Bisnis.com, JAKARTA – “Saya benci banget sama bosku..!!!, Baru jadi supervisor saja sudah belagu, apalagi jadi direktur bisa tutup nih perusahaan.” Atau ”Belum pernah di demo satu kantor ya? Biar diturunin pangkat loe..!!”. Ada lagi ”Sumpeh, nyebelin banget atasanku itu..”
Tentu kita pernah mendengar dan bahkan mungkin itu kalimat yang kita sendiri ucapkan ketika kita kesal dengan atasan kita. Sebenarnya, dibalik perusahaan yang sukses terdapat pemimpin yang berkualitas.
Namun sayangnya, bukannya jadi pimpinan berkualitas banyak pemimpin justru jadi pemimpin yang bermasalah. Inilah atasan yang berpotensi menghancurkan perusahaan serta organisasinya. Istilah bekennya, toxic leader! Pimpinan beracun.
Makanya, tak mengherankan, jika di edisi April 2014, majalah bisnis terkemuka Harvard Business Review memiliki artikel menarik dari seorang psychotherapist, business coach yang juga profesor dari Insead Prancis, Manfred F.R. Kets de Vries. Judulnya? Coaching the Toxic Leader.
Inti artikel Manfred sederhana. Eksekutif yang bermental sehat akan membuat timnya produktif. Namun, eksekutif yang mentalnya sakit—seperti yang tipenya narsis dan hanya peduli karir dan kepentingannya tanpa empati sedikitpun—akhirnya akan membuat tim dan bisnisnya, menderita.
Dan bertepatan dengan itu, sekitar dua bulan lalu, saya pun menerbitkan buku ke-14 saya yakni, Toxic Leader: Mengenali, Mengelola dan Menghadapi Bos Bermasalah. Ternyata, saya mendapatkan respons yang luar biasa. Rata-rata, berkeluh kesah soal bos mereka yang ’memprihatinkan’.
Bahkan, ada yang cerita soal bos yang yang tiap hari mencari kesalahan dan marah-marah. Meski demikian, menariknya, ketika ia menjadi atasan, dia justru ikut-ikutan mempraktikkan hal yang sama pula!
”Begitu banyakkah toxic leader di organisasi kita saat ini?” Hal itulah kesimpulan yang diperoleh setelah saya menerima SMS, email para pembaca termasuk di antaranya adalah para pembaca dari harian ini. Salah satu pertanyaan menarik yang muncul dari pembaca adalah, ”Bagaimana caranya agar diri kita tidak menjadi seorang pimpinan yang toxic?”
Kita bisa belajar dari film Devil Wears Prada yang muncul pada 2006? Inilah film soal bos beracun yang menarik.
Sampai-sampai, film ini sedang dibuat sekuelnya sekarang ini. Konon, ini bukanlah film fiktif. Ide film ini ternyata diinspirasikan dari kisah nyata yakni dari seorang pimpinan majalah fesyen Vogue terkemuka, yakni Anne Wintour.
Film yang beberapa pemainnya pernah mendapat nominasi Oscar ini menggambarkan dengan bagus berbagai kriteria pimpinan yang bermasalah di kantor. Nah, apa saja yang perlu diwaspadai?
Pertama, pimpinan beracun seringkali merasa ’I own you!’ (saya memiliki kamu) kepada anak buahnya. Seringkali, karena merasa timnya sudah menandatangani kontrak dengan perusahaannya, maka si atasanpun bebas memperlakukan seenaknya.
Makanya, Tidak mengherankan kalau ada karyawan yang berteriak, ”Atasan saya, Mengharuskan saya menyalakan HP 24 jam. Sabtu dan Minggu pun harus datang. Padahal, saat itu untuk urusan yang tidak penting banget.
Kalau darurat saya bisa paham. Jadi setiap kali kepikiran dengan sesuatu, saya dipanggilnya datang menemuinya. Ini mengganggu waktu saya dengan keluarga. Dan, dia sama sekali nggak peduli!”
Hal kedua yang kita lihat dari cara seorang pimpinan beracun memperlakukan anak buahnya adalah ’Don’t question!’. Kalimatnya, ”Aku sudah membayar kamu untuk melakukan perintahku, bukan untuk bertanya”.
Ini mirip adegan di dalam film ketika Miranda Prietly (Merryl Streep) dengan ketus berkata kepada Andy Sach (diperankan Anne Hathaway), ”Saya tidak membayarmu untuk bertanya!”
Berikutnya, seorang pimpinan beracun seringkali sarkastik dan menghancurkan harga diri timnya. Misalkan, saja ada adegan ketika dengan ketus Miranda Prietly, sang pimpinan berkata, ”Saya bingung kenapa merekrut cewek pendek dan gemuk kayak kamu, yang nggak punya selera fashion di majalah fashion ini!
