Pesawat kecil jenis Kodiak yang kami tumpangi sudah hampir satu jam meninggalkan Bandara Sentani, Jayapura, menuju Distrik Korupun, pedalaman Kabupaten Yahukimo, Papua. Dave, sang pilot pesawat dengan kapasitas 9 penumpang itu, menunjukkan landasan pendaratan tujuan, sebuah lapangan rumput dengan kemiringan hampir 30 derajat.
Ujung landasan berbatasan langsung dengan jurang sangat dalam, dan diseberangnya tegak berdiri sebuah bukit. Pesawat sempat mengitari landasan udara hingga tiga kali untuk mencari sudut paling tepat agar bisa mendarat.
Korupun adalah sebuah distrik dengan sekitar 10.000 penduduk. Letaknya terpencil dan di atas gunung, sehingga hanya bisa ditempuh dengan seminggu berjalan kaki dari Wamena.
Akan tetapi bila menggunakan pesawat, perlu waktu satu jam dan 5 menit dari Sentani.
Dengan mata kepala sendiri, saya membuktikan perkataan Menteri Ignasius Jonan sekira 2 tahun silam, tentang betapa ekstrim letak bandar udara di seantero Papua, terutama di pedalaman dan kadang merupakan satu-satunya akses bagi penduduk setempat untuk terhubung dengan dunia luar.
Dari balik jendela, saya bisa melihat sebuah pesawat caravan milik maskapai penerbangan Missionary Aviation Fellowship yang ditumpangi rombongan pertama dari grup kami mendarat. Di sana, ada Aileen Hambali Riady, bersama sejumlah rekannya dari Komite Sekolah Pelita Harapan.
Aileen adalah istri dari pengusaha James Tjahaja Riady, sejak 6 tahun terakhir menaruh perhatian terhadap tinggi pendidikan di pedalaman Papua. Korupun, merupakan satu dari enam tempat di mana Aileen dan James, mendirikan Sekolah Lentera Harapan, gratis bagi warga setempat.
Pesawat Kodiak akhirnya mendarat, disambut puluhan siswa berseragam biru yang menyanyikan lagu rohani, dan ratusan warga setempat. Di Korupun, kami mengunjungi dan berdialog dengan para siswa, guru, dan perawat.
Selain Korupun, pasangan pengusaha yang mengendalikan Kelompok Usaha Lippo ini juga membuka sekolah di Danowage, (Kab. Boven Digul), Karubaga (Tolikara), Mamit (Tolikara), Nalca (Yahukimo), dan Daboto (Intan Jaya). Saat ini sekolah dasar Lentera Harapan memiliki 515 siswa dengan 51 tenaga guru tersebut di enam lokasi itu.
Dari Korupun, kami terbang kembali menuju Danowage, sebuah distrik kecil dengan penduduk asli Suku Korowai yang hidup nomaden. Kebetulan, saya satu pesawat dengan James, yang sejak dari Jakarta telah bercerita bahwa separuh waktunya, kini hanya mengurusi pendididikan dan kesehatan.
Hari kedua, setelah menginap di Sentani, kami kembali terbang mengunjungi Karubaga, Mamit, dan Mampir ke Nalca. Hari ketiga, saya pamit kembali ke Jakarta, James beserta rombongan mengunjungi Daboto, sebelum melanjutkan perjalanan ke Sorong sebagai hub untuk mengunjungi distrik terpencil lain di Papua Barat hingga akhir pekan ini.
Tak jauh dari sekolah pedalaman yang didirikan, selalu beroperasi Klinik Kesehatan Siloam dengan masing-masing dua orang perawat, dengan satu tenaga dokter yang berkeliling secara bergantian. Warga Danowage kini sedang cemas, karena di sekitar wilayah itu beroperasi 21 pertambangan emas ilegal yang mengundang ribuan pendatang.
Urusan bisnis Grup Lippo yang kini memiliki setidaknya 600 unit usaha diberbagai kota di Indonesia dan tujuh negara termasuk di Amerika Serikat, kini mulai diserahkan ke profesional dan generasi ketiga dari Mochtar Riady, pendiri konglomerasi tersebut.
James mengatakan merintis fasilitas pendidikan dan kesehatan di pedalaman adalah panggilannya kini. “Kami tidak mencari uang disini. Uang bisa dicari di Jakarta. Di pedalaman, Anda bisa merasakan betapa perlunya kita bergerak, terlalu banyak orang yang memerlukan uluran tangan.”
Itulah mengapa kini Lippo setidaknya memiliki 20 titik layanan pendidikan dan kesehatan gratis di pedalaman yang tersebar di Mentawai, Nias, Buton, Labuan Bajo hingga Papua. Membangun sekolah di sana juga tidak murah, karena ongkos logistik bisa mencapai 300% dari nilai bahan bangunan yang dibeli.
Seperti saat hendak membangun asrama guru di Mamit, yang dalam waktu dekat hendak mengembangkan jenjang pendidikan SMP, biaya menembus Rp4,1 juta permeter persegi, untuk sebuah bangunan sederhana dua lantai terbuat dari konstruksi baja ringan, triplek dan atap seng.
Hanya mendirikan sekolah tentu jauh dari cukup, karena di dalamnya perlu guru dengan semangat pengabdian tinggi. James menyebutnya, beban, yang dalam ajaran Kristen diyakini sebagai panggilan dan penggerak bagi seseorang melayani. Beberapa guru sampai menitikkan airmata ketika bercerita mengapa mereka mau bersusah payah mengajar di pedalaman.
