapat terpecahkan hingga saat ini.
RASA UNIK
Selain Hendy dan Nada, pemain lain yang mencoba meneguk untung dari bisnis milk tea adalah Ricky Ardi Megantara dengan merek Papadrik yang mulai diperkenalkan sejak Agustus 2014.
Ricky memulai bisnis ini karena kecintaannya terhadap minuman teh asal Thailand atau thai tea. Melihat peluang dan prospek bisnis yang cukup besar, pria ini pun mengajak saudaranya mulai membangun bisnis minuman teh susu.
Untuk menjalankan roda bisnis ini, modal awal yang dibutuhkan Ricky sekitar Rp5 juta yang digunakan untuk pengadaan lemari es, peralatan produksi, dan bahan baku.
“Rasa yang unik, bahan baku teh yang berkualitas, dan harga yang terjangkau merupakan poin-poin yang kami tonjolkan,” katanya.
Saat ini, Papadrink fokus memproduksi milk tea dengan dua varian rasa saja, yaitu thai tea dan green thai tea yang dibanderol dengan harga Rp9.000 untuk ukuran 250 ml dan Rp15.000 untuk ukuran 550 ml.
Pria yang berdomisili di Bandung ini mengaku bisa memproduksi 100 hingga 150 botol milk tea per hari, dan bisa meraup pesanan sekitar 2.500 botol per bulan.
“Saat ini, yang mengerjakan proses produksi hanya saya sendiri, jadi kapasitas produksi dalam sehari sangat terbatas. Ke depannya, saya akan mencoba mencari tenaga kerja untuk membantu di urusan produksi,” katanya.
Selain urusan tenaga kerja, Ricky mengaku tidak mengalami kendala yang berarti selama ini, baik itu dari sisi suplai bahan baku maupun proses pemasaran dan penjualan.
Agar tetap bisa bertahap di tengah hiruk-pikuknya produk milk tea botolan yang beredar di pasaran, Papadrink terus melakukan penetrasi pasar bekerja sama dengan tempat-tempat yang menjadi pusat keramaian dan aktivitas muda-mudi di Bandung melalui sistem titip jual.
“Konsinyasi dengan beberapa kafe dan restoran itu juga berfungsi agar Papadrink lebih dekat dengan konsumen, karena selama ini hanya dipasarkan melalui media sosial,” katanya.
Selain promosi melalui akun Instagram @papadrink_id, Ricky juga memanfaatkan para reseller yang ikut membantu proses penjualan produk Papadrink. Reseller tersebut menjadi perpanjangan tangan dan distributor produk dari produsen kepada konsumen.
Ricky juga aktif mengikuti event atau bazar kuliner yang banyak diselenggarakan di Bandung sepanjang tahun ini. Selain dapat meningkatkan penjualan, keikutsertaan dalam kegiatan tersebut juga dinilai dapat meningkatkan brand awareness konsumen terhadap milk tea besutannya.
“Sudah ada beberapa orang yang menjadi reseller Papadrink, mayoritas masih di Bandung, karena sifat produk ini yang tidak tahan lama,” imbuhnya.
Walaupun bisnis minuman ini sudah lama berkembang dan terus bertambah banyak di pasaran, Ricky yakin prospek ke depannya masih berpeluang besar, karena penggemar minuman teh susu—khususnya teh asal Thailand—terus bermunculan.