--Di Amarta, Nila Tatsaka bertugas mengawal Dewi Sri dari gangguan kawanan tikus. Dengan demikian Sang Dewi bisa leluasa menghadirkan kesuburan pada sawah rakyat--
Kita telah memasuki tahun ular air dalam penanggalan China. Ular air yang berwarna hitam, di kampung saya biasa disebut ulo sowo atau ular sawah. Hewan ini seperti umumnya ular, tidak disukai dan tidak diharapkan. Namun, bagi para petani, ular sawah adalah sahabat. Keduanya berkolaborasi untuk memburu dan menghalau tikus, musuh para petani.
Tikus senantiasa diidentikkan dengan koruptor. Maka layaklah kita berharap tahun ini adalah tahun perburuan para koruptor dan pemberantasan korupsi.
Kocap kacarita. Kerajaan Amarta diterjang pagebluk, hama ganas yang menyerang tanaman, dan wabah penyakit yang menyerang warga. Situasi ini berimbas pada perekonomian nasional. Larang sandang larang pangan, segalanya menjadi mahal karena barang-barang kebutuhan langka.
Bencana pun datang silih berganti. Banjir, gempa bumi, gunung meletus, angin ribut, tanah longsor, terus mendera tanpa jeda.
Dalam penerawangan pamong satria Pandawa,Semar Badranaya, bencana yang terjadi bertubi-tubi itu adalah sebuah anomali. Dari segi infrastruktur dan tatanan sosial Amarta tidak ada masalah.
Bahkan Amarta unggul beberapa langkah di depan dibanding negara-negara tetangga yang sudah lebih lama membangun seperti Hastina. Dari sisi ekonomi Amarta sudah sangat maju meninggalkan status negara berkembang. Amarta bahkan menjadi pusat pertumbuhan baru yang menggerakkan dan menentukan perekonomian kawasan sekitarnya.
Apa yang salah? Setelah tafakur membaca tanda-tanda zaman, Semar sampai pada kesimpulan bahwa bencana dan musibah terjadi karena Amarta sudah ditinggalkan Dewi Sri, dewi kesuburan dan kemakmuran.
Dewi Sri pergi karena kecewa menyaksikan perilaku segelintir elite birokrasi dan politisi Amarta. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, investasi asing yang terus membanjir, dan pinjaman negara donor yang terus mengalir, segelintir birokrat dan elite penguasa lupa diri. Mereka mabuk jabatan dan memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi menjadi budaya baru yang dipraktikkan terang-terangan setiap hari.
Para Pandawa yang tidak cakap mengelola birokrasi, mempercayakan sepenuhnya pengelolaan pemerintah kepada para birokrat. Kekuasaan politik pun didelegasikan kepada para politisi.
Sayangnya para elite birokrasi dan politisi itu adalah sosok-sosok yang mudah tergoda oleh rayuan harta, tahta, dan wanita. Maka ada kesenjangan yang sangat jauh antara perilaku para Pandawa dengan birokrat dan politisi yang menjalankan roda pemerintahan.
Di samping korup, kolutif, dan nepotis, para birokrat dan politisi itu juga bersekongkol mengeruk kekayaan alam Amarta dengan seenaknya. Akibatnya keseimbangan alam pun goyah.
Inilah yang membuat Dewi Sri tidak betah bersemayam di Amarta. Dan ketika dia memutuskan hengkang, yang tertinggal hanyalah pagebluk dan bencana. Sawah-sawah penduduk tak lagi menghasilkan padi karena selalu disapu banjir. Ketika banjir reda dan petani mulai bisa menanam lagi, giliran kawanan tikus yang menyerbu, merusak dan menghancurkan tanaman.
Tahun Berburu
Kepada Puntadewa dan para kesatria Pandawa Semar memberi saran, satu-satunya jalan untuk menenyelesaikan masalah adalah dengan mengembalikan Dewi Sri ke Amarta. Untuk itu Amarta harus mengerahkan segala daya guna menemukan keberadaan Dewi Sri dan memboyongnya kembali.
Bagi Semar tidak susah menemukan keberadaan Sang Dewi. Dengan mengetahui kerajaan mana yang mendadak menjadi subur dan makmur, setelah sebelumnya merana dan menderita, maka akan bisa ditebak di mana dia berada.
Dan kerajaan yang mengalami perubahan luar biasa drastis seperti itu adalah sebuah kerajaan kecil bernama Atas Angin., yang dipimpin raja raksasa Gembung Tanpa Sirah. Ia mempunyai seorang anak berwujud ular bernama Nila Tatsaka.
Belum pernah dalam sejarah Atas Angin panen padi begitu melimpah ruah. Negeri aman dan damai, jauh dari bencana dan musibah. Semua itu tidak lepas dari keberadaan Dewi Sri. Selama di kerajaan ini, Dewi Sri selalu meminta Nila Tatsaka berada di sisinya, sehingga dia bisa langsung memberikan instruksi apa yang harus dilakukan.
Inilah yang menyebabkan kawanan tikus di bawah komando tikus Jinanda tidak berkutik. Jika selama ini mereka leluasa bergerak merusak sawah penduduk dan menggerogoti lumbung-lumbung padi, maka kini praktis mereka harus lari atau bersembunyi. Sedikit saja mereka beraksi Nila Tatsaka langsung bertindak, mengusir dan bahkan memangsa mereka.
Amarta mengutus Raden Bambang Prabakusuma untuk menjemput Dewi Sri. Gembung Tanpa Sirah sadar bahwa ia tidak boleh memonopoli kesuburan dan rezeki. Apalagi keberadaan Dewi Sri di negerinya, meskipun terhitung singkat, telah mewariskan sebuah sistem perekonomian yang kokoh, pro-lingkungan, bersih, dan bebas KKN. Maka tidak ada alasan baginya untuk menahan Dewi Sri di Atas Angin.
Ia tidak keberatan Dewi Sri diboyong kembali ke Amarta. Tapi Dewi Sri sendiri mengajukan syarat, bersedia kembali ke Amarta asalkan disertai Gembung Tanpa Sirah dan Nila Tatsaka. Bambang Prabakusuma tidak keberatan dengan syarat itu.
Di Amarta, Nila Tatsaka bertugas mengawal Dewi Sri dari gangguan kawanan tikus di sawah. Dengan demikian Sang Dewi bisa leluasa menghadirkan kesuburan pada sawah-sawah rakyat. Ia juga siap memburu tikus-tikus yang membandel dan tak segan-segan memangsanya.
Adapun Gembung Tanpa Sirah berubah wujud menjadi lesung dan alu, yang mengamankan lumbung-lumbung padi dari pencurian. Baik oleh tikus sawah maupun tikus berdasi alias manusia.
Hadirnya tahun ular air di tengah gigihnya upaya KPK memberentas korupsi, menjadi perlambang inilah saatnya upaya tersebut makin digencarkan dan ditingkatkan. Inilah momentum untuk melepaskan ular sawah sebebas-bebasnya agar leluasa memburu tikus-tikus yang selama ini menggerogoti keuangan negara dan menyengsarakan rakyat.
Ditangkapnya seorang ketua partai besar dengan tuduhan korupsi di awal tahun ini, adalah babak awal dari aksi ular air memburu dan meringkus kawanan tikus. Saatnya kini para koruptor ketakutan, resah, gelisah, dan tidak nyaman hidupnya karena menjadi target perburuan. Ibarat kata seorang petinggi partai, mereka harus siap-siap dapat arisan dijemput KPK. Sumangga.
*Dalang dan CEO RMI Group