Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 masih menjadi topik utama pembicaraan di masyarakat. Tidak hanya di luar negeri, melainkan juga di dalam negeri.
Berdasarkan data www.worldometers.info/coronavirus/ hingga 15 April 2020, 01:24 GMT, jumlah kasus Covid-19 di dunia sudah mencapai 1.998.111. Dari jumlah itu, 126.604 meninggal, sedangkan 478.659 sembuh.
Di dalam negeri, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat jumlah kasus Covid-19 hingga 15 April 2020 pukul 12.00 WIB sebesar 5.136. Dari jumlah itu, 469 meninggal, sementara 446 sembuh.
Selain berdampak kepada sisi kesehatan masyarakat, Covid-19 juga berpengaruh terhadap perekonomian. Salah satunya terhadap usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Presiden Joko Widodo pun sudah menyelenggarakan rapat terbatas membahas "Program Mitigasi Dampak Covid-19 Terhadap UMKM" melalui video conference, Rabu (15/4/2020).
Lalu, bagaimana potret ketahanan UMKM saat ini? Apakah langkah demi langkah yang ditawarkan pemerintah mampu mendukung sektor tersebut?
Baca Juga
William Henley founder IndoSterling Group dalam tulisannya mengatakan UMKM merupakan salah satu sendi utama perekonomian Indonesia. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Ada berbagai indikator yang menunjukkan hal tersebut.
Sebagaimana dilaporkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, kontribusi UMKM (data terakhir 2017-2018) terhadap produk domestik bruto atas dasar harga konstan 2000 mencapai Rp 5.445 triliun atau setara 57,30 persen dari total PDB Rp 9.504 triliun.
Nilai itu didapat dari 62,9 juta pelaku UMKM yang terdiri dari usaha mikro 62,1 juta (98,7 persen), usaha kecil 757 ribu (1,20 persen), dan usaha menengah 58.000 (0,09 persen).
Jumlah tenaga kerja yang terlibat pun tidak sedikit, yaitu 116,4 juta dengan perincian 105,5 juta pelaku usaha mikro, 6,5 juta usaha kecil, dan 4,3 juta usaha menengah.
UMKM juga terbukti menjadi sektor yang tahan terhadap krisis ekonomi 1998. CIDES menilai ada tiga faktor yang membuat UMKM mampu mengarungi badai tersebut.
Pertama, UMKM menghasilkan barang konsumsi dan jasa yang dekat dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, UMKM memanfaatkan sumber daya lokal mulai dari SDM hingga bahan baku. Ketiga, UMKM tidak ditopang dana dari perbankan atau lembaga keuangan.
Setelah krisis ekonomi 1998, UMKM kembali menghadapi tantangan tahun ini dalam wujud pandemi Covid-19. Berbeda dengan krisis finansial, krisis kesehatan akibat virus corona mengakibatkan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Pemerintah melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah, mulai dari DKI Jakarta hingga Kota Pekanbaru di Provinsi Riau. PSBB juga membuat perusahaan (kecuali sektor-sektor yang dikecualikan) ditutup sementara dan menerapkan kerja dari rumah (work from home/WFH).
Kegiatan di pusat perbelanjaan pun dihentikan kecuali untuk sektor pangan. Pun di pasar tradisional yang dibatasi dengan pengawalan aparat berwenang. Semua faktor itu telah berdampak kepada UMKM di Indonesia.
Namun demikian, bukan UMKM bila tak mampu bersiasat melawan krisis. Berbeda dengan krisis ekonomi 1998, situasi sekarang memacu pelaku UMKM untuk memanfaatkan fasilitas yang disediakan dari sisi teknologi.
Produksi dan pemasaran tidak serta merta berhenti total mengingat sektor-sektor yang digeluti UMKM dikecualikan dalam PSBB. Maka tidak heran jika sekarang begitu marak ditemukan proses transaksi antara pembeli dan penjual secara online.
Pihak pemerintah, seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, juga memfasilitasi lewat aplikasi PD Pasar Jaya. PD Pasar Jaya membawahi seluruh pasar tradisional di ibu kota. Itu menjadi contoh riil penggunaan teknologi dalam pemasaran produk UMKM di masa sekarang.
Namun demikian, penulis menilai pemerintah tetap perlu memperhatikan agar protokol kesehatan tetap dipatuhi pelaku UMKM. Sebab, virus corona memiliki karakteristik tersendiri. Orang tanpa gejala atau OTG pun marak ditemukan positif Covid-19.
Selain itu, sosialisasi terhadap bahaya virus corona juga harus terus dilakukan. Ini mengingat masih banyak masyarakat, tidak terkecuali pelaku UMKM, yang belum memahami langkah-langkah pemerintah dalam mencegah penyebaran virus seperti phyisical distancing dan lain sebagainya.
Hal lain adalah pemerintah perlu mendorong agar perusahaan-perusahaan e-commerce aktif dan turun ke lapangan mengajak pelaku UMKM bergabung. Tujuannya tentu agar jangkauan pemasaran semakin luas, tidak terbatas di satu provinsi semata.
Pandemi Covid-19 juga membuat kreativitas pelaku UMKM terpancing. Di sejumlah daerah, banyak yang mulai memproduksi alat pelindung diri (APD). APD merupakan komponen utama dalam menangani pasien Covid-19 di puskesmas hingga rumah sakit.
Beberapa UMKM konveksi pun sudah mulai beralih memproduksi APD mengingat tingginya kebutuhan. Di titik ini peran pemerintah penting demi memastikan kualitas APD yang dihasilkan sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pemerintah juga dapat memberikan bantuan dana dan insentif kepada pelaku UMKM yang memproduksi APD maupun prasarana lain yang dibutuhkan dalam penanganan pasien Covid-19.
Terakhir, dari sisi pendanaan, pemerintah sudah berjanji mempercepat eksekusi program relaksasi UMKM yang mengalami kesulitan. Presiden bahkan meminta bantuan kepada UMKM berupa kredit, subsidi bunga, hingga penyaluran kredit modal kerja harus dilakukan secara komprehensif.
Kendati demikian, apabila pemerintah akan menerapkan kebijakan relaksasi pembayaran kredit dan KUR untuk UMKM, perlu dipastikan anggarannya memadai. Utamanya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas di perbankan dan modal kerja bank.
Jangan sampai perbankan terimbas negatif, bahkan harus merumahkan dan mem-PHK karyawan mereka. Sebuah dampak yang tidak diinginkan, apalagi di masa sulit seperti sekarang.