--- Saat ini bentuk bisnis yang mengedepankan shared values merupakan bentuk bisnis yang etis karena tetap mengedepankan kepentingan shareholder, tetapi tidak dilakukan secara tamak--
Bisnis.com, JAKARTA - Dalam sebuah sesi perkuliahan di kampus, saya mengajukan pertanyaan hipotetis seputar praktek etika berbisnis kepada mahasiswa.
Pertanyaannya seperti ini: Anda bekerja pada sebuah perusahaan sebagai staf pengadaan dan tengah melakukan proses pengadaan barang dan/atau jasa dari tiga vendor yang mengajukan proposalnya.
Masing-masing vendor memiliki kualifikasi barang dan harga yang berbeda-beda. Vendor A memiliki kualitas barang yang terbaik dengan harga yang termahal. Vendor B memiliki kualitas tingkat kedua dan dengan harga setengah dari vendor A. Terakhir, Vendor C memiliki kualitas tingkat ketiga dengan harga sepertiga dari vendor A.
Untuk memuluskan proses pengadaan, vendor A menawarkan kick-back - uang pelicin- kepada Anda sebesar X. Tak mau kalah, vendor B menawarkan kick-back sebesar 2 kali X. Mengetahui hal ini, vendor C berani menawarkan kick-back sebesar 3 kali X. Vendor mana yang akan Anda pilih?
Sebagian besar mahasiswa berpikir untuk mencari alasan atas jawaban yang dipilihnya. Beberapa berwajah cemas, entah karena apa. Mungkin karena pernah menghadapi kondisi yang serupa.
Akhirnya, beberapa mulai membuka suara. Pada umumnya yang dipilih adalah vendor A, karena mereka beranggapan bahwa pilihan mereka tidak merugikan perusahaan (barang yang dipilih adalah kualitas yang terbaik).
Beberapa mahasiswa memilih vendor B, karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut adalah pililhan yang menguntungkan secara optimal untuk perusahaan dan dirinya.
Hampir semua tidak mempermasalahkan kick-back karena hal tersebut dianggap sebagai common practice di dalam bisnis di Indonesia. "Kick-back tetap diambil, tidak ada yang dirugikan", ujar seorang mahasiswa. "Semua juga melakukan hal ini", yang lain menimpali.
"Kami bukan pejabat pemerintah yang disumpah untuk tidak menerima gratifikasi, jadi tidak apa-apa menerima hal seperti ini", mahasiswa lain menimpali. "Lumayan untuk beli tas", ujar seorang mahasiswi yang disambut riuh tawa sekelas.
Lalu, ada seorang mahasiswa - seorang auditor - yang tiba-tiba menyela, "Kick-back tersebut kan seharusnya bisa dijadikan diskon untuk harga barang yang dibeli. Jadi dalam hal ini perusahaan dirugikan, dan yang bersangkutan seharusnya dipecat karena merugikan perusahaan". Lalu kelas menjadi hening.
REKONSILISASI
Ilustrasi ini menunjukkan bahwa sesungguhnya ada permasalahan yang cukup mendasar mengenai pemahaman masyarakat seputar apa yang dianggap etis maupun tidak di dalam praktek berbisnis sehari-hari.
Permasalahan ini sebetulnya mengakar pada pertentangan dari hakikat dari tujuan perusahaan (mengejar profit) dan prinsip dasar dari etika itu sendiri (harm reduction). Yang menjadi permasalahan, pertentangan ini dibiarkan dan masyarakat seakan-akan hidup di dalam dualitas tersebut.
Hal itu belum menyebut kompas moral yang saling tumpang tindih di dalam masyarakat kita: agama, budaya, etnis, dan lain sebagainya. Di tengah belantara rambu yang demikian, hanya satu yang akan unggul: hukum rimba; setiap orang akan berlomba-lomba untuk mengedepankan dan mementingkan apa yang menjadi kebutuhannya semata.
Ilustrasi di atas sebetulnya menggambarkan hal yang demikian; bahwa kepentingan sesaat lebih unggul dan manusia Indonesia tidak ingin mengorbankan kepentingan pribadinya demi orang lain.
Oleh karena itu, rekonsiliasi antara tujuan perusahaan dan prinsip etika perlu dilakukan dan dipahami oleh banyak pihak, terutama pelaku bisnis itu sendiri. Pada dasarnya, tujuan didirikannya perusahaan adalah untuk memenuhi kepentingan pemilik saham.
Pemilik saham (shareholders) memiliki harapan agar investasinya dapat memiliki nilai yang berlipat. Oleh karena itu, tugas para manajer dan karyawan perusahaan untuk memastikan hal ini terjadi.
Di sisi lain, etika pada dasarnya adalah sebuah prinsip untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang diperbolehkan untuk mencelakakan (harm) pihak lain. Dalam konteks bisnis, ini berarti tidak boleh ada pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung (stakeholder) yang dicelakai oleh aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan.
Rekonsiliasi kedua prinsip yang nampak bertentangan ini bisa dijembatani oleh prinsip-prinsip fairness. Sesuatu akan fair jika seseorang mendapatkan bagian sesuai dengan apa yang menjadi hak dan memberikan apa yang menjadi kewajibannya.
Oleh karena itu, dalam bingkai fairness seharusnya tidak boleh ada greed atau ketamakan pemilik saham yang terakomodasi oleh sebuah perusahaan. Tamak, yang sering dimanifestasikan dengan akumulasi kekayaan sebanyak-banyaknya dan dengan berbagai cara, merupakan sesuatu yang tidak fair untuk para pemangku kepentingan.
Saat ini bentuk bisnis yang mengedepankan shared values (lihat, misalnya Porter dan Kramer, 2011) merupakan bentuk bisnis yang etis - karena tetap mengedepankan kepentingan shareholder, tetapi tidak dilakukan secara tamak dan memperhatikan kepentingan stakeholders.
Begitupula, dalam kerangka moral individu, prinsip fairness juga seharusnya dapat menghalau greed - ketamakan yang diilustrasikan di dalam contoh di atas. Celakanya, kata fair itu sendiri rancu jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fair diterjemahkan sebagai adil. Ini cukup membingungkan karena just juga berarti adil. Bisnis mungkin tidak bisa adil (memberikan hal yang sama kepada semua orang) - begitupula manusia, kita mungkin tidak bisa berlaku adil - tetapi kita bisa bersikap fair kepada para pemangku kepentingan.
INDIVIDU
Pemahaman ini seharusnya bisa membantu memberikan panduan kepada setiap individu yang berkecimpung di dunia bisnis dan memberikan kompas moral yang bisa menjustifikasi tindakan yang dilakukannya.
Alih-alih sekadar berpikir pendek dan mementingkan kepentingan sesaat (untuk berbuat curang), kedepankan lah prinsip-prinsip fairness yang dapat menjembatani kepentingan bisnis (atau pribadi) dengan prinsip-prinsip etika (harm reduction) yang sesaat terlihat mengawang-awang dan sulit untuk dibumikan.
Dengan berpegang pada fairness dan dengan mengubah cara pandang seseorang di dalam melakukan bisnis (tidak mengejar greed), maka tidak perlu terjadi kerusakan yang dilakukan oleh perusahaan. Semua bisa berkembang bersama dan dapat memberikan yang terbaik untuk manusia dan lingkungan.
Tidak sulit. Semua berawal dari bagaimana cara kita melihat permasalahan yang kita hadapi.