Bisnis.com, JAKARTA - Eksodus jutawan China diperkirakan akan berlanjut tahun ini, menurut laporan baru oleh Henley & Partners, dipicu melambatnya ekonomi dan pemerintah memperketat kontrol politik.
China diperkirakan akan kehilangan 13.500 orang kayanya yang eksodus tahun ini. Data ini, memperpanjang hilangnya jutawan dalam dekade terakhir, menurut Laporan Migrasi Kekayaan Pribadi Henley.
Tahun lalu angka jutawan yang eksodus dari China sebanyak 10.800 orang.
Sementara negara itu diperkirakan memiliki 823.800 jutawan, tren emigrasi dapat menyebabkan jutaan dolar dibawa oleh mereka yang pergi, yang dapat memperburuk perlambatan ekonomi China yang tajam.
Henley mendefinisikan individu dengan kekayaan bersih tinggi sebagai orang dengan kekayaan lebih dari US$1 juta yang dapat diinvestasikan.
Secara global, 122.000 orang kaya diperkirakan akan bermigrasi tahun ini, melampaui rekor tertinggi pada 2019, menurut Henley, yang memperoleh perkiraannya dari pertanyaan dan data selama enam bulan pertama tahun ini.
Baca Juga
Permintaan emigrasi dari klien Asia Timur meroket setelah pembatasan pandemi dihapuskan pada awal tahun ini, melebihi angka puncak 2019 sebesar 15%.
India menjadi negara kedua terbanyak yang orang kayanya akan eksodus tahun ini. Untuk tahun 2023 jumlah orang kaya yang akan eksodus dari India sebanyak 6.500, atau lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Ini karena bertambahnya jumlah orang kaya baru.
Diikuti oleh Inggris (3.200), Rusia (3.000) dan Brasil (1.200).
Sementara itu, laporan itu mengatakan Australia diperkirakan akan menarik arus masuk HNWI tertinggi pada tahun 2023, dengan 5.200 arus masuk jutawan.
Uni Emirat Arab turun ke posisi kedua menyusul gelombang masuk yang memecahkan rekor tahun sebelumnya, sementara Singapura berada di peringkat ketiga, dengan arus masuk bersih sebanyak 3.200 HNWI.
HNWI mengacu pada pemegang aset bersih yang pindah ke negara baru dan tinggal di sana selama lebih dari enam bulan, dengan aset yang dapat diinvestasikan bernilai lebih dari US$1 juta. Demikian dilansir dari Korea Herald.
Laporan tersebut menganalisis bahwa arus keluar ditafsirkan sebagai efek lanjutan dari "kemakmuran bersama", kebijakan China untuk campur tangan. secara fiskal untuk mendistribusikan kembali kekayaan, bersama dengan kebijakan negara "nol-COVID".