Bisnis.com, JAKARTA - Perjalanan Ignasius Jonan pernah menjadi orang nomor satu di PT Kereta Api Indonesia (Persero) tidaklah mulus. Dinilai berhasil mengubah wajah layanan perkeretaapian, Jonan ternyata pernah lempar handuk.
Jonan berbagi pengalamannya dalam acara kegiatan Leaders Day yang digelar Bisnis Indonesia secara virtual, Jumat (24/4/2020). Dia mulai duduk di kursi panas Dirut KAI pada 2009. Disebut kursi panas karena layanan perkeretaapian saat itu belum memuaskan seperti saat ini.
Sebagai bos, Jonan melihat salah satu masalah terbesar di dalam organisasi adalah sumber daya manusia. "Dari 24.000 karyawan, kurang dari 100 orang yang pendidikannya sarjana," ujar Jonan yang lahir di Singapura pada 1963.
Dia menjabarkan, sekitar 10.000 karyawan KAI lulusan Sekolah Dasar dan 7.000 lainnya lulusan Sekolah Menengah Pertama. Belum lagi, banyak kepentingan pribadi di kalangan pimpinan KAI.Dia menekankan, vested interest menjadi hal terlarang dalam kepemimpinan.
Jonan menggambarkan, dia pernah menemukan fakta, ada satu kepala stasiun memiliki 200 lapak yang beroperasi di area stasiun. Dengan setoran Rp100.00 per hari, oknum pegawai itu bisa mengantongi Rp20 juta sehari.
Menurut Jonan, fakta itu dia temukan saat melakukan penataan stasiun di Jabodetabek. Penataan itu menimbulkan penolakan, bahkan dari sekitar 30 kepala stasiun.
"Akhirnya saya pimpin sendiri. Saya harus memberi contoh, bahwa saya juga mau berkelahi [untuk menyelesaikan persoalan]. Pemimpin ya jangan nyuruh-nyuruh saja," tutur Jonan yang punya hari lahir sama dengan Presiden Joko Widodo, 21 Juni.
Namun, di balik kesuksesan Jonan melakukan transformasi perusahaan di KAI, Jonan mengaku hampir putus asa. Dia mengungkapkan, dirinya sudah melapor kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Sofyan Djalil.
Namun, Sofyan tak mengizinkan Jonan mundur begitu saja. Dia memberikan garansi atas kinerja Jonan di KAI. Sosok lain yang membuat dia urung mundur adalah istrinya, Ratnawati Jonan.
"Istri saya bilang, masa begini saja menyerah. Akhirnya saya maju terus sampai akhirnya selesai [di KAI]," tukasnya.
Untuk diketahui, kesuksesan Jonan memoles KAI bisa dilihat dari kinerja keuangannya. Pada 2008 KAI masih merugi Rp83,5 miliar. Setahun berselang, KAI meraih laba Rp154,8 miliar. Pada 2013, laba KAI mencapai Rp560,4 miliar dengan aset Rp15,2 triliun atau hampir tiga kali lipat dari posisi 2009.
Keberhasilan Jonan mengubah wajah KAI juga terlihat dari pelayanan yang terbilang memuaskan dan manusiawi. Ini bisa dilihat dari sistem ticketing yang mana membuat calo tidak lagi terang-terangan muncul di stasiun ; pembenahan gerbong mulai dari toilet hingga penyejuk udara.
Di masa kepemimpinan Jonan di KAI, arisan penderitaan pada masa angkutan lebaran terputus. Hal itu diungkapkan Dahlan Iskan dalam pengantar buku Jonan dan Evolusi Kereta Api Indonesia.
Dia menulis, pada 2012 di Stasiun Pasar Senen tidak ada orang-orang yang duduk lesu atau tiduran kelelahan di lantai stasiun. Tidak ada pemandangan wanita berdesakan memasuki pintu kereta.
Kemudian tidak ada teriakan histeris dari orang yang tergencet. Tidak ada tangis bayi yang memilukan. Tidak ada anak kecil yang dipaksakan masuk ke kereta api lewat celah jendela.
"Tidak ada keruwetan seperti yang dibayangkan semua orang. Tidak ada berita menarik untuk wartawan sama sekali. Tidak ada obyek foto yang pantas dimuat di halaman depan surat kabar. Tidak ada adegan dramatis yang layak masuk televisi," tulis Dahlan dalam pengantar buku karya Hadi M. Djuraid.