Dan, ternyata kamu sama bodohnya dan lebih memalukan lagi.” Bahkan, ada seorang pembaca yang pernah cerita juga soal bos di kantor yang pernah memarahi dirinya, ”Tahu nggak, anjing di rumah saja saja masih bisa melakukan hal yang kusuruh.
Kenapa kamu bahkan lebih idiot daripada anjing”. Ia merasa betul-betul terluka dengan penghinaan itu. Lantas, dengan adanya bos yang beracun itu, suasana kerjapun menjadi tegang dan tidak menyenangkan.
Aroma di sekitar pimpinan beracun itu, jadi menakutkan dan menegangkan! Orang-orang pun, jadi sangat takut salah bahkan serba salah!
Di sisi lain, jangan harapkan pujian keluar dari mulut seorang pimpinan yang beracun. Dia termasuk tipe yang tidak gampang untuk dipuaskan. Meski yang mengerjakan sudah melakukan hal yang sangat spektakuler, tidak ada sedikit pujian pun keluar dari mulut mereka.
Baginya, ”Sudah semestinya kamu melakukan apa yang kuinginkan.”
KIAT PERUBAHAN
Bagaimana agar tidak menjadi toxic leader? Pertama, saya menyarankan hal yang sederhana. Refleksikanlah dari pengalamanmu! Apa yang dilakukan mereka yang membuatmu kesal. Bacalah dan observasilah bos yang menyebalkan itu.
Perhatikan dengan seksama ciri-cirinya.
Apakah perilakumu sebagai atasan menyerupai ataupun melakukan hal yang sama. Mungkin tidak sama persis dengan tingkah laku Anda di kantor. Namun, bisa jadi Anda melakukan hal-hal itu secara tidak sadar.
Kalau pun tidak, jangan-jangan Anda dalam hati termasuk menyetujui cara-cara yang ditunjukkan oleh para toxic leader di atas. Jika iya, bagus jugamenanyakan kepada orang-orang disekitarmu, jangan-jangan Anda tanpasadar sering melakukannya.
Kedua, lakukanlah constructive feedback. Saya pernah dipimpin olehseorang pimpinan yang luar biasa.Seringkali, beliau dengan rendah hatibertanya kepada para stafnya.”Bolehkah nggak kasih masukan buatsaya, agar saya bisa improve cara sayame-manage kalian, sehingga sebagai leader saya bia jadi lebih baik?”
Nggakmudah bertanya begitu lho. Ini sungguhpertanyaan yang berisiko. Kenapa?Karena setelah pertanyaan ini, dirinya harus siap-siap menerima feedback yangmungkin tidak terlalu nyaman didengar.
Namun, dari feedback ini paling nggak, dia punya ide pandangan dan masukan dari stafnya. Memang, nggak semuanya harus didengar. Tapi paling nggak, bisa jadi input buatnya!
Ketiga, belajarlah dari statistik. Bagaimanakah turn over di tempat kerja. Entah karyawan pindah ke unit lain ataukah keluar dari organisasi. Apakah alasan mereka keluar? Apakah keluarnya mereka disebabkan oleh alasan yang masuk akal ataukah alas an yang dibuat-buat.
Salah satu dampak nyata dari kehadiran para toxic leader adalah tidak betahnya orang-orang di kantor. Akibatnya, satu demi satu, mereka pun mulai pindah meskipun dengan alas an yang tampaknya ’logis’.
Keempat, sadarilah bahwa sebagai pimpinan kita pasti akan punya potensi kelemahan dan kekurangan. Sadari dan akuilah hal itu. Karena itulah, dengan belajar mengenali ciri-ciri para toxic leeder, adalah mengenali di mana area yang kita yang berpotensi membuat kesalahan. Lantas, kita mesti berpikir bagimana kita bisa improve di area tersebut.
Kelima, pikirkanlah sekali-kali untuk melakukan survei soal kepemimpinan yang sifatnya terbuka. Ingatlah, salah satu elemen penting dalam setiap survey kepuasan karyawan (employee satisfaction), salah satunya adalah unsur leadership.
Nah, jika ada bujet yang memungkinkan, lakukanlah dengan melibatkan pihak ketiga yang biasanya lebih netral. Kalaupun tidak, hal ini juga bisa dilakukan dengan meminta para karyawan memberikan skor penilain hingga menuliskan keluhan mereka soal kepemimpinan yang ada.
Sungguh, kadangkala banyak pimpinan yang tidak menyadari bahwa kehadirannya telah menjadi racun yang berbahaya bagi kinerja timnya.
Di bawah kepemimpinan yang beracun, memang tampaknya tidak ada masalah, tetapi lama kelamaan bisa jadi bom waktu yang menunggu waktunya untuk meledak.
Intinya, kerja sudah capek tetapi dipimpin oleh pimpinan yang beracun akan terasa semakin capek lagi!
(ANTHONY DIO MARTIN, Director HR Excellency & Best EQ Trainer Indonesia)