Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pandangan Dunia Kerja Generasi 1990-an Mulai Berubah

Dunia kerja idaman di masa depan mengalami pergeseran paradigma. Lima tahun lagi, angkatan kerja akan didominasi oleh generasi generasi milenial, yakni yang lahir pada 1980-1995. Mereka punya preferensi tersendiri, mengenai di mana, kapan, dan bagaimana mereka harus bekerja.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Dunia kerja idaman di masa depan mengalami pergeseran paradigma. Lima tahun lagi, angkatan kerja akan didominasi oleh generasi generasi milenial, yakni yang lahir pada 1980-1995. Mereka punya preferensi tersendiri, mengenai di mana, kapan, dan bagaimana mereka harus bekerja.

Misalnya bagi Astrid Septriana, 26 tahun. Pekerjaannya sebagai copy writer di sebuah agensi iklan multinasional di Jakarta Selatan terbilang menyenangkan. Namun dia mengaku belum nyaman dalam konteks waktu bekerja yang mengharuskannya di kantor minimal 45-70 jam sepekan.

Menurutnya faktor waktu kerja, budaya kerja dan bagaimana harus bekerja adalah hal penting yang akan mempengaruhinya dalam menentukan memilih perusahaan tempat bekerja. Adapun gaji memang penting tapi bukan yang utama. Gaji baginya cukup selama kebutuhan dasar seperti makan, transportasi, komunikasi dan kesehatan terpenuhi.

Jam kerja bagi pekerja di Indonesia dinilainya terlalu panjang. Alhasil produktivitas dan speed dalam menyelesaikan pekerjaan kurang dihargai. Produktivitas biasanya cenderung menurun jika waktu kerja terlalu panjang.

Di sisi lain, sebagai individu, seorang pegawai juga perlu mempunyai waktu untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan pekerjaan.  

“Bagi saya ini memuakkan, karena kreativitas, koneksi, dan semua celah untuk menghidupi gaya hidup dinamis jadi berkurang. Perusahaan jadi seperti perpanjangan tangan institusi sekolah di mana karyawan harus taat dengan jam masuk dan jam keluar kantor,” kata dia saat berbincang dengan Bisnis.com.

Perempuan yang hobi musik dan fotografi ini mengidamkan perusahaan dengan budaya kerja yang casual, egaliter, terbuka dengan pendapat, dan saling mendukung tumbuh kembangnya kreativitas dan produktivitas.

Perusahaan demikian lebih menggairahkan daripada bertahan di satu korporasi besar dengan iming-iming jaminan hidup ataupun penghargaan jangka panjang.

At the end, for me personally tidak butuh penghargaan, atau perusahaan aktif CSR to keep me alive and survive, right? Perusahaan yang memberikan kelonggaran berbasis teknologi seperti remote working space tentu akan lebih nyaman bagi saya yang beberapa tahun ke depan mungkin sudah menjadi ibu,” tuturnya.

Astari, 29 tahun, seorang karyawan di bidang corporate communication salah satu BUMN di Jakarta, menyampaikan hal senada. Meski sudah bekerja di perusahaan yang bonafide, dia merasa masih belum menemukan kenyamanan.

Aspek kenyamanan bagi Astari yakni terkait finansial, waktu untuk kebutuhan pribadi termasuk sosialisasi dan me-recharge diri sendiri, kebutuhan pengembangan diri, dan kebutuhan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

BELUM PUAS

Sebagai seorang karyawan BUMN yang punya jam kerja lebih teratur yakni Senin-Jumat, dia mengaku masih punya waktu sosialisasi dan beribadah. Namun dia masih belum puas, terutama dalam aspek finansial. Dia juga menginginkan jam kerja yang fleksibel.

“Waktu kerja yang fleksibel bisa masuk siang atau berada di kantor hanya beberapa jam, itu tidak aku dapatkan sekarang. Begitu juga soal finansial, buat aku masih kurang,” kata perempuan kelahiran 1985 itu.

Ekspektasinya, bisa mewujudkan visi dan misi sebagai wanita independen dan bisa mengembangkan diri. Visinya antara lain bisa berinvestasi membeli rumah, bisa melanjutkan kuliah S2, dan bisa mengasah otak. Semuanya sulit dia lakoni dengan mengandalkan gaji yang didapatnya sekarang.

Menurutnya hal itu bisa didapatkan dalam pekerjaan yang menuntut karyawannya untuk kerja cerdas dan efisien. Dia lebih mengidamkan perusahaan yang bisa menghargai kreatifitas dan kerja keras individu dibanding struktur jabatan.

“Kalau di swasta, kreatifitas dan kerja keras biasanya hal ini akan berdampak pada finansial yang akan dia dapatkan,” jelasnya.

Wanita yang hobi traveling ini menyatakan akan mempertimbangkan untuk pindah pekerjaan jika ada yang memberikan keuntungan lebih besar, terutama dalam soal finansial dan pengembangan diri.

“Aku bukan penganut harus di satu perusahaan seumur hidup. Aku akan terima tawaran di perusahaan lain bila itu memang memberikan benefit yang jelas jauh beda. Selain soal duit, kenyamanan dalam lingkungan bekerja itu jauh lebih penting,” tuturnya.

Dunia kerja Astari saat ini adalah pekerjaan kedua yang dilakoninya sejak 2012. Sebelumnya dia bekerja di bidang jurnalistik selama empat tahun. 

Membandingkan dua lingkungan kerja itu,  menurutnya, fleksibilitas soal waktu adalah kemewahan dalam dunia jurnalistik. Hanya saja, waktu luang yang ada kurang tertata sehingga dia kesulitan bersosialisasi.

“Untuk saat ini mungkin aku hanya punya pilihan kerja yang 40 jam seminggu itu. Tapi jika ada kerjaan lain yang enggak harus kantoran tapi enggak harus dikerja deadline setiap hari, dan dengan gaji yang besar, aku juga mau. Intinya tetap finansial,” tuturnya sambil tertawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ropesta Sitorus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper