Bisnis.com, SINGAPURA - Memang banyak pembicara dalam Networkin Asean Forum 2103 yang digelar di Singapura Jumat (23/8/2013) pekan lalu. Namun yang cukup menarik perhatian adalah Dato' Anthony Francis Fernandes yang ngetop dengan Tony Fernandes, pendiri dan CEO AirAsia Group. Selain penampilannya yang santai, bicaranya juga ceplas ceplos dan sering mengundang tawa peserta seminar.
Ketika para eksekutif lain mengenakan jas lengkap yang keren dan dasi, Tony justru membiarkan kancing kemejanya terbuka. Begitu pun ketika berbincang dengan Bisnis, ia sering bercanda dan tertawa terbahak-bahak. Inilah hasil perbincangan itu dan sebagian disarikan dari seminar yang digelar oleh CARI (CIMB, Asean Risearch Institute) dan Asian Business Club:
Ketika mata dunia tertuju pada China dan India, Tony Fernandes justru melirik negara-negara Asean untuk mengembangkan bisnisnya. Dia percaya kawasan Asia Tenggara bisa menjadi kekuatan ekonomi baru dunia.
Tony menilai jumlah penduduk Asean yang mencapai 600 juta jiwa adalah pasar yang sangat potensial bagi AirAsia, maskapai miliknya. Bagi Tony, negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki beragam daya tarik pariwisata yang tentunya merupakan nilai jual dari bisnis maskapai.
AirAsia memulai operasionalnya di Kuala Lumpur, Malaysia, dan berangkat dari visi menyatukan Asean maka maskapai berbiaya hemat (low cost carrier/LCC). Maskapai ini meluncurkan penerbangan ke kota-kota di seluruh Asean.
Tony berpendapat konektivitas intra Asean perlu dibangun guna menggairahkan ekonomi maupun pariwisata di kawasan ini. Dari sini, AirAsia kemudian terus berekspansi dengan membuka rute penerbangan yang sebelumnya tidak pernah dioperasikan oleh kompetitor.
AirAsia merupakan maskapai pertama yang melayani penerbangan dari Kuala Lumpur ke Bandung, Indonesia. Awalnya, banyak yang pesimistis dengan strategi AirAsia ini, namun Tony mampu mematahkan keraguan banyak orang. Alih-alih menutup rute, AirAsia justru menambah frekuensi penerbangan Bandung – Kuala Lumpur dari sekali sehari menjadi empat kali. Tidak berhenti di situ, AirAsia kemudian menghubungkan Bandung dengan Singapura.
AirAsia kini merupakan satu-satunya maskapai yang menghubungkan seluruh Ibu Kota di Asia Tenggara melalui Kuala Lumpur.
MIMPI BESAR
Setelah berhasil menghubungan Asean melalui AirAsia, Tony kini memiliki visi yang lebih besar yakni menjadikan Asean sebagai satu kesatuan.
Mimpi besar ini tentu tidak luput dari berbagai tantangan, antara lain infrastruktur yang kurang memadai, terbatasnya sumber daya manusia, dan juga kebijakan yang beragam dari masing-masing pemerintah negara-negara di Asean. Harus diakui, sejumlah tantangan ini menjadikan operasional maskapai menjadi tidak efisien.
Pria kelahiran 30 April 1964 di Kuala Lumpur, ini menilai negara di Asia Tenggara sebagai pasar yang paling potensial adalah Indonesia, mengingat hampir setengah dari populasi di kawasan ini berasal dari Indonesia.
Pasar penerbangan di Indonesia pun terus tumbuh secara signifikan, dimana saat ini 53% dari pasar penerbangan negara itu dilayani oleh maskapai
low-cost.
Jebolan London School of Economics, Universitas London, ini berpendapat bahwa pertumbuhan ini tidak didukung dengan pengembangan bandara dan peningkatan kualitas infrastruktur. Padatnya lalu lintas di bandara, khususnya di kota-kota besar, menjadi tantangan terbesar saat ini.
Faktanya, keterbatasan infrastruktur ini pada akhirnya menghambat laju pertumbuhan industri penerbangan dan juga ekonomi nasional.
Untuk itu, dibukanya pintu bagi perusahaan swasta untuk membangun bandara sangat diperlukan di samping juga menjadikan bandara yang sudah ada sebagai bandara alternatif.
MENCONTOH THAILAND
Indonesia bisa mencontoh Thailand, di mana Bangkok memiliki dua bandara. Malaysia juga akan mengoperasikan KLIA 2 selain KLIA 1. Sebetulnya, Jakarta memiliki Bandara Halim Perdana Kusuma yang juga bisa dikembangkan sebagai pendamping Bandara Soekarno-Hatta. Melihat tren yang ada saat ini, di mana maskapai low-cost terus berkembang, ada baiknya kota-kota besar di Indonesia memiliki bandara khusus untuk LCC seperti halnya Singapura dan Kuala Lumpur. Terminal LCC tidak memerlukan fasilitas seperti terminal pada umumnya, seperti misalnya garbarata dan travelator.
Hal ini membuat biaya operasional terminal lebih kecil, sehingga maskapai juga dapat menghemat tarif sewa terminal dan jasa bandara udara lainnya. Dampaknya, maskapai LCC pun bisa menyediakan tarif yang lebih hemat dan penumpang membayar lebih sedikit untuk pajak bandara.
Tantangan lainnya bagi AirAsia yaitu terbatasnya sumber daya manusia (SDM) untuk industri penerbangan. Menurut Tony, salah satu cara mengatasi terbatasnya SDM adalah dengan menyeragamkan lisensi pilot, teknisi dan awak kabin di Asean (common licensing) sehingga warga negara Asean bebas berkarya di negara Asean manapun. Kebutuhan akan SDM harusnya ditangani berdasarkan kepentingan regional dan bukan lagi nasional.
Lebih jauh ke depan, Asean sebaiknya membentuk badan regulator sendiri untuk menangani masalah-masalah teknis. Regulator tersebut bisa berperan untuk membuat satu standar pada sistem Air Traffic Management, keamanan, keselamatan dan hal-hal teknis lainnya yang memenuhi standar ICAO. Sebagai langkah awal, standar tersebut tidak harus seragam tapi cukup untuk melaksanakan kerja sama antarnegara Asean.
Jika ini bisa dicapai, niscaya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang tenggatnya pada 31 Desember 2015, bisa berjalan mulusi. Paling tidak dari sudut pandangan industri penerbangan.