Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SANG TAIPAN: Abigail Johnson, Pewaris Raksasa Keuangan AS

Abigail sendiri tercatat sebagai orang paling kaya ke-57 dunia. Meurut Bloomberg Billionaires Index, kekayaannya saat ini senilai US$27,2 miliar.
CEO Fidelity Investments Abigail Johnson / wealthmanagement.com
CEO Fidelity Investments Abigail Johnson / wealthmanagement.com

Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah industri jasa keuangan yang kurang ramah perempuan dan seringkali bias gender, Abigail Johnson hadir sebagai pucuk pimpinan sebuah perusahaan reksa dana terkemuka di Amerika Serikat.

Menerima estafet kepemimpinan dari ayahnya, Abigail merupakan CEO FMR, induk dari Fidelity Investment. Didirikan oleh kakeknya Edward C. Johnson II dan diubah menjadi raksasa oleh ayahnya, Edward C. Johnson III, Fidelity saat ini memiliki aset kelolaan lebih dari US$6,8 triliun, menjadikannya salah satu perusahaan jasa keuangan terbesar di AS.

FMR juga memegang aset keluarga Johnson termasuk kebih tomat di Maine dan sebagian dari pelabuhan Boston Selatan.

Abigail sendiri tercatat sebagai orang paling kaya ke-57 dunia, menurut Bloomberg Billionaires Index, Kamis (29/4/2021). Kekayaannya saat ini senilai US$27,2 miliar telah tumbuh 13,3 persen atau US$3,18 miliar sepanjang tahun ini.  Dengan itu dia juga tercatat sebagai salah satu perempuan terkaya dunia.

Butuh tiga generasi bagi Fidelity untuk mencapai puncak, tetapi prinsip yang dipegang tetap sama dan sederhana, yakni selalu bekerja keras, tetap rendah hati, dan jangan pernah mengoceh kepada orang luar, terutama pers.

Diwartakan Boston Magazine, meski menyandang predikat miliarder, Abigail di mata teman-temannya merupakan sosok yang tidak banyak bicara tetapi sangat cerdas. Setelah lebih dari 30 tahun bekerja di bawah bimbingan ayahnya di Fidelity, Johnson mengambil alih kemudi perusahaan pada 2014.

Dia mengurangi ketergantungan Fidelity pada reksa dana tradisional dan terbuka, sebuah konsep yang dianut oleh kakeknya pada 1946 dan dipopulerkan oleh ayahnya, dan perlahan-lahan tidak disukai oleh para investor.

Sebaliknya, dia menggandakan aliran pendapatan dari nasihat keuangan, layanan perantara, dan modal ventura. Dia juga telah meluncurkan produk baru yang secara khusus ditargetkan pada demografi terbesar di masa depan, yaitu kaum milenial yang membenci biaya tinggi dan baru saja mengembangkan minat untuk berinvestasi.

Berkat pasar yang melonjak, pada tahun pertama Abigail memimpin, Fidelity merealisasikan keuntungan lebih dari US$5 miliar untuk pertama kalinya dalam sejarah. Dia dengan cepat membangun warisan yang akan bertahan sampai dia menyerahkan kendali kepada pemimpin Fidelity berikutnya.

Abby, panggilan Abigail, pergi ke dua sekolah swasta ternama, Shady Hill School dan Buckingham Browne & Nichols, sebelum masuk ke Hobart dan William Smith Colleges, sebuah sekolah seni liberal kecil di bagian utara New York. Di sana dia belajar sejarah seni sambil menghabiskan musim panasnya magang di Fidelity.

Dia bekerja sebagai konsultan di Booz Allen Hamilton pada 1985 di New York, di mana calon suaminya, Christopher McKown, juga bekerja. Mereka menikah pada 1988, tahun yang sama ketika dia mendapatkan gelar MBA dari Harvard dan bergabung dengan perusahaan keluarga.

Namun, meski mewarisi perusahaan ayahnya, Abigail bukanlah seorang pemain saham alami. Dia menggantinya dengan kerja keras dan kecerdasan.

"Dia tidak ingin dianggap sebagai pewaris kekuasaan. Dia berlari mengunjungi 300 perusahaan seperti kita semua," kata mantan manajer dana Fidelity.

Terlepas dari komitmennya yang tiada henti untuk bekerja, Abigail berhasil menemukan waktu berkualitas untuk keluarga, sering kali berupaya pulang pada malam hari untuk membacakan cerita pengantar tidur untuk anak-anaknya.

Setelah beberapa tahun di Fidelity, dia mulai menaiki tangga menuju puncak. Dia menjadi manajer portofolio, posisi yang dia pegang selama hampir satu dekade, sebelum memegang sejumlah jabatan dalam perjalanannya mencapai puncak pimpinan Fidelity.

Dalam perjalanan itulah dia menyerap pengetahuan dari legenda industri seperti Peter Lynch dan James Curvey, belum lagi ayahnya dan belajar mengatur orang dan kepribadian. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper