“Apa pun yang kita dengar adalah suatu opini, bukan fakta. Apa pun yang kita lihat, adalah perspektif, bukan kebenaran.” (Marcus Aurelius)
Seseorang dinyatakan secara sah bersalah adalah bila pernyataan itu diucapkan hakim dalam pengadilan yang berwenang. Salah adalah lawan kata benar. Benar merupakan kata sifat yang kemudian menjadi kata yang sakral, yakni kebenaran. Di luar kata salah, ada lawan kata lain kebenaran, yakni kebohongan.
Keputusan hakim, lazim dipertanyakan paling tidak oleh pihak-pihak yang dinyatakan bersalah (dalam hukum pidana) atau orang-orang yang kalah (dalam hukum perdata ). Dalam konteks ini, para pihak termaksud pun mengajukan banding ke jenjang peradilan yang lebih tinggi.
Di luar itu, keputusan hakim sering pula dipertanyakan kebenarannya oleh orang-orang yang tak tersangkut dalam perkara. Masyarakat umum sering mempertanyakan kebenaran keputusan yang bersangkutan. Mereka yang dirugikan dan orang-orang lain yang tak sependapat dengan keputusan hakim sering menyatakan keputusan hakim itu diambil berdasarkan kebohongan-kebohongan.
Dalam wilayah kebijakan pemerintahan, idem ditto. Tak ada kebenaran absolut. Hampir sebagian besar keputusan-keputusan pemerintah mendapat penentangan dari banyak pihak.
Keputusan pemerintah untuk melarang para pegawai negeri menyelenggarakan rapat-rapat di hotel pun tak akan bulat dan mutlak disebut sebagai suatu keputusan yang benar. Ada yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan oleh keputusan tersebut.
Keputusan melarang minuman beralkohol diperjualbelikan di toko-toko kelontong, di minimarket dan supermarket pun menuai celaan dan tentangan. Begitu juga dengan keputusan Menpora untuk membekukan PSSI menuai badai pro dan kontra.
Kebenaran dalam ranah sosial (hubungan antar manusia) adalah kebenaran relatif. Sementara itu, dalam bidang-bidang ilmu eksakta (fisika, matematika, kimia, biologi ) kebenaran yang ada bisa disebut sebagai kebenaran absolut. Meja itu bundar. Ya, memang demikian adanya, meja itu berbentuk bundar, bukan segi empat atau kotak. Mobil beroda empat dan berwarna merah, bukan beroda dua dan berwarna putih. Dalam bidang-bidang inilah tepat apa yang dikatakan Buddha, “Tiga hal yang tak dapat disembunyikan: matahari, bulan, dan kebenaran.”
Elvis Presley mengatakan senada bahwa kebenaran itu seperti matahari. Anda dapat menutupinya sesekali, tapi itu tak akan berlangsung lama.
Namun, kebenaran eksakta tersebut akan menjadi kebenaran relatif bila kita melakukan pandangan atau penilaian terhadap benda-benda eksak itu. Meja bundar itu jelek bentuknya atau mobil merah itu bagus sekali. Bahkan, secara ekstrem, terhadap benda-benda yang secara fisik, misalnya, meja yang jelas-jelas bundar bisa dikatakan sebagai meja yang lonjong.
Hal-hal yang memelesetkan kebenaran itu sangat sering terjadi, dengan pelbagai motif yang aneka ragam. Dalam penilaian itu faktor-faktor subyektif berperan, dimana tumbuh potensi perbedaan penilaian antara satu dengan orang-orang lainnya.
Secara ringkas, tepat kalimat yang dikatakan oleh Georges Brague bahwa kebenaran itu eksis; hanya kebohongan yang dicari dan diketemukan.
Dalam ilmu manajemen Total Quality Control dari Jepang, dikenal suatu azas speak with data. Kemukakan datanya, lalu ambil data itu dari fakta di lapangan. Susun fakta-fakta yang riil itu menjadi data (angka-angka atau foto), dan selanjutnya sajikan menjadi informasi bagi manajemen (management information) yang diperlukan dalam pengambilan keputusan oleh manajemen.
Speak with data menghendaki adanya suatu kebenaran yang mutlak. Dapat dipahami, karena tanpa suatu kebenaran yang nyata, akan membuahkan potensi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Bahkan, bisa terjadi tanpa niat manipulasi atau kebohongan, terjadi kesalahan atau kelalaian (human error) yang membuat data tidak sama persis dengan faktanya. Belum lagi, dalam proses mengolah data menjadi informasi, kemungkinan terjadinya ketidak-sesuaian antara fakta dan informasi sangat terbuka.
Mengolah data menjadi informasi adalah suatu proses analisis yang memerlukan pengambilan kesimpulan (judgement) yang dilakukan oleh manusia. Dalam proses judgment itulah kebenaran mutlak akan mulai kabur dan berangsur-angsur berubah menjadi kebenaran relatif. Dalam proses penilaian itulah kemungkinan terjadinya manipulasi dan kebohongan terbuka lebar.
Oleh karenanya, tak heran bila terdapat suatu pandangan yang menyatakan kebenaran bukanlah kenyataan. Tak heran karena secara alamiah, ada kecenderungan watak dasar manusia yang sering berbuat salah, entah dengan sengaja (memanipulasi atau berbohong) ataupun karena khilaf atau lalai.
Tak heran bila karena tak percayanya terhadap perilaku manusia, ada kalimat yang amat tajam dari Arthur Conan Doyle, penulis kisah detektif Sherlock Holmes yang dikisahkan sangat tajam dalam menganalisa perbuatan-perbuatan kriminal. “Tak ada yang lebih memperdayakan dari pada suatu fakta yang jelas,” begitu bunyinya.
Membiasakan diri untuk melatih indera kita agar senantiasa berpikir dan berbuat benar memang tak mudah. Sebagaimana kata para tetua, lebih mudah untuk berbuat ingkar daripada berbuat lurus. Lebih menyenangkan untuk memupuk dosa daripada menabur benih-benih pahala.
Namun, simak nasihat ini, “Bila Anda mengatakan kebenaran, Anda tak perlu mengingat apapun,” kata Mark Twain. Nurani dan pikiran menjadi lapang. Pikiran dapat kita manfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat, hal-hal yang bernapaskan kebenaran.
Lagi pula, seseorang yang tak melakukan kebenaran dengan sungguh-sungguh pada hal-hal kecil, tak layak dipercaya untuk hal-hal besar, begitu kata Albert Einstein.
Penulis:
Pongki Pamungkas
Penulis buku “ The Answer Is Love “.