Bisnis.com, JAKARTA - Manusia mungkin mahluk yang paling kepo alias serba ingin tahu dibandingkan dengan jenis mahluk lainnya di muka bumi. Sampai-sampai, dengan segala keterbatasannya, mereka kerap berusaha mengintip masa depan yang konon masih menjadi rahasia Tuhan.
Entah konsultan, CEO sampai ekonom, dengan metode keilmuan dan pengalaman yang melekat sama-sama tak ingin kalah kepo dengan cenayang dalam urusan tebak-menebak masa depan.
Namun, bisakah masa depan diprediksi? No body can predict the future! Percaya pada tukang ramal justru menjadi hal yang paling konyol bagi seseorang.
Kira-kira begitu isi penjelasan Profesor Strategi dari Jerman Matthias Hühn dalam kelas Competitive Strategy In A World of Constraints, baru-baru ini. Dia sangat sinis dengan orang-orang yang ‘sok tahu’ tentang masa depan.
Menurutnya, tak seorang ekonom Jerman pun yang setiap tahun berhasil memprediksi dengan tepat pertumbuhan ekonomi negara itu. Setiap ekonom memang selalu keliru tetapi anehnya banyak orang yang masih percaya pada prediksi mereka.
Tak ada yang salah sebenarnya dengan profesi dan keilmuan mereka yang cenderung gemar memprediksi. Yang dipersoalkan di sini adalah cara mereka bernalar dan mengimplementasikan strategi.
Sang profesor pun lantas menjelaskan mengenai para pemikir strategi aliran klasik yang terkenal mumpuni, dipercaya para cerdik pandai selama puluhan tahun, aristokratis dan tentu saja angkuh: Harvard.
Salah satu warisan paling adiluhung di bidang manajemen strategi dari para pemikir Harvard adalah prinsip analisis SWOT alias kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (strengths, weaknesses, opportunities dan threats).
Analisis ini begitu terkenal dan biasa menjadi acuan standar organisasi dalam merumuskan strategi, tetapi mulai luntur dalam beberapa dasawarsa terakhir. Para pakar manajemen pun mengakui kelemahannya karena SWOT sulit memberikan jawaban memuaskan di tengah masalah global yang kian pelik.
Untuk menemukan opsi-opsi strategis melalui SWOT, situasi eksternal dan internal organisasi secara umum harus diperjelas sebelum diselaraskan. Situasi internal ini mencerminkan strengths dan weaknesses agar kompetensi khusus (distinctive competences) organisasi dapat diketahui.
Adapun, situasi eksternal (threats dan opportunities) adalah cara untuk merumuskan faktor-faktor kunci kesuksesan organisasi. Di dalam SWOT, proses berpikir (thinking) untuk memformulasikan strategi sangat berbeda dengan proses bertindak (acting).
CEO, direksi dan para pengambil kebijakan (top) adalah orang-orang yang berhak melakukan thinking sedangkan para manajer ke bawah (down) adalah para pelaksana strategi. Proses top-down management di sini menjadi sangat kental.
Pendekatan-pendekatan konseptual dari aliran klasik ini, kerap membawa SWOT terjebak pada jalan buntu, yaitu kurang jernih memberikan perhatian pada ancaman eksternal sehingga strategi yang dihasilkan mirip tiger paper yang hanya garang di atas kertas.
Sang profesor pun memberikan pernyataan bahwa SWOT is useless for creating a strategy. Terlebih, segala hal yang dianalisis oleh SWOT adalah tentang masa lalu.
Namun, bila sebuah organisasi mengklaim “berhasil” mendapatkan sebuah keputusan strategis dari SWOT, kita perlu curiga. Bisa jadi itu sekadar manipulasi pikiran dari para pengambil keputusan yang seolah-olah bisa melihat masa depan berdasarkan fakta-fakta masa lalu.
Sadar atau tidak, keputusan yang dihasilkan dari SWOT kerap kali sangat tidak realistis. Jajaran top management harus bersiap menghadapi rintangan baru yang kerap muncul dalam skala yang lebih besar dan kelewat rumit.
Misalnya, keputusan untuk mengakuisisi sebuah perusahaan dapat merupakan ancaman, tetapi dapat pula dianggap sebagai peluang. Demikian halnya dengan perkembangan teknologi.
Peran SWOT di sini jangan sampai menjadi sesuatu yang bersifat statis karena akan berisiko jika organisasi mengabaikan perubahan situasi dan lingkungan yang serba dinamis. Bisa jadi, keinginan untuk dapat mengambil keuntungan maksimal tadi gagal tercapai.
Namun, memaksakan SWOT agar berjalan dinamis dengan lingkungan boleh dikata setara dengan sebuah kesalahan baru. Bila SWOT adalah strategi old school yang sekiranya pantas ditinggalkan, lantas apa penggantinya?
Gary Hamel (1996), memberikan sejumlah tip agar organisasi berubah menjadi lebih revolusioner, yaitu bukan dengan jalan menjadi rule taker atau rule maker tetapi menjadi rule breaker. Perusahaan harus berani terus-menerus belajar dan jangan pernah takut mengambil keputusan yang tak masuk akal sekalipun.
Salah mengambil keputusan bukanlah dosa besar karena organisasi dapat belajar menjadi lebih baik setelah itu.
Sama halnya dengan prinsip evolusi Charles Robert Darwin yang menyatakan bahwa manusia—sebagai mahluk yang sangat sempurna—adalah buah dari produk ketidaksengajaan serta kesalahan berulang-ulang alam semesta yang berevolusi ratusan juta tahun lalu. Learning never ends!