“Khawatir adalah satu kata yang tidak saya ijinkan untuk saya pakai pada diri saya.” (Dwight D. Eisenhower)
Seorang ibu sangat gelisah dan cemas karena sang anak, perempuan yang masih remaja, belum juga pulang dari sekolah, padahal biasanya pukul 18.00 paling lambat si anak sudah sampai di rumah.
Kalau pun ada keterlambatan, si anak biasanya menelepon. Dalam kecemasan ini, telepon sang anak tak tersambung. Nampaknya tak diangkat.
Sementara itu, seorang kawan saya khawatir melihat perkembangan suku bunga acuan Bank Indonesia. Ia yang sedang mencicil rumahnya khawatir suku bunga akan naik lagi. Cicilan akan ikut naik padahal dengan besar cicilan yang sekarang ia sudah sangat mengencangkan ikat pinggang.
Pada musim hujan yang rawan antara Januari hingga Maret, masyarakat khawatir akan datangnya bencana banjir. Merepotkan dan sudah tentu merugikan siapa saja.
Khawatir adalah ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan terhadap sesuatu hal pada masa mendatang yang belum diketahui dengan pasti. Hal yang dikhawatirkan itu bisa terjadi atau tidak, tidak ada yang dapat memastikannya.
Mengkhawatirkan sesuatu itu jelas sangat merugikan. Dikatakan, “Kelelahan kita seringkali lebih disebabkan bukan oleh pekerjaan, melainkan oleh kecemasan, frustrasi ataupun kebencian,” kata Dale Carnegie, seorang penulis dan konsultan bidang interpersonal skills.
“Kekhawatiran tidak akan merampok hari esok dengan segenap deritanya. Ia hanya melunturkan nikmatnya hari ini,” kata Leo Buscaglia, dikenal sebagai Dokter Cinta, seorang profesor dan motivator ulung.
Eckhart Tolle, seorang penulis Jerman yang menulis buku laris The Power of Now menerangkannya secara jelas, “Apakah Anda khawatir? Apakah Anda memiliki banyak pemikiran bagaimana seandainya? Hal ini berarti Anda sedang mengidentikkan diri dengan pikiran yang memproyeksikan diri menuju situasi masa depan yang imajiner serta menciptakan ketakutan.
Tolle melanjutkan, “Anda tidak akan dapat mengatasi situasi seperti itu karena situasi seperti itu sebenarnya tidak ada. Itu hanya bayang-bayang mental belaka.”
Para tetua sering mengingatkan agar kita tak gemar menabur benih pemikiran seperti dikatakan Eckhart di atas yaitu ‘bagaimana seandainya’. Apalagi bila pikiran itu dilandasi dengan prasangka-prasangka negatif.
Idiom bagaimana seandainya, dalam kosakata Indonesia lebih sering disampaikan sebagai ‘jangan-jangan’. Jangan-jangan si Puteri ternyata diculik orang, dalam kekhawatiran ibu di atas?
Dalam contoh kawan yang meminjam uang ke bank untuk pemilikan rumahnya, ia mungkin mengatakan, “Jangan-jangan bunga bank saya akan naik 100%?” Jangan-jangan dalam perjalanan mencicil ini aku di PHK ? Dan jangan-jangan lain yang tak terkira batasnya. Jangan-jangan hujannya akan lebih lebat lagi tahun ini.
Dalam kasus ibu yang menunggu sang anak, alih-alih mencemaskan, mencoba usaha lain, misalnya menelepon kawan si anak atau orang tua kawan si anak adalah hal yang lebih baik dan bermanfaat. Adapun selebihnya, silahkan berdoa, sebagaimana nasihat Martin Luther “Berdoalah, dan biarkan kekhawatiran menjadi urusan Tuhan.”
Usaha sang kawan untuk memiliki rumah sendiri, dengan cara mencicil adalah usaha yang baik. Kalau dia sekarang cemas karena potensi suku bunga yang akan terus naik, itulah tantangan yang memang layak diperhitungkan pada saat ia menandatangani akad kredit pemilikan rumahnya.
Sesuatu yang orang menyebutnya sebagai suatu risiko yang masuk akal (calculated risk). Kata Albert Einstein, legenda matematikawan dan fisikawan dalam hal hitung-menghitung ini, “Jangan khawatir dengan kesulitan Anda soal matematika. Saya jamin kesulitan saya jauh lebih besar dari pada kesulitan Anda “.
Usaha Nyata
Henry Ford, industriawan otomotif, menyatakannya dengan bijak, “ Saya yakin Tuhan mengelola segala sesuatunya. Dia tak memerlukan advice saya. Dengan kuasa-Nya, saya yakin pada akhirnya segalanya akan jadi yang terbaik. Jadi, mengapa harus khawatir?”
Mengkhawatirkan datangnya banjir semata-mata, tanpa usaha nyata untuk ikut memperbaiki lingkungan hidup sekitar adalah hal yang tiada guna. Kalau Anda sudah membayar pajak dengan baik dan uang pajak itu digunakan untuk memperbaiki prasarana penangkal banjir, Anda tak perlu khawatir.
Apalagi bila Anda berkontribusi dalam aktivitas pelestarian lingkungan hidup, dengan turut dalam pelbagai kegiatan kebersihan dan kesehatan lingkungan, semestinya kecemasan itu layak dibuang jauh-jauh.
Sebagaimana dalam hal ini dinasihatkan oleh H. Jackson Brown Jr., penulis buku laris Life’s Little Instruction Book, “Kalau Anda sudah melakukan yang terbaik, Anda tidak memiliki waktu untuk khawatir mengenai kesalahan.”
“Kalau Anda lihat dalam hati Anda dan tak temukan sesuatu yang salah, mengapa harus khawatir,” kata Konfusius, filsuf sekaligus politikus Tiongkok abad ke lima sebelum Masehi.
Satu-satunya kekhawatiran yang layak dijalani adalah kekhawatiran orang-orang yang telah berbuat salah. Kalau berselingkuh dari pasangan, Anda layak cemas bahwa suatu saat rahasia ini terbongkar dan pasangan Anda akan murka.
Apabila melakukan penyalahgunaan wewenang atau korupsi, Anda layak khawatir. Suatu hari korupsi yang Anda lakukan tercium oleh yang berwenang dan Anda dihukum, masuk penjara dan merasakan sanksi sosial dari kerabat dan masyarakat sekitar.
Kalau Anda melanggar lalu-lintas, misalnya, mengendarai kendaraan melawan arah yang seharusnya, Anda layak was-was untuk ditangkap polisi atau mendapatkan kecelakaan.
“Kekhawatiran adalah bunga yang harus dibayar oleh orang-orang yang meminjam masalah,” kata George Washington, presiden pertama Amerika Serikat yang memimpin pada 1789 – 1797.
Suatu nasihat manis dari seorang kawan saya tuliskan disini, “Jangan pernah cemas tentang apakah matahari akan terbit atau tidak. Siapkan saja diri Anda untuk menikmatinya.”
Mahatma Gandhi melengkapi nasihat perihal kekhawatiran ini, “ Tak ada yang lebih menyia-nyiakan diri dibandingkan dengan mengkhawatirkan sesuatu. Siapapun yang meyakini adanya Tuhan seharusnya malu apabila masih mengkhawatirkan segala sesuatu.”
Penulis:
Pongki Pamungkas
Penulis buku The Answer Is Love.