Bisnis.com, JAKARTA - Mungkin masih segar di ingatan kita, pada pertengahan Desember 2015, masyarakat digegerkan dengan kebijakan Kementerian Perhubungan yang melarang aplikasi Gojek, GrabTaxi, Uber dan sejenisnya untuk beroperasi kembali.
Meskipun pada akhirnya dalam kurun kurang dari 24 jam, kebijakan tersebut dicabut, publik seolah semakin diingatkan tentang begitu banyak yang berkepentingan dengan aplikasi tersebut.
Tak perlu diragukan lagi, kehadiran aplikasi tersebut menjadi salah satu jalan keluar harapan bagi masyarakat kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, di tengah keterbatasan moda transportasi di Tanah Air.
Selain itu, aplikasi ini juga memudahkan pengguna dengan mobilitas tinggi yang semakin menghendaki kepraktisan. Kebutuhan masyarakat terhadap aplikasi sejenis, bahkan mampu melambungkan para pengembangnya bukan hanya menjadi lebih tenar tetapi sangat kaya.
Travis Kalanick, co-founder perusahaan Uber bisa menjadi salah satu contoh. Uber yang merupakan pelopor aplikasi pemesanan dan berbagi kendaraan ini, berhasil mendudukan Kalanick di peringkat keempat orang terkaya di AS yang berusia di bawah 40 tahun.
Berkat aplikasi itu, nilai kekayaan Kalanick pada akhir tahun lalu ditraksir mencapai US$6 miliar. Namun, kesuksesan Kalanick tidaklah didapat dalam sekejap.
Seperti layaknya para miliarder jenius asal Sillicon Valley yang tak lulus kuliah, Kalanic harus mengalami jatuh bangun dan hinaan dalam membangun usaha, sebelum akhirnya menemukan aplikasi mutakhir Uber.
Kalanick muda merupakan siswa yang cerdas, ambisius, arogan sekaligus nakal. Dia sempat mengenyam bangku kuliah di jurusan teknik informatika di Universitas California, Los Angeles. Namun, pada 1998 dia memilih keluar dengan alasan ingin bekerja sekaligus mengembangkan Scour, perusahaan yang dikembangkannya.
Bersama dengan teman sekelasnya, Michael Todd dan Vince Busam, dia berambisi membuat alat pencarian digital dan laman berbagi data. Perusahaan baru ini langsung menyita perhatian.
Scour memungkinkan penggunanya untuk mengunduh konten tanpa perlu mengeluarkan uang. Dalam kurun kurang dua tahun, aplikasi ini sudah memiliki 250.000 orang pengguna di AS. Akan tetapi, pencapaian hebatnya itu harus terhenti begitu saja.
Kalanick dan dua temannya bahkan harus menghadapi tuntutan dari 30 label musik dan perusahaan atas pelanggaran hak cipta. Mereka harus membayar gugatan tersebut senilai US$250 miliar. Tentu nilai tersebut tidaklah kecil bagi perusahaan yang masih ber-usia singkat tersebut.
Akhirnya, Kalanick, Busam dan Todd mengajukan permohonan pailit kepada pengadilan AS. Permohonan tersebut pun disetujui dalam waktu singkat. Namun, bukan Kalanick jika dia lalu menyerah dengan halangan tersebut.
Kecerdasan dan ambisinya yang besar, membawanya untuk kembali memuat aplikasi berbagi data dan berkas dalam bentuk yang lebih baru. Dia mempelajari seluruh payung hukum dan inovasi baru yang dibutuhkan oleh konsumen.
Red Swosh adalah nama dari aplikasi startup yang dikembangkan oleh Kalanick bersama Todd pada 2001. Aplikasi baru ini sempat berkibar di AS selama 6 tahun. Namun kali ini, Kalanick harus menghadapi permasalahan baru. Sikapnya yang egois dan arogan membuat hubungan baiknya dengan Todd harus berakhir.
