Bisnis.com, JAKARTA - Komisaris PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) Adhika Andrayudha Bakrie alias Adhika Bakrie sempat jadi sorotan publik.
Hal itu, karena dia menghebohkan publik atas pembelian rumah super mewah di Beverly Hills, California, Amerika Serikat (AS) seharga US$28 miliar atau setara dengan Rp418,85 miliar pada 2021 lalu.
Di balik hebohnya berita itu, Adhika memanglah seorang konglomerat muda penerus perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. Meski, dirinya masih berusia 37 tahun. Namun, bukan berarti sosoknya minim pengalaman.
Justru, berkat kecermatan sekaligus sifatnya yang visioner, membuat prospek saham BUMI selalu diminati oleh banyak investor asing, mulai dari BlackRock, Vanguard hingga Dimensional Fund Advisors LP.
Apalagi, ketika dirinya melakukan ekspansi dan diversifikasi bersama sejumlah emiten milik Grup Bakrie, yaitu PT Bumi Minerals Resources Tbk. (BRMS) dan PT Bakrie & Brothers Tbk. (BNBR), tentu hal ini akan berpotensi memberikan pendapatan yang bisa menopang kinerja Bakrie Group pada 2023.
Baca Juga
Lantas, siapa sebenarnya sosok dari Adhika Andrayudha Bakrie sendiri? Berikut ulasan Bisnis selengkapnya.
Profil Adhika Andrayudha Bakrie
Adhika Andrayudha Bakrie lahir di Jakarta, pada 3 Mei 1984. Sebagai anak yang terlahir di lingkungan pengusaha, di mana sang Ayah adalah Nirwan Dermawan Bakrie alias cucu dari Achmad Bakrie sang pendiri Grup Bakrie, membuat dirinya punya minat besar untuk terjun dan mengikuti jejak anggota keluarga di bidang entrepreneur.
Supaya bisa meneruskan minatnya, alhasil dia menempuh pendidikan di Newbury College, Amerika Serikat dan lulus dengan gelar Bachelor of Science pada 2007.
Perjalanan Karier Adhika Andrayudha Bakrie
Sama seperti anak konglomerat lainnya yang tidak hanya berpangku tangan dengan mengandalkan kekayaan dan bisnis orang tuanya, Adhika pun tidak serta merta terjun ke bisnis keluarga. Usai menyelesaikan pendidikannya, saat itu dia memulai karier sebagai Investment Banking di Credit Suisse, New York.
Berbekal pengalaman yang ada, akhirnya Adhika bergabung dengan perusahaan milik keluarga. Sejak saat itulah, dia mulai ikut mengembangkan jaringan bisnis dengan menjabat sebagai Asisten Investor Relations di PT Bumi Resources Tbk sampai 2009.
Sederet posisi sempat Adhika rasakan, mulai dari menjabat sebagai Deputy CEO di PT Bumi Resources Mineral Tbk., sampai Direktur di PT Kaltim Prima Coal.
Sambil mempelajari bagaimana perusahaannya berjalan, Adhika kemudian kembali dipercaya untuk menduduki serangkaian posisi strategis di berbagai lini perusahaan Grup Bakrie.
Melansir dari situs perusahaan, saat ini Adhika menjabat sebagai Direktur di PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk., PT Arutmin Indonesia, PT Petromine Energy Trading, PT Bakrie Capital Indonesia, serta menjabat sebagai Komisaris di PT Bumi Resources Minerals Tbk.
Menjunjung Nilai Keluarga
Tentunya, dengan total 11 anggota keluarga yang akan diserahi tanggung jawab masing-masing usaha keluarga, membuat Adhika kini lebih bekerja keras melakukan diversifikasi dan ekspansi bisnis.
Generasi kedua keluarga Bakrie, Indra Usmanjah Bakrie turut menyampaikan nilai keluarga bahwa generasi ketiga harus tetap rukun dan bisa melampaui apa yang dikerjakan oleh generasi kedua.
“Kalau anak kita sama dengan kita, maka itu akan gagal. Maka, kalian harus lebih, ibaratnya kita punya 10, kalian harus punya 12 atau bahkan 14. Jangan berbangga kalau hanya bisa meneruskan generasi kedua” ungkap Indra.
