Bisnis.com, JAKARTA—A.G. Lafley pernah sesumbar ketika masih sebagai ‘dewa’ Procter & Gamble (P&G). “Bila saya meninggal dalam kecelakaan pesawat, sudah ada seseorang yang menggantikan saya di kursi ini keesokan paginya.”
Guyon-kah Lafley? Eksekutif puncak yang sempat lama mengemudikan P&G itu sedang tidak berolok-olok atau berbicara ngalor-ngidul. Dia berkata sesungguhnya. Kok bisa secepat itu mencari pengganti pimpinan puncak perusahaan global sekelas P&G?
Hal yang sering terjadi di kebanyakan manajemen adalah terlena dengan kemapanan. Lupa diri. Asyik sendiri. Merasa tidak perlu berkompetisi, karena sudah unggul ketimbang kompetitor.
Sang CEO dianggap dewa yang tidak tergantikan. Dia akan memimpin untuk waktu yang lama dan selama itu pula kinerja perusahaan diyakini terus kinclong.
Bila terjadi sesuatu dengan sang pemimpin, itu urusan belakangan. Tidak perlu dibicarakan sekarang. Saat ini nikmati saja hasilnya. Beri apresiasi setinggi-tingginya kepada dewan direksi agar di tahun mendatang bisa menunjukkan performa lebih baik.
Sulit dipungkiri, sikap manajemen seperti itu masih cukup mengental di banyak korporasi, tidak terkecuali di negeri ini.
Namun, cobalah kita belajar dari pengalaman dan sistem yang dibuat P&G untuk kebaikan korporasi juga.
Sejak Lafley memegang tampuk kepemimpinan sekitar tahun 2000, kinerja perusahaan produk konsumen asal AS itu memang terlihat kian manis.
Angka penjualan, misalnya, melonjak 110% menjadi US%84 miliar. Keuntungan juga meningkat hampir tiga kali lipat menjadi US$12 miliar.
Meski demikian, bukan berarti Lafley tidak memikirkan skenario terburuk bila dirinya meninggal tiba-tiba dan bagaimana dampaknya terhadap perusahaan.
Penguatan dari Dalam
Urusan seperti itu tidak pernah membuatnya pusing tujuh keliling, karena P&G menerapkan sistem ketahanan manajemen yang disebut Build From Within.
Bermodal sistem tersebut, jangan heran bila 50 pekerjaan teratas di perusahaan itu memiliki kandidat pengganti masing-masing 3 orang. “Kami mempromosikan orang dari dalam karena itulah sumber daya bakat-bakat yang kami miliki,” ujar Lafley mantap, seperti dikutip Fortune edisi 13 April 2009.
Kesiapan P&G memang didukung infrastruktur yang boleh dibilang sangat memadai. Perusahaan ini memiliki semacam sekolah bisnis untuk melahirkan manajer dan pimpinan perusahaan terbaik.
Mereka yang terpilih dari ribuan karyawan masuk kelompok yang disebut Proctoid. Dalam perjalanannya, dari sekitar 2.700 karyawan yang berhak melanjutkan ‘studi’ ke ‘jenjang yang lebih tinggi’, karyawan yang bukan dari dalam hanya sedikit sekali, yaitu 5%.
Proctoid sendiri diperebutkan oleh sedikitnya 600.000 peminat. Penyaluran minat dan bakat ala P&G itu memberikan keleluasaan bagi seorang karyawan untuk memilik jalur karier sesuai keinginannya dan kebutuhan perusahaan.
Bila eksekutif berusia muda tadi berkeinginan kuat menjadi CEO kelak, P&G tidak segan-segan memfasilitasinya. Sebagai tahap awal, calon tersebut diberi tanggung jawab sebagai asisten manajer yang menangani produk deterjen.
Tahap selanjutnya diberi tanggungjawab membawahi produk binatu di luar negeri sebelum akhirnya membawahi pasar di kawasan Asia belahan utara.
Bila Anda melatih orang untuk bekerja di banyak negara dan menangani beragam bisnis, Anda berarti mengembangkan bakat terpendam. Begitulah kira-kira pesan manajemen P&G.
Jangan heran pula bila Lafley memiliki database lengkap dan komprehensif mengenai 138.000 karyawan. Kinerja para bibit unggul itu dikaji bulanan dan tahunan. Pada saat yang sama Proctoid membahas secara mendalam tujuan bisnis mereka, jenis pekerjaan selanjutnya, dan apa yang sudah dilakukan dalam pelatihan sebelumnya.
Alhasil, ketika ada posisi yang membutuhkan penempatan, sudah diketahui siapa yang bisa segera dipindahkan, termasuk ke luar negeri sekalipun, lengkap dengan dokumen penilaian kinerja yang bersangkutan.
“Kami dapat dengan mudah mengisi posisi yang kosong dalam hitungan jam. Itulah kecantikan dari sistem ini,” kata Lafley.
Bagi perusahaan multinasional, strategi ketahanan manajemen seperti diadopsi P&G mungkin bukan sesuatu yang baru. Mereka dituntut demikian agar manajemen tidak lagi bergantung kepada orang-orang tertentu tetapi kepada sistem yang teruji.
Tidak sedikit korporasi global yang menerapkan strategi serupa meski dengan penekanan berbeda. Sayangnya, masih banyak perusahaan, terutama perusahaan keluarga, yang masih jalan di tempat atau tertatih-tatih dalam urusan menyiapkan generasi penerus.
Jangankan membicarakan pemimpin puncak, ditinggal asisten manajer atau manajernya saja sudah heboh tidak karuan.