Bisnis.com, JAKARTA - Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Prinsip inilah yang dipegang oleh Christian Marpaung bersama kedua rekannya, Verra Issani serta Veni Issani, dalam memulai bisnis berjualan makanan dengan merek Top Burger.
Christian memiliki latar belakang sebagai akademisi yang baru saja menyelesaikan pendidikan pasca sarjananya di Universitas Indonesia, Veni merupakan mahasiswa tingkat akhir di IPB (Institut Pertanian bogor), dan Verra adalah seorang karyawati di Jakarta.
Ditemui Bisnis, Christian, pria berusia akhir 20-an dengan tampilan rapi, mengungkapkan, ide awal bisnis ini berasal dari penawaran seorang kenalan yang kebetulan merupakan franchisor produk tersebut.
Sejak lama, mereka bertiga memang punya rencana untuk menekuni dunia bisnis yang berpusat di Bogor. Mereka akhirnya tertarik dengan Top Burger, karena dinilai memiliki
sesuatu yang unik.
Keunikan atau kekhasan dari franchise ini adalah penggunaan bahan-bahan organik sebagai bahan dasarnya dan juga nonpengawet dan nonpewarna.
Bahan baku organik tidak hanya pada bahan dasar burger tetapi juga saos sambal, tomat, dan mayonais yang digunakan. Top burger bahkan juga telah mendapatkan lisensi dari Lembaga Organik Indonesia sebagai produk makanan cepat saji yang bahanbahannya telah melalui uji lab selama enam bulan untuk keabsahan organiknya.
Kedai pertama Top Burger di area Bogor milik Christian dan teman-temannya berlokasi di kompleks sekolah Regina Pacis, di mana banyak target konsumen seperti anak sekolah berlalu-lalang.
Mereka memulai usaha ini belum terlalulama, bahkan bisa dibilang sangat baru, yakni 6 Juni 2013, dengan membeli hak franchise Top Burger dari CV. Indosemesta Mandiri, yang berkedudukan di Tayu, Pati.
Modal awal berasal dari tabungan mereka bertiga senilai Rp5,5 juta, karena masih dapat promosi harga dari franchisor. Sekarang, untuk membeli hak franchise dari Top Burger diperlukan dana Rp6 juta.
Dengan dana senilai itu, mereka mendapatkan gerobak, peralatan masak, box burger, brosur promosi, daftar menu, sampai seragam karyawan. Mereka juga mendapatkan paket 100 burger pertama. Menu Roti yang ditawarkan ada lima warna yaitu ungu (bit burger), orange (carrot burger), hijau (green tea burger), coklat (choco Burger) dan original burger.
Perhitungan harga jualnya adalah roti (bun) Rp2.000, daging Rp3.000, boks Rp500, gaji pegawai Rp1.000, profit Rp2.000, ditambah biaya lain-lain, maka diperoleh angka Rp10.000 untuk tiap burger. Tiap bulannya, Christian dan rekan-rekannya berhasil menjual rata-rata 200 potong burger dengan mengantongi profit sekitar Rp1 juta untuk satu gerai.
Christian meyakini bahwa barang dagangannya akan mendapat sambutan positif dari konsumen di Bogor, meskipun burger bukanlah makanan yang dikenal. Alasannya, daging yang digunakan untuk burger ini memiliki rasa yang khas dan empuk.
”Daging merupakan salah satu pertimbangan utama konsumen untuk membel burger. Daging yang empuk dan enak bisa membuat mereka ketagihan, dan inilah yang saya temukan dalam produk Top Burger,” terangnya.
Daging yang digunakan untuk burger ini adalah daging ayam organik atau yang lebih akrab disebut ayam probio. Ayam jenis ini diternakan tanpa disuntik dan diberi pakan bahan-bahan organik. Tampilannya kurang lebih mirip ayam kampung.
Selain daging, dia melanjutkan, pertimbangan konsumen berikutnya adalah kualitas roti yang digunakan. Roti yang empuk dan tebal biasanya lebih disukai, sehingga mereka menggunakan tepung mocaf sebagai bahan dasarnya.
Lalu, pemilihan sayuran seperti selada, tomat, dan mentimun juga harus diperhatikan kesegarannya. Christian dan teman-temannya masih akan mendapatkan bimbingan dari pihak pemiliki franchise selama tiga tahun pertama, sampai setidaknya mereka mencapai titik impas atau BEP (break even point).
TIDAK MUDAH
Memulai bisnis dengan konsep franchise memang relatif tidak serumit usaha biasa. Ibaratnya dalam rentang angka 1 sampai 10, para franchisee dapat memulai bisnisnya di angka 6.
Utomo Njoto, konsultan senior waralaba dari FT Consulting, bahkan memperkirakan untuk jenis makanan dan minuman, keuntungan kotor yang bisa diraih pengusaha bisa mencapai 60%, asalkan mereka bisa menekan harga pokok produksi menjadi sekitar 40%.
Hal ini disebabkan para franchisee tadi tidak perlu memikirkan konsep, mencari supplier bahan baku, maupun brandingnya. Pemikiran ini yang mendasari ketiga orang tersebut memilih franchise sebagai usaha pertamanya.
Namun, di lapangan, kenyataannya tidak semudah itu karena banyak juga hal yang harus dipikirkan. Pilihan tempat yang disarankan oleh pemilik franchise seperti mal atau supermarket, misalnya, biaya sewanya terlalu mahal, bisa berkisar Rp5 juta-Rp10 juta.
”Buat pengusaha pemula seperti kami, biaya segitu masih sangat berat, apalagi kami masih memiliki tanggungan lainnya,” ujar Christian. Untungnya, mereka kemudian mendapatkan tempat berjualan dengan biaya yang tidak setinggi itu, yakni di depan gerbang kompleks sekolah elit Regina Pacis.
Di sana, mereka cuma harus membayar sekali sebesar Rp750.000 kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap lingkungan di sekitar area luar Regina Pacis, kemudian membayar uang keamanan Rp2.000 tiap hari ditambah biaya penyimpanan gerobak Rp50.000 per bulan.
Masalah promosi juga menjadi perhatian tersendiri baginya dan kawan-kawan, terutama karena Top Burger belum cukup awam dikenal masyarakat. Mereka harus bekerja keras untuk menyebarkan brosurbrosur saat awal pembukaan.
Lagipula, harga yang mereka tetapkan yakni mulai Rp10.000-12.000 relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga burger dari penjual lainnya di Bogor yang Cuma berkisar Rp5.000-Rp8.000.
”Burger organik belum banyak dikenal oleh orang Bogor, jadi kami harus terus mempromosikan makan burger sehat dengan bahan-bahan organik yang digunakan Top Burger,” jelas Christian.
Maka dari itu, mereka juga menggunakan pola pemasaran lewat jalur yang lebih personal, yakni fasilitas broadcast message di Blackberry Messenger, dan promosi dari mulut ke mulut.