Bisnis.com, JAKARTA - Sejak 2015, bisnis startup berbasis e-commerce berkembang pesat, sehingga menarik minat angel investor dan modal ventura untuk menanamkan modalnya. Kini angle investor semakin gesit memburu startup baru dengan konsep bisnis yang menarik.
Tren bisnis e-commerce yang naik daun, kini digantikan oleh financial technology atau yang sering disebut fintech. Skema fintech pun telah memikat angel investor, khususnya di fintech yang baru-baru lahir di Indonesia.
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute mengatakan bahwa pendanaan kepada startup fintech merupakan babak pertama, yang hampir usai. Babak tersebut kini segera ditinggalkan oleh para investor. Kalau pun ada biasanya investor akan memberikan dana bagi usaha atau startup yang bisnisnya sudah berjalan atau akan naik kelas menjadi unicorn atau decacorn.
Menurutnya, saat ini para investor masuk dalam investasi babak kedua yaitu dengan memberikan pendanaan kepada para startup yang mengembangkan usaha berbasis revolusi industri 4.0, seperti blockchain, internet of things (IoT), robotica, artificial intelligence, autonomous, dan lainnya
Heru mencontohkan bisnis berbasis IoT atau AI biasanya digunakan untuk memonitoring perkembangan perkebunan, peternakan, atau perikanan dengan teknologi yang ada secara jarak jauh.
Adapun bisnis blockchain bisa digunakan untuk men-trace data yang masuk tentang kehalalan sebuah produk, atau implementasi sertifikat rumah bisa dilihat pecahnya dimana sehingga jangan sampai double.
Baca Juga
“Startup yang mengembangkan usaha berbasis industri 4.0 prospeknya akan semakin baik dalam beberapa tahun ke depan, karena memang investor sekarang mengarah ke sana, teknologinya sudah lebih advance lagi dari yang tahap awal,” ujarnya.
Sebagai bisnis baru atau startup, tentu saja tidak semua usaha yang dijalankan berhasil sehingga risiko investor saat memberikan pendanaan sangat besar. Apalagi peluang kesuksesan bisnis startup biasanya sekitar 5 persen
Biasanya, para angle investor lebih senang memberikan pendanaan di tahap awal atau term sheet, dengan rata-rata investasi sebesar Rp2 miliar sampai Rp20 miliar, kalau pun ada yang paling besar sekitar Rp100 miliar.
Berbeda dengan modal ventura atau venture capital yang bisa memberikan kucuran dana hingga triliunan rupiah bahkan bisa menjadikan sebuah perusahaan menjadi unicorn atau decacorn.
“Meski banyak [startup] yang gagal tetapi angle investor tetap mau memberikan pendanaan karena mereka melihat prospek usahanya. Ketika mereka memasukan dana Rp20 miliar, lalu ada yang bisnisnya berhasil, maka ketika menjual sahamnya, mereka [investor] bisa mendapatkan keuntungan berlipat karena akan ada pembiayaan Seri A, Seri B dan seterusnya yang membuat valuasi bisnis tersebut melonjak,” terangnya.
Meski demikian, para angle investor lokal lebih berhati-hati dan berpikir lebih konvensional dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti berapa lama tingkat pengembalian, berapa besar keuntungannya bisa dibandingkan dengan bunga bank.
Berbeda dengan investor dari luar negeri yang lebih fokus pada potensi bisnis dan seberapa besar pangsa pasarnya, semakin besar potensinya maka akan semakin banyak uang yang berputar di dalamnya.
Menurutnya, saat ini jumlah angle investor sudah mulai berkurang karena mereka lebih dalam memilih startup yang memiliki potensi, karena pendanaan untuk para startup risikonya lebih besar tetapi keuntungannya akan sangat besar saat berhasil.