Seberapa tinggi tingkat perputaran karyawan di Indonesia? Maksudnya, karyawan yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan disayangkan oleh perusahaan?
Tentunya, tergantung dari jenis industri, jenis pekerjaan, dan generasinya. Konon, yang tertinggi di atas 20% adalah industri keramahtamahan (hospitality) seperti hotel dan restoran dan di industri kreatif seperti periklanan dan desain, sementara itu di perbankan ‘hanya’ 15%.
Tenaga penjualan dan generasi Y rata-rata hanya bekerja dua tahun sebelum loncat ke rumput yang lebih hijau yaitu pendapatan yang lebih baik (54%), karier lebih baik (37%), tantangan baru (4%), dan tidak suka kepada atasan (4%).
Mereka yang pergi meninggalkan pekerjaannya, seringkali ke perusahaan pesaing, membawa serta semua pembelajaran, pengalaman, ketrampilan, ilmu, kompetensi, hubungan baik dengan pelanggan, dan semua pengetahuan tacit lainnya.
Dalam banyak kasus, tacit knowledge tersebut belum sempat dieksplisitkan, belum sempat ditransfer, sehingga timbul lah masalah dan kerugian karena perusahaan harus memulai lagi dari nol.
Upaya untuk menciptakan ‘budaya berbagi’ memang sudah dimulai di hampir setiap organisasi. Ada yang mengharuskan setiap karyawan yang pulang dari pelatihan untuk sharing, ada yang menyisihkan hari tertentu sebagai forum berbagi, ada yang membangun portal KM, dan ada juga yang menggalakkan komunitas-komunitas berbasis minat yang sama.
Tantangan yang sering dihadapi adalah minimnya kesediaan dari karyawan untuk berpartisipasi. Ironis, karena orang-orang yang sama aktif sekali ‘berbagi’ di media sosial. “Trending topics,” katanya, paling heboh ya di Indonesia.
Timbul lah pertanyaan apakah berbagi pengetahuan itu harus sukarela atau harus dipaksa? Relawan atau paksawan? Ada yang berteori bahwa apabila seseorang dipaksa, dengan terpaksa ia akan bisa. Setelah bisa, diulang-ulang agar jadi biasa. Jika kebiasaan dilakukan oleh sebagian besar orang hampir setiap waktu terbentuklah budaya.
Kenyataannya tidak sedemikian mudah. Kita harus pisahkan antara mau (motivasi) dengan mampu (ability). Seringkali, seseorang enggan melakukan sesuatu, dalam hal ini berbagi pengetahuan karena ia merasa tidak mampu. Ia perlu diberdayakan dulu.
Semakin ia percaya diri, semakin tinggi motivasinya. Pada bagan tersebut, kita melihat sumber satu dan dua sebagai dasar menggagas suatu perubahan.
Norma
Sumber perubahan berikutnya adalah bagaimana membuat teman-teman, atasan, bawahan, lingkungan sekitar turut memotivasi, dan membantu. Sumber ketiga dan keempat adalah mengenai norma.
Kita tidak sungkan berbaju renang, misalnya, kalau kita berada di pantai di mana semua orang melakukan hal yang sama. Jadi, apabila kebanyakan orang mau berbagi pengetahuan, seseorang yang tidak melakukannya akan merasa lain dari yang lain.
Ada dua sumber perubahan lain yang tidak berkaitan dengan manusia, tetapi dengan sistem, struktur, proses, alat, sarana dan prasarana. Sumber kelima dan keenam kami sebut motivasi struktural dan kemampuan struktural.
Dalam contoh berbagi pengetahuan, apakah orang yang rajin berbagi mendapat pengakuan, penghargaan, bahkan imbalan? Apakah dia memiliki akses pada sarana yang diperlukan untuk berbagi? Mungkin berupa data, ruangan, koneksi Internet, dan seterusnya.
Enam sumber perubahan ini adalah alat yang dahsyat untuk mewujudkan perubahan yang berkesinambungan. Membangun budaya, seperti kita tahu, perlu manajemen perubahan perilaku.
Pertanyaannya bukan relawan atau ‘paksawan’ tetapi bagaimana memanfaatkan keenam sumber perubahan agar yang tadinya terpaksa menjadi rela, suka, dan menikmati karena memiliki motivasi dan kemampuan.
Penulis:
Robby Susatyo
Partner Dunamis Organization Services