Bisnis.com, JAKARTA - Bagi Anda yang hendak merintis bisnis pada 2021, tak ada salahnya melirik waralaba. Selain risiko yang minim lantaran tak perlu menyiapkan segalanya dari nol, bisnis ini menyediakan kebutuhan primer yang bakal terus dicari masyarakat.
Menurut Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi (Wali) Levita Supit omzet bisnis waralaba kembali meningkat pada semester II/2020 setelah sempat mengalami penurunan lebih dari 20 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada semester I/2020.
Namun dia belum bisa memberikan angka pas kenaikan omzet dari bisnis waralaba pada semester II/2020. Penyumbang terbesar kenaikan tersebut adalah bisnis makanan dan minuman, baik itu waralaba berskala kecil atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun berskala besar yang sebagian besar adalah penyewa tenant di pusat perbelanjaan.
“Semester II/2020 sudah kembali bergeliat, terutama untuk [waralaba] food and beverage. Respons masyarakat baik walaupun kapasitas untuk makan di tempat masih 50 persen untuk mematuhi protokol kesehatan dan jam operasional belum sepenuhnya normal,” tuturnya.
Selain itu, Levita mengama , minat masyarakat untuk membeli lisensi waralaba juga mulai terlihat kembali pada semester II/2020. Menurutnya, hal tersebut tak terlepas dari kesadaran masyarakat untuk dak menggantungkan diri pada satu jenis sumber pendapatan saja selama pandemi Covid-19 melanda Tanah Air.
“Banyak orang yang akhirnya mulai berbisnis dan memilih untuk menjadi franchisee [penerima waralaba]. Kebanyakan adalah food and beverage berskala kecil,” ungkapnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, Levita membagikan sejumlah tips yang perlu diperhatikan investor sebelum memutuskan untuk membeli lisensi waralaba. Menurutnya, hal terpen ng yang harus betul-betul diperha kan adalah rekam jejak bisnis waralaba tersebut. Pilihlah waralaba yang berpengalaman, setidaknya sudah 5 tahun beroperasi.
“Lihat histori bisnisnya, jangan [pilih] waralaba yang baru berdiri, pilihlah yang waralabanya sudah balik modal, punya pengalaman dan menguntungkan, minimal 5 tahun, karena pada tahun kedua biasanya baru balik modal dan untung pada tahun kelima,” paparnya.
Kemudian yang terakhir adalah pilihlah waralaba yang produknya direspons baik oleh masyarakat. Situasi dan kondisi ikut menjadi penentu apakah sebuah produk akan mendapatkan respons baik dari masyarakat.
“Pilih yang direspons baik [produknya] oleh masyarakat. Kalau seper saat ini contohnya, jangan pilih waralaba salon atau spa yang ada sentuhan fisik. Sebab situasinya sekarang dak mendukung untuk itu,” ujarnya.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pertumbuhan bisnis waralaba tetap akan tergantung pada segmennya. Bhima menyebut, waralaba segmen minimarket dan makanan minuman tetap akan mendominasi kinerja ke depannya.
Berdasarkan data Wali, makanan dan minuman menyumbang 35% dari total waralaba yang ada di Tanah Air.
“Seiring tumbuhnya daya beli masyarakat, saya kira yang akan tumbuh adalah waralaba minimarket. Terutama di daerah-daerah dan di luar Jawa akan nggi pengembangnya. "Untuk kafe dan restoran juga berpeluang, terutama berskala medium dengan model bisnis yang proven dan inovatif juga prospektif,” ujarnya.
Bhima menambahkan pemberian diskon lisensi dari franchisor (pemberi waralaba) ke franchisee (penerima waralaba) bisa menjadi salah satu strategi yang dilancarkan demi mendorong pertumbuhan bisnis waralaba di tengah masa pemulihan.
Di sisi lain, bisnis waralaba dinilai sangat bergantung pada upaya pemerintah dalam memulihkan ekonomi sektor riil di tengah pandemi Covid-19. Direktur Riset CORE (Center of Reform on Economics) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai pemulihan sektor ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pandemi Covid-19.
Oleh sebab itu, penanganan pandemi oleh pemerintah menjadi penentu apakah sektor tersebut dapat pulih pada 2021.
“Kuncinya itu [penanganan pandemi Covid-19], karena investasi di sektor riil dak akan datang apabila pandemi Covid-19 belum mereda dengan kondisi yang penuh ke dakpastian. Investor tentunya dak ingin ambil risiko,” ujarnya.
Lebih lanjut, Piter menyebut nyaris seluruh sektor usaha di Tanah Air saat ini mengalami keterpurukan. Apabila pandemi Covid-19 tak bisa diatasi sesegera mungkin, bukan hal yang aneh apabila satu per satu pelaku usaha akan gulung kar di 2021.
“Apindo [Asosiasi Pengusaha Indonesia] sebelumnya menyebut cashflow banyak perusahaan hanya bisa bertahan 6 bulan saja dengan kondisi pandemi Covid-19. Sekarang sudah berapa bulan? Jika berlanjut terus kondisi tersebut, akan seperti apa jadinya, bayangkan,” tuturnya.