Selain itu, perusahaan ini rupanya tak mampu menahan dampak dari fenomena 9/11 yang menyebabkan bursa saham AS rontok. Red Swosh pun juga terjerat pelanggaran hukum karena tidak membayar pajak pegawai selama beberapa tahun.
Akhirnya, Kalanick dan Todd memilih untuk menjual perusahaan tersebut kepada Akamai Technologies senilai US$19 juta. Babak baru Kalanick akhirnya dimulai ketika dia menghadiri konferensi teknologi LeWeb pada 2008.
Kala itu dia bertemu dengan Garret Camp, yang juga baru saja menjual aplikasi StumbleUpon kepada Ebay. Camp yang sebelumnya sudah berambisi ingin mendobrak kartel bisnis taksi di AS, melemparkan ide untuk mengembangkan aplikasi berbagi kendaraan dan pemesanan taksi biasa serta taksi mewah di Los Angeles.
Gagasan tersebut ditanggapi positif oleh Kalanick. Dia menilai bisnis taksi di AS telah jauh merugikan konsumen, padahal layanan yang diberikan belum memuaskan. Sebelum bertemu Kalanick, Camp telah memiliki tim yang berencana membuat layanan pemesanan taksi online yang diberi nama UberCab.
Tim tersebut beranggotakan Oscar Salazar dan Conrad Whelan. Setelah bertemu Kalanick, dia memberikan tawaran untuk menjadi penasihat utama. Meskipun pada awalnya Kalanick menyebut peranannya sebagai chief incubator.
Pada awal 2010, Ryan Graves didapuk menjadi general manager UberCab yang kemudian pada tahun yang sama dipromosikan menjadi CEO UberCab.
SUKSES BESAR
Peluncuran UberCab ini sukses besar. Alhasil, banyak investor menawarkan investasi untuk perusahaan ini. Pada akhir 2010, UberCab mendapat suntikan dana US$1,25 juta dari First Round Capital. Selain itu pebisnis kawan Kalanick yang bernama Chris Sacca, dan co-founder Napster Shawn Fanning turut menanamkan modalnya.
Perkembangan itu, menurut beberapa kalangan, tidak bisa lepas dari campur tangan Kalanick. Pada Desember 2010, dia akhirnya duduk menjadi CEO Uber, sedangkan Graves menjadi general manager.
Sikap ambisius yang berpadu dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata disebut menjadi dasar mengapa dia bisa di posisi saat ini. Berkat kerja kerasnya, saat ini layanan Uber tersedia di 361 kota di 67 negara.
Berdasarkan data dari Bussines Insider, nilai valuasi Uber per Oktober 215 mencapai US$60 miliar-US$70 miliar. “Orang tidak tahu tentang saya. Tetapi saya tahu, bagaimana menghadapi posisi di mana ketika kita mendapatkan kesuksesan yang besar. Kita harus lebih banyak mendengarkan dan berusaha lebih ramah ke orang lain,” kata Kalanick.
Konsep berbagi kendaraan ini, saat ini masih menjadi kontroversi di seluruh penjuri dunia. Di samping mendapat gugatan hukum terkait dengan legalitas usahanya, gempuran dari para pengusaha taksi yang merasa tersaingi di berbagai negara pun juga dihadapi oleh Uber.
Uniknya, aplikasi Uber ini juga telah menginspirasi banyak pelaku startup untuk meniru konsepnya. Cheng Wei yang merupakan CEO aplikasi pesaing Uber di China, yakni Didi Kuaidi bahkan terang-terangan menyebut Kalanick sebagai inspiratornya mendirikan usaha ini.
“Wei dalam pertemuan bersama Kalanick, secara gamblang menyebutkan, bahwa Kalanick merupakan inspirasi utamanya,” kata juru bicara Wei. Uber telah masuk ke Jakarta sejak 2014. Kehadirannya menjadi warna tersendiri bagi aplikasi transportasi di Ibu Kota bersama dengan aplikasi serupa lainnya seperti Gojek dan GrabTaxi. ()