“Suatu momen kesabaran dalam badai amarah akan menyelamatkan Anda dari ratusan momen penyesalan.” (anonim)
Belum lama berselang, kita sempat merasakan kengerian atas pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda yang telah beristeri terhadap seorang penjaja sex online.
Sang pemuda, yang adalah pembeli kenikmatan seksual itu terhina manakala sang penjaja mengatainya, “Badanmu bau!”, pada saat mereka melakukan transaksi. Martabat sang pemuda lenyap seketika. Malu menggunung dan amarah meletus. Satu cekikan kuat pun menewaskan si penjaja. Tragis dan mengerikan.
Cerita lainnya. Zinedine Zidane adalah seorang pemain bola paling sukses dari Perancis. Dia memimpin kesebelasannya menjuarai ajang sepakbola paling bergengsi Piala Dunia pada 1998. Dia terpilih tiga kali menjadi pemain bola terbaik dunia oleh federasi sepak bola internasional FIFA.
Dia juga membintangi beberapa klub di Perancis, Italia, dan Spanyol dalam meraih gelar-gelar bergengsi dalam pelbagai kompetisi. Dia nyaris membawa Perancis menjadi juara dunia ke dua kali pada 2006, bila saja tak terjadi insiden yang tragis itu.
Insiden itu adalah ketika dalam pertandingan final antara Perancis melawan Italia, Zidane mendapat kartu merah dan dikeluarkan oleh wasit dari pertandingan. Insiden itu tepatnya terjadi ketika Zidane menanduk Materazzi, pemain belakang kesebelasan Italia. Tandukan itu membuat Materazzi terjatuh dengan mengerang kesakitan (apakah berpura-pura?) dan terkapar.
Ternyata, sejak awal Zidane sudah diprovokasi oleh Materazzi dengan ucapan-ucapan tak senonoh dan permainan kasar. Terungkap kemudian, Zidane ‘meledak’ karena Materazzi berbisik kepadanya, “Bagaimana kabar saudaramu (atau ibumu?) yang pelacur itu?”
Dua kisah berbeda, tetapi memiliki benang merah yang sama yaitu penghinaan. Penghinaan adalah suatu perusakan terhadap kehormatan diri seseorang. Penghinaan adalah penghancuran martabat kemanusiaan. Penghancuran martabat dalam bentuk penghinaan menimbulkan malu. Dan, penderitaan atas malu itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan penderitaan karena serangan fisik.
Ada pepatah Madura yang menyatakan, “pote tulang, pote mata”.
Pote tulang berarti putihnya sebuah tulang. Maknanya adalah dengan putih tulang, kesemuanya sudah terlihat, tak ada lagi yang tersembunyi. Semua sudah terbuka, telanjang. Tak ada lagi tersisa harga diri atau martabat sebagai manusia. Sementara itu, pote mata adalah mata yang hanya putihnya saja nampak, yang biasanya terjadi pada orang yang telah meninggal.
Makna ‘pote tulang, pote mata’ adalah lebih baik mati dari pada kehilangan martabat. Sikap keras ini, dalam istilah Angela Merkel, Kanselir Jerman yang dikenal keras hati, mempunyai arti ‘manakala itu menyangkut martabat kemanusiaan, kita tak perlu melakukan kompromi’.
Martabat menunjukkan derajat kemanusiaan sebagai mahluk tertinggi ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Martabat adalah ‘milik’ seseorang yang tertinggi sebagai manusia. Sekedar catatan, milik dalam tanda petik adalah sebagai pengingat, hakikatnya manusia tak memiliki apapun.
Martabat, secara kodrati, memiliki urutan paling tinggi dibandingkan kepemilikan apapun yang dimiliki oleh manusia. Anak keturunan, nama besar dan segenap harta kekayaan lain, secara hakikat berada pada peringkat di bawah martabat.
“Saya seorang kulit hitam Amerika. Saya bangga dengan suku saya. Saya bangga dengan diri saya. Saya memiliki harga diri dan martabat,” kata mega bintang Michael Jackson suatu ketika.
Bila terjadi hal di mana martabat itu hilang, kita mendapatkan malu sebagai gantinya. Rasa malu itu pada ujungnya, dan secara umum terjadi, disertai dengan kemarahan. Martabat hilang, malu timbul, marah membuncah, akal sehat berhenti. Dan, terjadilah pelbagai dampak yang seringkali sangat mengerikan.
Dalam contoh-contoh di atas, orang-orang yang martabatnya direndahkan, yang tak mampu mengendalikan amarahnya, akan mendapatkan rasa sesal mendalam dan berkepanjangan. Mereka mendapatkan hukuman masing-masing akibat pelampiasan kemarahan yang telah mereka lakukan.
Sesal kemudian tiada guna. Nasi telah menjadi bubur. Pembeli sex online harus mendekam di penjara dengan menyisakan derita bagi anak isteri. Zidane kehilangan peluang memimpin kesebelasan negaranya untuk menjadi juara dunia dua kali.
Kedewasaan
Hidup memang tak mudah. Pelbagai cobaan harus kita lalui sepanjang hayat. Kemahiran mengarungi cobaan kehidupan adalah salah satu kunci keberhasilan hidup. Dalam hal ini, kemahiran yang termaksud berkaitan dengan soal kedewasaan.
Soal kedewasaan adalah soal menyikapi hidup sebagai insan-Nya, sebagai manusia yang penuh dengan keterbatasan. Sikap hidup dengan selalu menyadari bahwa sebagai manusia kita tak memiliki apapun, adalah sikap hidup yang utama.
Ada kalanya kita disanjung-sanjung atas segala kehebatan dan ‘kepemilikan’ kita. Dalam kondisi ini, sikap selalu eling lan waspodo (ingat dan waspada) adalah pegangan hidup yang harus kita genggam erat.
Pada saat lain, ada kalanya kita tersandung, di antaranya dalam menghadapi cobaan penghinaan yang memalukan dan bahkan yang memusnahkan martabat. Dalam kondisi inipun, kita seyogayanya harus tetap eling lan waspodo. Hal itu karena hidup senantiasa pasang surut. Ada siang ada malam. Ada hujan ada panas.
Memiliki kedewasaan agar senantiasa eling lan waspodo akan membentuk kita menjadi orang yang tangguh, yang akan selalu selamat mengarungi pelbagai cobaan hidup. Selalu eling lan waspodo adalah suatu hal yang mententramkan kita.
“Kedewasaan adalah kemampuan untuk berpikir, berbicara dan bertindak secara bermartabat. Ukuran kedewasaan adalah seberapa tinggi spiritualitas Anda dalam mengarungi masa-masa frustrasi Anda,” kata Samuel Ullman, pebisnis sekaligus penyair favorit Jendral terkenal Douglas MacArthur.
Akhir tulisan, pote tulang, pote mata layak kita tanggulangi dengan eling lan waspodo.
Penulis: Pongki Pamungkas