Bisnis.com, JAKARTA - Memulai segala sesuatu terkadang tidak mudah, selalu ada tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Namun, ketika semua kendala itu berhasil dilewati, kesuksesan sudah siap menyambut di depan mata.
Hal tersebut juga berlaku bagi para calon pengusaha yang bergerak dalam perusahaan rintisan atau startup di bidang digital. Ada banyak hal yang harus diketahui saat mulai membangun dan mengembangan startup.
Start-up teknologi tengah berkembang pesat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang dengan berbagai alasan berlomba-lomba untuk membangun perusahaan digitalnya sendiri.
Misalnya, mereka mencoba memecahkan permasalahan yang dialami masyarakat melalui sistem dan teknologi, atau untuk memulai bisnis tanpa modal yang besar karena semua dilakukan secara online.
Beberapa nama startup digital karya anak bangsa pun mulai naik ke permukaan, misalnya saja aplikasi pemesanan ojek secara online, website e-commerce dan marketplace, game dan animasi online, serta aplikasi mobile lainnya.
Pertumbuhan itu juga didorong oleh banyaknya kisah tentang orang-orang sukses dan kaya raya karena membangun sebuah perusahaan digital. Sebut saja Mark Zuckerberg pendiri Facebook, Jack Dorsey pendiri Twitter, serta deretan panjang nama lainnya yang berhasil jadi miliader pada usia muda.
Semakin lama, teknologi informasi memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia modern. Hal itu yang membuat start-up digital atau start-up teknologi memiliki potensi yang sangat besar pada saat ini dan di masa depan.
Pepatah mengatakan berharaplah hal untuk yang terbaik, dan bersiaplah untuk hal yang terburuk, hal itu juga berlaku saat merintis perusahaan digital. Para pendiri start-up jangan hanya memandang terhadap potensi sukses di depan, tetapi juga harus siap terhadap risiko kegagalan yang terus mengintai.
Rhein Mahatma, Co-founder Startupbisnis.com, mengatakan bahwa 4 tahun yang lalu belum banyak orang yang mengenal apa itu itu startup, tetapi sekarang banyak orang yang ingin membangun start-up sendiri.
“Membayangkan memiliki start-up dengan membangun start-up sangat berbeda. Saat dibayangkan, semuanya tampak mudah, tetapi kenyataannya sangat sulit,” katanya pada saat pertemuan start-up dengan tema Raising Giants: Celebrating Indonesian Startups.
Tak heran, berdasarkan statistik 9 dari 10 perusahaan rintisan digital mayoritas berguguran pada tahun pertama membangun bisnis. Tak hanya di Indonesia, hal itu juga terjadi secara global.
Namun, hal itu tentunya bukan menjadi alasan bagi para pelaku usaha untuk berhenti mengejar mimpi melalui start-up digital. Kegagalan-kegagalan yang ada malah bisa dijadikan sebagai pelajaran agar menghindari kesalahan serupa dalam membangun perusahaan rintisan digital.
Yudhi Mandey, Co-Founder Wavoo--sebuah aplikasi kencan secara online, mengatakan dia mengalami tiga kali kegagalan dalam membangun start-up, sebelum akhirnya berhasil membangun aplikasi yang telah digunakan sekitar 500.000 orang tersebut.
“Wavoo merupakan start-up keempat saya, saya gagal sebanyak tiga kali. Tapi saya tidak berhenti karena saya ingin bekerja keras untuk mimpi saya sendiri, bukan untuk orang lain,” katanya.
Untuk menghindari atau meminimalisasi risiko kegagalan perlu ada riset sebelum membuat sebuah perusahaan start-up. Pendiri start-up harus memastika apakah produk yang akan dibangunnya tersebut bisa bekerja di Indonesia. Pasalnya, banyak aplikasi yang sukses di luar negeri ternyata tidak berhasil saat diadaptasi untuk pasar Indonesia.
“Saat membuat start-up pastikan semuanya akan berjalan di Indonesia, selain itu siapkan mental karena akan terus menghadapi tantangan tiap hari. Jika tidak bersiap, mungkin hanya akan bertahan 2 hari,” katanya.
Yudhi mengatakan setiap kali dirinya gagal, dia selalu mencoba untuk menjadi lebih baik. Namun, ternyata tantangannya tak hanya sampai di sana. Ketika sebuah produk atau aplikasi telah berhasil dibangun, tantangan selanjutnya adalah dukungan pendanaan.
“Saat sudah memiliki produk yang bernilai dan memiliki daya tarik, tetapi tidak ada investor yang mau membiayai, ini menjadi tantangan tersendiri,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Abraham Viktor, Co-Founder Taralite, sebuah perusahaan yang memberikan pinjaman dana untuk berbagai kepentingan secara online.
Dia mengatakan selama ini dia menggunakan semua tabungannya untuk mendanai start-upnya tersebut. Sehingga, ketika startup yang dibangunnya gagal, maka risikonya adalah dia akan kehilangan semua uang yang selama ini dia simpan.
“Beruntung saya bergabung dengan komunitas dan inkubator bisnis, di sana saya bisa mendapatkan banyak hal dalam membangun start-up,” katanya.
Salah satu inkubator bisnis yang memfasilitasi start-up teknologi adalah Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI). Di sana, para start-up tak hanya berkesempatan untuk mendapatkan pendanaan, tetapi juga mendapatkan bantuan dalam hal publikasi, pemasaran, dan terutama adalah mentoring.
“Memiliki mentor sangat membantu, karena kita tidak perluterlalu banyak menghabiskan sumber daya saat berjuang membangun start-up dari awal,” katanya.