Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan pendidikan vokasi diharapkan dapat menciptakan tenaga kerja yang kompeten, sesuai dengan kebutuhan industri. Sayangnya, banyak lulusan yang belum memenuhi kebutuhan industri di Tanah Air.
Manajer Program Pengembangan Keterampilan Badan Perburuhan Internasional (International Labour Organiza on/ILO) Indonesia Tauvik Muhammad menilai, pelatihan dan pendidikan vokasi di Indonesia masih dibayangi persoalan ketidaksesuaian kompetensi lulusan dengan kebutuhan industri.
“Perkembangan penggunaan teknologi baru di industri, jauh lebih cepat dibandingkan dengan pemutakhiran teknologi di dunia pelatihan atau pendidikan vokasi. Di samping itu jumlah dan kualitas
instruktur yang ada,” ujarnya.
Oleh sebab itu, sambungnya, dalam upaya pengembangan, perlu dibangun kemitraan antara industri dengan lembaga pela han dan pendidikan
vokasi melalui sebuah forum. Di beberapa negara, forum itu dikenal dengan dewan keterampilan sektor atau sector skills council.
Selain itu, sambungnya, diperlukan juga layanan ketenagakerjaan publik yang bermitra dengan industri.
“Layanan ini akan mempertemukan permintaan dan penawaran tenaga kerja termasuk mengidentifikasi keterampilan vokasi apa yang dibutuhkan oleh pasar kerja atau industri,” ungkapnya.
Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah mendorong industri untuk dapat terlibat aktif melalui forum keterampilan sektor. Keterlibatan mereka dibutuhkan dalam penyusunan standar kompetensi, kurikulum pelatihan dan pendidikan vokasi, dan memfasilitasi pemagangan.
Jika diperlukan, tak menutup kemungkinan disiapkan dana pengembangan pelatihan dan pendidikan vokasi guna menjamin keberlanjutan upaya
tersebut.
Apalagi, pemerintah juga sudah memberikan insentif pajak melalui aturan baru super tax deduction sampai 200% bagi perusahaan yang terlibat dalam pelatihan dan pendidikan vokasi. Dengan demikian, perusahaan bisa berpar sipasi dalam pendidikan vokasi.
"Informasi terkait dengan insentif pajak. [Informasi] ini juga perlu disebarluaskan,” tuturnya.
Saat ini, menurut Tauvik, modal yang perlu disiapkan untuk mengantisipasi perubahan kebutuhan kompetensi tenaga kerja di masa depan adalah kemampuan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, kemampuan terkait dengan industri jasa dan kreatif.
Jarak Jauh
Soal belum meratanya pendidikan vokasi di Indonesia, Tauvik mengatakan, bisa disiasati dengan pembelajaran jarak jauh. Terlebih di tengah kondisi pandemi Covid-19, pembelajaran jarak jauh
bukan hal yang mustahil. Terbukti kegiatan belajar
mengajar bisa terselenggara secara jarak jauh.
“Jika dalam bentuk daring tentunya infrastruktur koneksi internet menjadi prasyarat. Tetapi pembelajaran jarak jauh [juga] bisa dalam bentuk luring, seperti lewat televisi,” tuturnya.
Untuk mengimplementasikan pembelajaran model ini, Taufik mengatakan, perlu ada semacam rumah produksi untuk menyusun dan memproduksi
materi ajar secara masif.
Selain itu, dibutuhkan juga panduan pedagogik khusus bagi instruktur, kerangka penilaian, dan sertifikasi khusus agar implementasi bisa berjalan dengan baik.
“Beberapa jenis pelatihan dan pendidikan vokasi seperti pengelasan misalnya memerlukan tempat untuk implementasi dan pengujian keterampilan praktik yang juga harus disiapkan,” tutupnya.
Sementara itu, Direktur Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Mahatmi
Parwitasari Saronto mengatakan, integrasi pembelajaran jarak jauh dibutuhkan untuk mewujudkan pemerataan pendidikan dan pelatihan vokasi di Indonesia.
Pertimbangan utamanya adalah kondisi geografis yang sangat luas dan beragam.
"Kita perlu belajar dari negara-negara lain dalam mengintegrasikan pembelajaran jarak jauh ke dalam sistem pela han dan pendidikan vokasi untuk mengatasi ke mpangan dalam mengakses program pengembangan keterampilan antara perkotaan dan perdesaan," ujarnya.
