Bisnis.com, JAKARTA - Saat ini Indonesia membutuhkan formulasi tata kelola yang baik (good governance) yang berwawasan lokal, mengingat kondisi birokrasi pemerintahan Indonesia yang masih tumpang tindih.
Dosen Manajemen Universitas Sam Ratulangi Manado Frederik Gerard Worang menilai konsep tata kelola yang baik saat ini belum terimplementasi di Indonesia terutama di perusahaan BUMN.
Hal tersebut berdasarkan penelitian dalam tesis doktoralnya yang berjudul Qualitative Analysis of Corporate Governance in Indonesian State Owned Enterprises: An Internal Stakeholders Perspective.
Mahasiswa Murdoch University tersebut melihat konsep good governance Indonesia saat ini masih terpengaruh dari konsep luar, padahal tidak semua poin yang disusun tersebut pas untuk diimplementasikan di Indonesia. Frederik mencontohkan adanya penambahan posisi Independent Director yang dirasa tidak efektif karena seharusnya jajaran direksi sudah independen.
"Konsepnya hanya sekadar copy paste, jadi tidak seluruhnya cocok," ujarnya saat diskusi bersama jajaran redaksi Bisnis, Senin (29/7/2013).
Saat ini Indonesia memerlukan good governance yang benar-benar diramu berdasarkan kearifan lokal yang dapat diimplementasikan dengan tepat tanpa banyak mengadopsi teori-teori dari asing, karena teori dari luar negeri bersifat naif dan tidak menghiraukan pengaruh sejarah dan budaya Indonesia.
Dalam formulasi good governance yang diterapkan saat ini, masih banyak terpengaruh oleh intervensi internasional, faktor internal dan faktor eksternal yang tidak semuanya membawa dampak baik. Apalagi pengaruh presiden Indonesia yang menanamkan budaya Jawa dan militerisme pada pemerintahan. “Budaya Jawa sebenarnya baik, tapi tidak untuk dibawa ke ranah profesional,” imbuhnya.
Frederik mencontohkan budaya ewuh pekewuh dan ‘asal bapak senang’ menyebabkan tidak adanya perbedaan pendapat saat penentuan keputusan dan kebijakan, hal tersebut dapat memicu tidak adanya akuntabilitas. Budaya tersebut tidak hanya mengakar pada dunia profesional di Jawa, tetapi terbawa ke seluruh daerah di Indonesia.
Sementara itu, fenomena terkini budaya birokrasi di Indonesia masih diwarnai dengan unsur nepotisme, atau pemilihan jajaran pemimpin berdasarkan unsur kedekatan.
Meskipun hal tersebut dapat mendorong efektifitas manajemen karena orang-orang yang terpercaya, tetapi konsep tersebut dapat menutup kesempatan orang lain yang memiliki potensi sama-sama baik.
“Sekarang harus dikawal bagaimana hasil dari efektifitas manajemen dengan konsep rekrutmen pegawai seperti itu,” jelasnya.
Sebagai salah satu gambaran good governance yang baik, menurut Frederik, seharusnya presiden dan DPR sama sekali tidak ikut campur terhadap manajemen BUMN.
Selain itu penerapan perlindungan bagi para whistleblower juga sangat penting agar orang-orang yang memiliki informasi untuk perbaikan pemerintahan Indonesia tidak diintervensi pihak lain.