Makanya, di setiap titik yang kami datangi, saya menyaksikan guru-guru muda penuh antusias dan semangat membara. Padahal, satu dari guru di Mamit pernah mengalami patah kaki setelah nekat lompat pagar menghindari kejaran orang tua siswa yang marah dan mengacungkan parang setelah menyaksikan anaknya menangis di sekolah.
Saat sekolah hendak didirikan di Nalca dua tahun silam, sejumlah guru didatangi anggota Organisasi Papua Merdeka, meminta bendera merah putih diturunkan, dan guru yang bukan orang aslli Papua pergi.
***
Singgah di berbagai pedalaman Papua sepanjang awal pekan ini, telah membuka mata saya tentang keterbelakangan dan penderitaan. Saya juga melihat sisi lain seorang James Riady, pengusaha yang saya kenal karena kerajaan bisnisnya.
Siapa yang tidak mengenal Kelompok Usaha Lippo, konglomerasi bisnis dengan begitu banyak kontroversi. Belakangan, salah satu sayap bisnis propertinya, tengah tersandung kasus hukum dalam pembangunan megaproyek Kota Meikarta, di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Namun, dalam empat hari perjalanan ke Papua bersama James dan Aileen, juga adik bungsunya Minny Riady, saya mengenal sosok pengusaha dari sisi berbeda. James bercerita, hidup bukanlah sekedar makan minum, bukan sekedar apa yang bisa kita raba dan lihat.
Dia juga mengaku bukanlah orang dengan perjalanan hidup lurus-lurus saja. Pernah mengalami depresi saat usia pernikahannya memasuki tahun kedelapan, Aileen justru meninggakannya bersama anak-anak dengan pergi ke Los Angeles, Amerika Serikat.
“Selesai kuliah saya kerja, sibuk. Tahun kedelapan [pernikahan] hidup saya berantakan. Anak benci sama saya, istri benci sama saya dan meninggalkan saya ke LA. Setelah 6 bulan saya depresi, kosong hati. Sampai saya tidak tahan lagi, suatu sore saya tutup pintu, dan bilang Tuhan, tolong saya,” kenang James, saat di Korupun, Senin (25/2).
James semula penganut Budha sebelum memilih menjadi seorang Kristen, memohon agar depresinya dicabut dan teringat semua dosa yang diperbuatnya sejak kecil. Disitu, dia ingat akan Tuhannya dan menemukan sebuah ‘titik balik’ dari kehidupan yang kacau balau.
“Pertamakali sadar bahwa bahwa Kristus yang mati dikayu salib untuk saya pribadi. Saat mati, nama saya ada dipikiran Dia. Setelah itu hati saya berubah penuh suka cita dan hari itu saya telepon Aileen untuk kembali. Satu persatu saya kembali ke anak saya, ke kakak saya,” kenang James.
Aileen, yang saya wawancarai dalam penerbangan dari Nalca menuju Sentani Selasa (26/2) membenarkan bahwa pernah mengalami ‘periode hidup yang kosong’ bersama suaminya. “Saya mengetahui ada yang salah, kami menikah tetapi tidak seperti berada dalam sebuah pernikahan. Saya pergi bersama anak-anak dan sempat memperlakukan mereka dengan kasar. Itu yang saya sesali kemudian.”
Sejak itulah pasangan ini berusaha memperbaiki hidup, memperbaiki tatatan keliru, dan melakukan banyak hal yang tidak semata-mata terkait uang dan bisnis. Karena bahagia, menurut Aileen, adalah sebuah reward karena kita melakukan hal yang benar.
James dan Aileen lalu mendirikan Yayasan Pelita Harapan yang bergerak pada bidang pendirikan. Saat ini, total ada 4 yayasan sebagai payung bagi kegiatan pendidikan taman kanak-kanak & sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, hingga perguruan tinggi.
Sekolah Pelita Harapan terkenal mahal karena harus membayar guru-guru asing dan membangun infrastruktur berkualitas tinggi. Dari masing masing sekolah itu, James dan Aileen memungut 10% pendapatan untuk kegiatan pendidikan di daerah pedalaman, membiayai sekolah gratis dari Mentawai hingga Papua.
James mengaku memerlukan setidaknya dana Rp1,5 trilun untuk membiayai seluruh operasional pendidikan dalam 4 yayasan setiap tahunnya, juga untuk sekolah-sekolah gratis. Sumber pembiayaan tentu dari uang sekolah, tetapi setiap tahun mengalami defisit sekitar Rp150 miliar.
“Ini tak jadi masalah, karena kami bisa menutupnya dari hasil usaha dari berbagai unit bisnis. Yang jelas, hati saya sekarang berada di sini [pedalaman], melayani dan menjadi mitra bagi anak-anak pedalaman,” tutur James.
Tadi malam (28/2) saya mengkonfirmasi betapa pentingnya aktivitas filantropis bagi James, melalui ayahnya Moctar Riady. Di depan para undangan perayaan 3 dekade Lippomalls, di Hotel Mulia, Jakarta, Mochtar menyebut harusnya yang berpidao adalah James. “Tapi dia memilih pergi ke pegunungan Papua mengurusi orang susah.”