Kini, untuk membuktikan nilai-nilai keluarga, di bawah pengawasan Adhika, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) berencana melakukan diversifikasi bisnis di luar batu bara, salah satunya perseroan akan masuk ke ekosistem kendaraan listrik.
Melansir dari Bisnis, nantinya melalui anak usaha Group Bakrie, PT VKTR Teknologi Mobilitas, nilai investasi Britishvolt, startup manufaktur dan pengembang teknologi baterai kendaraan listrik rendah karbon diproyeksikan mencapai US$2 miliar pada 2027
Perkembangan Bisnis Grup Bakrie
Mungkin, banyak yang belum mengetahui, bahwa Grup Bakrie bermula hanya dari dua bidang, yaitu perdagangan hasil bumi dan perdagangan mainan anak-anak pada masa Jepang.
Maka, dalam kesempatan yang terpisah, generasi kedua dari Keluarga Bakrie Aburizal Bakrie menceritakan awal mula perkembangan bisnis keluarganya.
Dirinya bercerita, ketika akhirnya Belanda memutuskan menyerah pada Jepang, mendiang Achmad Bakrie segera memutuskan untuk membeli perusahaan milik Belanda pada 1942.
“Pekerjaannya adalah membuat mebel dari besi-besi kecil dan kawat berduri [manufaktur],” jelasnya dilansir dari ’80 Tahun Bakrie Mengabdi untuk Negeri’, Jumat (27/1/2023).
Jadi Pelopor Kegiatan Ekspor di Indonesia
Aburizal sendiri memotret sang Ayah sebagai sosok pekerja keras yang juga jeli dalam melihat pelang. Dia menyampaikan bahwa Ayahnya saat itu adalah pedagang hasil bumi seperti lada dan kopi pertama di Indonesia yang tergabung dalam American Spice Trade Association (ASTA)
“Sebelum orang lain ekspor, dia telah menjadi pelopor bahkan masuk ke dalam anggota ASTA,” ungkapnya.
Singkat cerita, Ayahnya mulai merambah ke perdagangan pabrik pipa, telur hingga melakukan ekspansi ke bidang perkebunan, yang saat ini dikenal dengan sebutan PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk.
Dirinya menceritakan, saat sang Ayah meninggal sedikit terjadi gejolak antar saudara soal pandangan bisnis yang berbeda.
“Tahun 1974, saya mulai terjun di bisnis Ayah, yaitu penjualan dan mulai masuk 1974. Ketika, tahun 1988 saya berada di jenjang karier Direktur, saat itulah Ayah meninggal. Maka, saat itu terjadi perubahan, generasi kedua, merasa tidak cocok,” ungkapnya.
Melansir dari The Guardian, kala itu terdapat tiga pemain kunci, yakni Aburizal, Nirwan, dan Indra. Grup ini memiliki banyak keahlian berbeda, mulai dari outlet media dan asuransi jiwa hingga pertambangan, pertanian, konstruksi, perdagangan, dan pengembangan properti.
“Pada waktu itu, ada cara pandangan berbeda. Sehingga, akhirnya kita menutup beberapa usaha dan kita membuka satu pabrik pengecoran yang saat ini bernama Bakrie Autoparts kemudian setelah itu, barulah pada awal 1990-an masuk ke bidang pertambangan, hanya sebagai satu shareholder yang pasif,” jelas Aburizal.
Lalu, pada 2001 Grup Bakrie pun memutuskan membeli saham PT Arutmin Indonesia dari BHP Billiton seta PT Kaltim Prima Coal dari BP dan Rio Tinto. Adapun, hal ini didasari atas kegagalan Grup Bakrie yang berulang kali, mulai dari. 1948, 1971, lalu 1978 hingga 1998.
Sampai akhirnya, Grup Bakrie bangkit dan melakukan diversifikasi bisnis. Kini, perusahaan bergerak di banyak bidang, termasuk, Pertambangan, MIGAS, Properti, Infrastruktur, Media, dan Telekomunikasi.
Bakrie Group adalah salah satu grup bisnis terbesar di Indonesia, dengan 11 anak usahanya yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.