Bisnis.com, JAKARTA -- Pelepah pohon pisang mungkin hanya seonggok sampah yang akan dibuang oleh kebanyakan orang. Tetapi siapa yang sangka, limbah yang dulu dianggap tidak berguna itu kini bisa disulap menjadi sumber uang dan bahkan diminati oleh konsumen asing.
Sederet pengusaha di Tanah Air sudah membuktikannya. Batang dan pelepah pisang bisa diubah menjadi produk kreatif yang bernilai seni tinggi sekaligus berfungsi.
Beberapa produk yang banyak dibuat dari olahan batang pisang antara lain kotak tempat tisu, tas kertas, boks hantaran, bingkai foto, topi, sandal, hingga lukisan. Ada juga yang mengolahnya menjadi kertas kemudian membuat produk turunannya seperti bunga, tas, dan binder atau art book.
Pasar untuk produk-produk hasil olahan ini juga makin terbuka lebar. Jika dulu yang menggemarinya kebanyakan adalah orang asing atau orang yang peka terhadap seni, sekarang pasarnya semakin meluas.
Peningkatan kepedulian akan isu global warming membuat permintaan akan produk ramah lingkungan dan produk daur ulang juga semakin meningkat.
Di Indonesia sendiri, salah satu wirausaha yang mampu mengubah pelepah pisang menjadi produk bernilai tinggi adalah Budi Krisnandi, lewat merek Omorfa Matia.
Produk-produk yang dihasilkan di rumah produksinya yang ada di Jln. Margahayu Raya Barat Blok H2 No 113 Bandung, Jawa Barat, bahkan sudah sampai ke konsumen di beberapa negara di kawasan Eropa.
Memang jika melihat sekilas, tidak ada yang mengira bahan yang digunakan untuk produk Omorfa Matia adalah pelepah pisang. Barang-barang yang cantik seperti tas atau binder itu tampak berwarna natural sehingga terlihat seperti terbuat dari bahan kulit.
Ide pembuatan produk olahan pelepah pisang ini ditemukannya ketika sibuk mencari referensi usaha di bidang produk etnik dan bahan daur ulang. Tak sengaja , di satu pameran kecil, dia bertemu seorang pengrajin yang memproduksi kertas dari pelepah pisang.
“Saya tertarik untuk membuat produk dari kertas pelepah pisang dengan tujuan meningkatkan value dari olahan pelepah pisang tersebut,” kata dia.
Lantas, dia pun mengeluarkan modal pertamanya sekitar Rp5 juta, persis pada Februari 2014 untuk mempersiapkan bahan-bahan baku, peralatan produksi, melakukan uji coba, pembuatan kartu dan website.
Awalnya barang yang dia produksi adalah tas. Belakangan dia menawarkan beberapa model tas baru, binder ukuran A4 dan A5, kotak tisu serta produk terbaru berupa sketchbook dan dompet.
Ada juga gelang kulit, di mana dia memakai bahan kulit sapi dengan motif etnik dan dikemas dengan kotak dari bahan kertas pelepah pisang.
Meskipun produk-produk yang dibuatnya sebenarnya termasuk barang umum yang memakai bahan lain, menurut Budi, Omarfa Matia punya keunikan yang tidak ada pada produk lain.
Misalnya, dari segi bahan baku yang digunakan sangat unik. Dia memadukan pelepah pisang dengan kulit sintetis untuk membuat tas lebih kuat. Kemudian produksinya dibuat secara handmade dan eksklusif sehingga tidak pasaran.
“Keunggulan produk kami motifnya etnik natural, desain varian produknya lebih banyak dan fungsional, serta daya tahan yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan produk daur ulang lainnya,” ucapnya.
Tahun lalu, Budi lebih banyak membawa produknya ke pasar ekspor. Hal ini, kata dia, karena tingkat apresiasi dan penerimaan konsumen lebih baik.
Namun mulai tahun ini, dia kembali fokus menggarap pasar domestik karena melihat situasi pasar domestik yang sudah lebih mengapresiasi merek lokal.
Untuk memaksimalkan pemasaran, dia memanfaatkan promosi lewat media sosial seperti Instagram dan Facebook dengan nama akun yang sama @OmorfamatiaID serta lewat websitenya.
Media internet tersebut sekaligus bisa menjadi pintu masuk bagi konsumen yang ingin memesan produk. Selain itu dia juga membuka galeri untuk penjualan sekaligus etalase produk jadi.
“Kalau mau meminta pesanan khusus juga kami layani, dengan harga bervariasi sesuai dengan tingkat kerumitan desain, ukuran, spesifikasi bahan dan jumlah pemesanan. Waktu produksinya pun bervariasi, sekitar 1-3 pekan jika pemesanannya dalam jumlah besar,” jelasnya.
Untuk produk ready stok dengan desain reguler, dia membanderol harga jual mulai Rp75.000 – Rp250.000. Namun untuk event khusus, harga jualnya bisa dia atas harga reguler karena dia menggandeng seniman lain untuk berkolaborasi.
Misalnya, dengan kombinasi lukisan tangan pada produk, rentang harga jualnya mulai dari Rp400.000 hingga Rp2 juta. Tentunya selain menawarkan tambahan unsur seni, dia juga meningkatkan spesifikasi produk.
Dengan strategi itu, penjualan Omorfa Matia bisa dibilang cukup besar, kendati Budi enggan menyebutkan angka pastinya.
“Saya belum bisa sebutkan nominalnya, yang jelas cukup prospektif. Margin laba normal ada dikisaran 50% sd 70% dari omset, atau beberapa kali lipat jika dihitung dari HPP produk,” ucapnya.
Hingga kini Budi masih memasok barang setengah jadi berupa kertas dari pihak ketika tetapi mulai bulan depan semua proses produksi mulai dari pembuatan kertas pelepah pisang hingga ke produk jadi akan dilakukan sendiri.
Budi juga bercita-cita memperluas pasar lewat skema reseller yang saat ini sedang dia siapkan. Dia pun terbuka untuk kerja sama dengan pelaku usaha lain menggelar seperti pameran bersama, workshop, festival atau acara-acara komunitas.
Selain menjual produk jadi ke end user, Omorfa Matia juga sedang menggagas bidang lain yang dinilai masih potensial, seperti penjualan bahan baku kertas pelepah pisang, membuat agenda wisata dan workshop pembuatan kertas pelepah pisang.