Menurut Mahatmi, Indonesia bisa belajar bagaimana proses pembelajaran jarak jauh yang selama ini diterapkan oleh Australia dan Filipina.
Selain lebih fleksibel dan terjangkau, sambungnya, pembelajaran jarak jauh juga memungkinkan pendidikan dan pelatihan vokasi bisa diakses dengan mudah oleh seluruh kalangan, tak terkecuali penyandang disabilitas.
Namun, Mahatmi tak menampik bahwa implementasi pembelajaran jarak jauh masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kapasitas guru atau instruktur, ketersediaan infrastruktur, dan rendahnya tingkat literasi digital masyarakat.
“Materi [juga] perlu disiapkan agar cukup satu materi tetapi bisa dengan mudah dipahami dan dipraktikkan secara langsung. Karena pembelajaran jarak jauh di Indonesia saat ini masih banyak yang memerlukan lebih dari satu materi dari sumber yang terpisah,” tuturnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai metode pembelajaran jarak jauh untuk pendidikan dan pelatihan vokasi dak menjadi persoalan bagi pelaku usaha asalkan didukung oleh lembaga yang kompeten dan kredibel.
“Mungkin ada hal-hal seper teori yang disampaikan secara jarak jauh untuk kemudian praktiknya tetap dilakukan di lapangan dengan tenaga pengajar atau pelatihnya.”
Kartu Prakerja
Berbicara mengenai pembelajaran jarak jauh, tentunya tidak bisa dilepaskan dari program Kartu Prakerja yang beberapa waktu lalu diluncurkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Program yang menyasar 5,6 juta peserta itu merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran di tengah pandemi Covid-19.
Setiap penerima Kartu Prakerja mendapatkan paket manfaat total senilai Rp3.550.000, yang terdiri dari bantuan biaya pelatihan sebesar Rp1.000.000 yang dapat dipergunakan untuk membeli satu atau lebih pelatihan yang ditawarkan oleh delapan platform digital. Saat ini, ada sekitar 2.000 pelatihan daring yang bekerjasama dengan 198 lembaga pelatihan.
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa jumlah dan variasi jenis maupun lembaga pelatihan bagi penerima Kartu Prakerja akan terus ditambah. Selain itu, setelah situasi kembali kondusif sangat mungkin akan ada pelatihan yang dilakukan lewat tatap muka secara langsung.
Pendaftaran Kartu Prakerja rencananya dibuka per pekan sampai dengan minggu keempat November 2020. Mereka yang berhasil mendaftar dapat langsung membeli pelatihan yang diinginkan dan melakukan pembayaran dilakukan menggunakan kode khusus.
“Untuk tahap pertama yang diumumkan 17 April 2020, setidaknya [sudah] bergabung 200.000 peserta,” ujar Airlangga.
Adapun sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa Kartu Prakerja akan diimplementasikan melalui balai latihan kerja (BLK) milik sejumlah kementerian/lembaga, BLK milik pemerintah daerah, lembaga pelatihan kerja (LPK) swasta, dan pusat pelatihan industri.
Berdasarkan data dari Kemnaker hingga akhir tahun lalu jumlah BLK yang ada di Tanah Air mencapai 303 BLK yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota. Sebanyak 19 BLK merupakan Unit Pelaksanaan Teknik Pusat (UPTP) sedangkan 284 BLK merupakan Unit Pelaksanaan Teknik Daerah (UPTD) milik pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Jumlah BLK tersebut apabila melihat jumlah kabupaten/kota dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia yang mencapai 548 kabupaten/kota jelas belum memadai. Idealnya, BLK masing-masing kabupaten/kota memiliki paling sedikit satu unit BLK.
Adapun dari segi kapasitas pelatihan BLK yang berjumlah 303 hanya mampu memberikan pelatihan kepada 275.000 peserta saja. Padahal jumlah penerima kartu prakerja yang akan diberikan pelatihan mencapai 2 juta orang dan belum ditambah oleh masyarakat umum diluar penerima kartu prakerja yang membutuhkan pelatihan kemampuan baru (re-skilling) atau peningkatan pelatihan (up-skilling).