Bisnis.com, JAKARTA - Implementasi keterbukaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) semakin nyata di dunia kerja Indonesia. Kini, tenaga kerja yang tidak memiliki kompetensi bakal sangat rentan tersingkir dari kompetisi karier.
Saat ini semakin banyak perusahaan yang diincar tenaga kerja kompeten dari negara-negara Asia lainnya. Permasalahannya, para pencari kerja itu sekarang tidak hanya memburu lowongan di perusahaan multinasional global (MNCs), tetapi juga perusahaan lokal.
Sebuah survei yang dilansir JobStreet dan jobsDB pada April 2017 mengungkapkan terjadinya pergeseran tren persaingan pencari kerja di Asia. Mereka tak lagi hanya mengincar MNCs yang dianggap bergengsi dan progresif, tetapi juga perusahaan-perusahaan domestik.
Survei tersebut dilakukan terhadap 43.827 responden dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Masing-masing diberikan pertanyaan tentang 10 perusahaan teratas yang membuat mereka terinspirasi untuk bekerja.
Hasilnya ternyata mengindikasikan perbandingan 50:50 antara MNCs dan perusahaan lokal sebagai pilihan perusahaan. Padahal, tren beberapa dekade sebelumnya selalu menunjukkan dominasi MNCs sebagai incaran favorit para pencari kerja.
Dari survei itu juga terlihat 3 dari 7 negara tersebut saling menunjuk nama suatu perusahaan sebagai pilihan terbanyak, dengan pengecualian Hong Kong dan Singapura dan Google Inc. menempati pilihan teratas, di Vietnam, pencari kerja memilih Unilever sebagai perusahaan favorit.
Baca Juga
Campus and Institutional Event Executive JobStreet Indonesia Satya Sultanudin menjelaskan analisis dari level negara mengungkapkan sebagian besar responden yang memilih terbagi antara MNCs dan perusahaan lokal, kecuali Singapura di mana MNCs lebih mendominasi.
“Di ujung spektrum lainnya, kami mempunyai Indonesia dengan hanya 3 MNCs di daftar 10 perusahaan teratas, dan Malaysia dengan hanya 4 MNCs. Thailand, Vietnam Hong Kong, dan Filipina muncul sebagai negara yang memiliki pembagian 50:50 antara MNCs dan perusahaan lokal.”
Pergeseran preferensi para pencari kerja Asia itu sebenarnya bukan fenomena mengejutkan. Di Hong Kong, Singapura, dan Malaysia terjadi penurunan minat para pencari kerja terhadap perusahaan-perusahaan teknologi, transportasi, dan migas.
Sementara itu di Indonesia, Filipina, dan Thailand perusahaan-perusahaan di bidang barang-barang konsumsi mendominasi incaran para pencari kerja. Di Vietnam, minat para jobseekers terpaut di perusahaan-perusahaan makanan dan minuman, serta telekomunikasi.
“Beberapa faktor seperti nilai-nilai budaya, standar dan kualitas hidup, tren ekonomi, dan infrastruktur memainkan peran dalam membentuk presepsi seseorang akan perusahaan yang diminati,” papar Satya.
Fenomena pergeseran preferensi pencari kerja di Asia menuju ke perusahaan lokal itu tidak hanya dilaporkan oleh JobStreet. Sebuah laporan lain berjudul The Go Glokal yang dilansir Nielsen pada April 2016 mengindikasikan tren serupa.
Dalam riset mereka terungkap bahwa para perusahaan lokal dan regional (FMCG) di Asia Tenggara telah melampaui jangkauan perusahaan multinasional. Sebab, FMCG dijalankan dengan biaya operasional rendah, jaringan mapan, dan pendekatan kearifan lokal.
Akibatnya, merek-merek lokal pun bertumbuh dan menyaingi popularitas perusahaan-perusahaan MNCs. Seiring dengan kenaikan pamor mereka, para pencari kerja di Asia pun mulai melirik prospek karier di perusahaan lokal.
Menurut laporan Nielsen, tren tersebut pada akhirnya memicu para MNCs untuk melakukan kolaborasi strategis dengan pemain-pemain lokal. MNCs memanfaatkan jaringan distribusi dari pemain lokalnya, sedangkan pemain lokal mendapatkan sumber dan akses tambahan untuk penelitian dan pengembangan (R&D) serta manajemen internasional.
Jadi, tidak ada lagi ruang untuk bersantai-santai bagi para pencari kerja. Pemikiran bahwa persaingan di tingkat lokal lebih longgar dibanding tingkat global sudah tidak relevan lagi. Kalau tidak sigap, jangan kaget jika nanti tersingkir dari arena kompetisi dunia karier.