Setidaknya ada tiga tantangan presiden terpilih Joko Widodo setelah menerima estafet kepemimpinan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tantangan tersebut yaitu memilih para pembantu yang kredibel dan bisa diterima masyarakat untuk duduk di kabinet, mencari tambahan dukungan parpol di parlemen, dan merealisasikan janji-janji kampanye.
Namun, sebelum mewujudkan semua itu, Jokowi sudah harus berhadapan dengan ujian yang tidak sederhana. Pertama, kenaikan harga bahan bakar minyak. Kedua, rencana Koalisi Merah Putih mengembalikan pemilihan kepala daerah ke dewan perwakilan rakyat daerah.
Dua ujian itu akan menandai langkah Jokowi menciptakan first impression dalam kepemimpinannya. Di luar itu, Jokowi dituntut mencermati tren pertumbuhan ekonomi nasional yang terus melorot dari 6,3% pada tahun 2010-2012, menjadi 5,8% pada 2013. Tahun depan diprediksi masih akan turun hingga ke posisi 5,2% seperti perkiraan Bank Indonesia.
Semua adalah wake up call bagi duet Jokowi-JK. Sebab para investor yang sempat menyambut suka cita kemenangan pasangan itu, kini wait and see. Mereka menunggu seperti apa respons dan aksi Jokowi-JK menghadapi potensi kerawanan yang ada di depan mata.
Kerumitan seperti itu pula yang dihadapi Puntadewa, ketika harus membangun pemerintahan baru setelah Hastina dikangkangi oleh Duryudana dan klan Kurawa.
Kocap kacarita. Kebakaran hebat Bale Sigala-gala yang direkayasa Sengkuni diyakini telah membunuh lima bersaudara Pandawa beserta Ibu Kunti. Abu lima jasad pria dan satu jasad perempuan memperkuat keyakinan itu. Atas dasar itu Resi Bisma dan para sesepuh Hastina sepakat menetapkan Duryudana sebagai Raja Hastina.
Tiga bulan berselang Kunti disertai Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa muncul ke tengah publik Hastina. Seantero kerajaan pun geger. Pandawa ternyata masih hidup dan segar bugar. Rakyat tahu bahwa Puntadewa lah yang sejatinya berhak atas tahta. Maka kemunculannya disambut gembira dan dielu-elukan masyarakat.
Para pinisepuh Hastina tidak hanya kaget, tapi juga bingung menyikapi kemunculan tiba-tiba itu. Mereka sadar telah membuat kesalahan besar. Namun, status raja Duryudana tidak mungkin dibatalkan. Apa kata dunia para tokoh besar itu ternyata menjilat ludah sendiri.
Namun di sisi lain mereka sadar sepenuhnya bahwa Puntadewa adalah pewaris tahta yang sah. Tidak ada keraguan tentang itu. Para sesepuh pun dihadapkan pada jalan buntu. Memaksakan Duryudana tetap duduk di tahta hanya akan melahirkan pemerintahan tanpa legitimasi. Pemerintah tidak akan bisa efektif karena tidak didukung oleh rakyat.
Meski demikian, melengserkan Duryudana juga bukan pilihan bijak karena akan mempermalukan para pinisepuh. Klan Kurawa pun sudah mengancam akan membuat kerusuhan besar jika alternatif itu ditempuh.
Di tengah kebuntuan itu terlontar wacana untuk membagi Hastina menjadi dua wilayah yang sama luas. Kurawa berbagi kekuasaan dengan Pandawa.
Destarastra, bapak para Kurawa dan paman para Pandawa, ditugaskan untuk menyampaikan rencana itu. Dengan lembut dia minta Puntadewa menerima, demi kepentingan lebih besar.
Nama Puntadewa berarti derajat keluhurannya setara dengan para dewa. Ia juga bernama Yudistira yang memiliki arti mampu memerangi nafsu pribadi. Bergelar Samiaji yang bermakna mau mendengar dan menghormati pendapat orang lain.
Menghadapi tawaran dari orang yang dituakan dan dihormati, ia mengajak Kunti dan keempat saudaranya untuk bermusyawarah. Ia menginginkan Pandawa kompak dan satu kata.
Kunti menolak. Baginya ide itu adalah bagian permufakatan jahat untuk merampas hak anak-anaknya. Dia tidak rela anak-anaknya berbagi kekuasaan dengan pihak yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa, termasuk merancang pembunuhan di Bale Sigala-gala.
Werkudara, Arjuna, si kembar Nakula-Sadewa pun mengutarakan pendapat dan pandangannya. Akhirnya Puntadewa mengambil jalan bersejarah, menolak kompromi dengan para Kurawa. Ia memilih membangun wilayah sendiri di hutan Wanamarta.
Puntadewa mengingatkan keputusan besar itu akan menghadapi banyak tantangan dan kendala. Cut off total dari pemerintahan Hastina bisa membawa berbagai konsekwensi yang tidak diharapkan. Apalagi bukan perkara mudah babat alas Wanamarta, hutan amat lebat dan kesohor dengan keangkerannya. Ada penguasa sakti yang tak kasat mata, yang tidak akan membiarkan siapa pun mengobok-obok wilayahnya.
Rakyat yang semula mendukung Pandawa pun meragukan keputusan berani. Belum ada cerita manusia selamat masuk Wanamarta, apalagi membabat dan mengubahnya menjadi permukiman. Sebagian rakyat pesimis, sebagian lainnya wait and see.
Puntadewa menyadari itu. Maka ia mengajak keempat saudaranya membulatkan tekad untuk bekerja keras, sekaligus kompak dan efektif. Dengan bekal itu para kesatria Pandawa mampu mengatasi segala bentuk tantangan dan rintangan, hingga akhirnya berhasil mendirikan Kerajaan Amarta.
Rakyat pun berbondong-bondong menyatakan dukungan. Bekal kompak dan efektif itu terus dipertahankan Puntadewa dalam menjalankan roda pemerintahan. Hasilnya, hanya dalam tempo singkat Amarta menjadi kekuatan baru yang diperhitungkan. Rakyat hidup sejahtera.
Kendati proses transisi pemerintahan saat ini mendapat acungan jempol banyak pihak, tapi Jokowi tidak boleh terbawa arus sehingga menerima begitu saja berbagai praktik pemerintahan, model demokrasi, penataan ekonomi, dan pengelolaan sumber daya alam. Jokowi harus fokus dengan agenda dan program yang telah matang disusun. Harus ada cut off yang jelas, yang membedakan era baru dan era lama.
Untuk bisa melakukan itu, kabinet yang kompak dan efektif adalah prasyarat utama. Ini adalah sebuah tantangan tersendiri, mengingat begitu banyaknya kepentingan di sekitar Jokowi yang menuntut diakomodasi di kabinet. Sumangga.
Penulis:
Rohmad Hadiwijoyo
Dalang dan CEO RMI Group